013 - Lima Sekawan Rawa Rahasia Edit by: zheraf http://www.zheraf.net Bab 1 Di Istal Huhh! tukas George kesal. "Sudah seminggu kita di sini! Dari semula aku sudah bosan!" "Omong kosong," jawab Anne. "Selama ini kau selalu menikmati pesiar naik kuda. Dan kau tahu sendiri, kau senang bermain-main di kandang-kandang kuda, apabila kita kebetulan tidak pesiar." "Kubilang tadi, aku selalu merasa bosan," tukas George. "Mestinya aku kan yang lebih tahu?! Ditambah lagi dengan Henrietta, anek konyoi itu? Kenapa kita yang harus direcoki olehnya?" "Ah - si Henry!" kata Anna sambil tertawa. "Kusangka kau akan merasa cocok dengan anek perempuan yang mirip dirimu? Anak perempuan yang lebih senang jadi laki-laki, dan bertingkah-laku seperti anak laki-laki." Kedua anak perempuan itu sedang berbaring-baring dekat tumpukan- jerami, sambil makan roti. Di iapangan sekitar tempat mereka itu berkeliaran sejumlah kuda. Sebuah bangunan besar yang sudah agak tua terdapat tak begitu jauh dari situ. Di sisi pintu depan bangunan itu terpasang sebuah papan yang besar. Pada papan itu tertulis Captain Johnson's Riding School Di tempat itu orang belajar menunggang kuda. Pemiliknya seseorang bernama Kapten Johnson. Anne dan George sudah seminggu di situ, sementara Julian dan Dick pergi berkemah dengan beberapa kawan sekolah. Anne yang mengajak George berlibur di tempat itu. Anne senang pada kuda. Dari kawan-kawan di sekolah, sudah sering ia mendengar betapa asyiknya hidup berhari-hari di istal. Karena itu, ia lantas mengambil keputusan untuk berlibur di situ. George sebetulnya tidak mau ikut. Anak itu merajuk, sebab kedua saudara sepupunya yang laki-laki sekali itu pergi ke suatu tempat, tanpa mengajak dia serta Anne. Dick dan Julian pergi berkemah) George ingin sekali ikut dengan mereka. Tapi anak-anak perempuan tidak diijinkan ikut berkemah dengan rombongan anak laki-laki dari sekolah Julian. Acara perkemahan itu khusus untuk anak laki-laki saja. "Kau ini konyol! Masak merajuk terus, karena tidak bisa ikut berkemah," kata Anne. "Julian dan Dick tidak mau jika kita terus-terusan ikut dengan mereka. Kita toh takkan bisa melakukan hal-hal yang akan mereka lakukan !" Tapi George tidak sependapat dengannya. "Aku bisa melakukan apa saja yang dilakukan oleh Dick dan Julian," katanya. "Aku bisa memanjat, naik sepeda bermil-mil, bisa berjalan kaki sejauh kemampuan mereka. Aku pun bisa berenang. Banyak anak laki-laki yang bisa kukalahkan dalam berbagal hal!" "Kata Henry, ia juga begitu," kata Anne sambil tertawa. "Nah itu dia datang. Aksinya seperti biasa, dengan tangan di kantong serta bersiul-siul seperti kenek istal" Tampang George langsung cemberut. Anne geli melihat betapa Henrietta dan George begitu berta- tapan muka untuk pertama kali, langsung saling tidak menyenangi. Padahal kedua anak perempuan itu banyak sekali persamaannya. George nama sebenarnya Georgina. Tapi ia hanya mau menjawab, jika disapa dengan sebutan George. Sedang Henry, sebenarnya bernama Henrietta. Tapi panggilannya Henry - atau Harry bagi kawan-kawannya yang paling akrab. Umur Henry sebaya dengan George. Rambutnya juga dipotong pendek. Tapi tumbuhnya tidak ikal, seperti rambut George. "Sayang rambutmu ikal," katanya pada George, dengan sikap kasihan. "Kelihatannya jadi seperti anak perempuan." "Jangan konyol," jawab George ketus. "Banyak anak laki-laki berambut ikal." Hal yang menjengkelkan sekali adalah bahwa Henrietta cekatan sekali menunggang kuda. ia sudah sering memenangkan berbagal piala, sebagai juara pertandingan berkuda. George sama sekali tidak merasa senang selama seminggu di istal. Sebabnya, sekali itu ada anak perempuan lain yang lebih hebat dari dirinya. Tak enak rasanya melihat Henrietta berjalan mondar-mandir sambil bersiul-siul, melakukan segala-galanya dengan cepat dan tangkas. Anne sering tertawa dalam hati. Apalagi ketika kedua anak perempuan yang bersaingan itu saling tidak mau menyapa dengan nama panggilan Henry dan George. Tidak Mereka saling menyapa dengan sebutan Henrietta, dan dibalas dengan Georgina. Sebagai akibatnya, mereka saling tidak mau menjawab jika dipanggil. Kapten Johnson, pemilik istal yang bertubuh tinggi besar, akhirnya kesal melihat tingkah kedua anak itu. "Kenapa kalian bertingkah seperti begini?" tukasnya pada suatu pagi, ketika melihat kedua anak itu saling pandang memandang dengan tampang cemberut pada saat sedang sarapan. "Sikap kalian seperti sepasang murid perempuan yang konyoli" Tawa Anne tersembur. Sepasang murid perempuan yang konyol, Wah - bukan main jengkelnya George dan Henry terhadap Kapten Johnson. Kalau Anne, ia agak ngeri terhadap orang itu. Kapten Johnson lekas marah. Kalau bicara selalu terus-terang. ia tidak menyukai sikap bertingkah. Tapi ia aangat pandai mendidik kuda, dan gemar tertawa. Pada saat-saat liburan sekolah. Kapten Johnson beserta istrinya menerima rombongan anak laki-laki atau perempuan yang ingin belajar menunggang kuda. Anak-anak yang ditampung di istalnya tidak dibiarkan bersantai-santai saja. Tapi anak-anak selalu sangat menyenangi liburan di istalnya. "Jika tak ada Henry, kau pasti benar-benar menyenangi acara seminggu Ini," kata Anne lagi, sambil menyandarkan punggung ke tumpukan jerami. "Cuaca bulan April ini benar-benar indah, kuda-kuda semuanya bagus-bagus, dan aku sangat senang pada Kapten Johnson serta istrinya." "Coba Julian dan Dick ada di sini, pasti Henrietta konyol itu tidak berani bertingkah," kata George. "Aku sekarang menyesal, kenapa tidak tinggal di rumah saja." "Kau kan bisa bebas memilih waktu itu," kata Anne. ia mulai jengkel. "Kau bisa saja tinggal di Pondok Kirrin bersama ayah ,bumu, Tapi kau memilih ikut ke mari bersamaku, sampai kedua abangku kembali dari berkemah. Jangan mengomel, jika ada hal-hal yang tidak cocok dengan kemauanmu, Kesenanganku terganggu karenanya." "Maaf," kata George. "Aku tahu, sikapku memang menjengkelkan. Tapi aku sungguh-sungguh rindu pada Dick dan Julian. Kita hanya bisa bergaul dengan mereka selama liburan. Aneh rasanya, jika mereka tidak ada. Kalau mau tahu, ada satu hal yang menyenangkan bagiku di sini, yaitu "Kau tak perlu bilang lagi, karena aku sudah tahu," sela Anne dengan tertawa. "Kau senang, karena Tim my anjing kesayanganmu itu tidak sudi bergaul dengan Henry" "Dengan Henrietta," kata George membetulkan. Dengan tiba-tiba anak Itu nyengir. "Ya, Timmy tidak bodoh, ia tidak menyukai anak itu. Timmy, Tinggalkan liang-liang kelinci itu. dan baringlah sebentar di sini. Pagi ini kau kan sudah cukup jeuh berlari ketika kita pesiar dengan kuda. Ada barengkah' seratus liang kelinci yang kauset diki Sekarang tenanglah sedikit." Dengan segan-segan, Timmy meninggalkan liang kelinci yang sedang diendus-endusnya saat Itu, lalu merebahkan diri di sisi Anne dan George. George me nepuk nepuknya "Timmy, kami baru saja mengatakan, kau memang pintar, tak mau bergaul dengan Henrietta yang konyol itu," kata George. Tiba-tiba ia berhenti bicara, karena disenggol dengan keras oleh Anne. Mereka digelapi bayangan seseorang yang muncul dari balik tumpukan jerami. Yang datang ternyata Henrietta. Melihat tampangnya yang masam, jelas bahwa ia mendengar ucapan George pada Timmy. Henry menyodorkan sepucuk sampul surat berwarna oranye pada George. 'Telegram untukmu, Georgina," katanya ketus. "Sengaja kuantar ke sini, karena siapa tahu iainya penting." "Terima kasih, Henrietta," kata George, sambil menerima telegram yang disodorkan. Dengan cepat sampul dirobek. Begitu menyimak isi telegram, George langsung mengerang. "Bacalah," katanya pada Anne sambil menyerahkan telegram. "Dari ,bu." Anne membaca telegram itu. "Harap tinggal seminggu lagi. Ayah kurang enak badan. Salam sayang dari ,bu." "Dasar sial" umpat George sambil cemberut lagi. "Padahal kusangka kita dalam satu dua hari lagi akan sudah bisa pulang, dan kedua abangmu akan menggabungkan diri di Kirrin. Sekarang ternyata kita akan lama terkurung di sini, Ada apa lagi dengan Ayah? Pasti ia cuma sakit kepala aaja atau semacam itu, dan karenanya tidak mau kita membuat ribut di rumah." "Kita bisa pulang ke rumahku," usul Anne. "Asal kau tak peduli pada keadaannya yang agak acak-acakan. Saat ini rumah kami sedang diperbaiki." "Tidak, Aku tahu, kau masih ,Ingin tinggal di sini," kata George. Lagipula orang tuamu sedang bepergian ke luar negeri. Jadi di rumahmu, kita cuma akan merepotkan para pekerja saja" George mengumpat-umpat. "Sekarang seminggu lagi kita terpaksa pisah dari Julian dan Dick, karena tentunya mereka akan meneruskan perkemahan mereka." Ketika kedua anak perempuan itu meminta ijin untuk tinggal satu minggu lagi. Kapten Johnson ternyata mengijinkannya. Tapi ada kemungkinan keduanya harus tidur di luar, apabila ada anak-anak yang baru datang. Tentunya mereka tak keberatan? 'Tentu saja tidak,' jawab George. "Sebetulnya kami ,Ingin hidup agak bebas sedikit, mengurus diri sendiri. Timmy kan ada bersama kami. Asal kami bisa ,kut makan serta melakukan beberapa tugas untuk Anda, kami ingin hidup sendiri." Anne tersenyum sendiri, ia tahu, maksud George sebenarnya, anak itu ingin sesedikit mungkin berjumpa dengan Henrietta. Tapi, memang mengasyikkan juga, tidur di luar - asal cuaca tetap baik. Tenda untuk berkemah, bisa dipinjam dari Kapten Johnson. "Sial. Georgina," kata Henry, yang ikut mendengarkan pembicaraan mereka dengan Kapten Johnson. "Benar-benar siali Aku tahu, kau merasa bosan sekali di sini. Sayang, kau tak suka pada kuda Sayang kau -" "Ah, diam," tukas George dengan kasar, lalu pergi meninggalkan ruangan. Kapten Johnson melotot ke arah Henrietta, yang bersikap pura-pura tidak bersalah. Anak itu' berdiri menghadap jendela sambil bersiul-siul, dengan tangan dimasukkan ke dalam kantong. "Kalian memang keterlaluan kedua-duanya" tukas Kapten Johnson. "Kenapa tidak bisa bersikap biasa saja? Selalu meniru-niru anak laki-laki, berpura-pura jantanl Aku lebih suka anak perempuan seperti Anne, Kalian berdua rupanya perlu ditempeleng sekali-sekali. Jerami tadi sudah kauangkut ke kandang belum?" "Sudah," jawab Henrietta tanpa berpaling. "Sudah, Pak," tukas Kapten Johnson. "Jika kau i-Ingin bersikap kayakanak laki-laki, berbuatlah begitu Kalau bicara dengan aku, bilang 'Pak' - jika kau malas mengingat-ingat bahwa aku Ini punya nama. Itu...." Kalimat Kapten Johnson terpotong, karena saat itu seorang anak laki-laki kecil masuk. "Pak, di luar ada seorang anak kaum kelana, ia menuntun seekor kuda belang. Kuda itu kelihat-annya jelek, tak terawat. Anak itu menanyakan, bisakah Anda menolongnya. Ada sesuatu yang tidak beres dengan kaki kudanya." "Ah, kaum kelana itu ada-ada saja," kata Kapten Johnaon. "Tapi baiklah, Aku datang." ia pergi ke luar. Anne membuntuti, karena tidak mau ditinggal sendiri bersama Henrietta, yang kelihatannya marah karena diomeli Kapten Johnson. Sesampai di luar, dilihatnya George berdiri di dekat seorang anak laki-laki kecil. Anak kaum kelana itu kelihatan dekil, ia memegang tali yang mengikat seekor kuda kecil berbulu belang putih dan coklat. Kuda itu memberikan kesan tak terawat dengan baik. "Kauapakan lagi kudamu kali ini?" tanya Kapten Johnson, sambil memeriksa kaki kuda. "Nanti akan kurawat. Tapi harus kautinggal di sini." "Wah, tidak bisa. Pak," jawab anak itu. "Kami akan berangkat lagi ke Rawa Rahasia." "Yah, kau terpaksa meninggalkannya sekali ini, karena ia tak mampu berjalan," kata Kapten Johnson. Caravanmu terpaksa tidak bisa ikut, karena kuda ini takkan mampu menariknya. Jika kalian tetap nekat menyuruh kuda ini bekerja sebelum cederanya sembuh, akan kupanggil polisi untuk mendatangi ayahmu." "Aduh, jangan," kata anak itu. "Ayahku cuma mengatakan,, kami harus berangkat besok." "Kenapa buru-buru?" kata Kapten Johnson. "Apakah tidak bisa diundurkan sehari dua? Rawa Rahasia pasti takkan pergi ke mana-mana, Aku tak mengerti, kenapa kalian selalu ke sana. Padahal tempat itu sangat terpencil. Sama sekali tak ada pertanian di sana. Sedang pondok pun tak ada" "Kutinggal saja kudaku di sini," kata anak itu ia mengelus-elus hidung kuda belang Itu. Nampak jelas, anak Itu menyayangi kudanya yang jelek itu. "Ayahku pasti akan marah nanti, Tapi biar saja caravan-caravan yang lain berangkat lebih dulu. Kami nanti menyusul saja" Anak bertubuh kurus dan berkulit coklat terpanggang sinar matahari itu memberi hormat pada Kapten Johnson, dengan sikap seperti menabik. Setelah itu ia pergi dari pekarangan istal, meninggalkan kuda jelek yang berdiri dengan sabar. "Bawa dia ke kandang kecil," kata Kapten Johnson pada George dan Anne. "Sebentar lagi aku datang, untuk memeriksanya." Kedua anak perempuan itu menuntun kuda belang ke kandang yang dimaksudkan. Sambil berjalan, George berkata, "Rawa Rahasia, Nama aneh. Julian dan Dick pasti akan langsung ingin menyelidiki tempat itu," "Betul. ,Ingin rasanya mereka datang ke sini," kata Anne. "Tapi kurasa mereka tentu senang bisa melanjutkan acara perkemahan mereka. Nah, kuda cilik, ini dia kandangnya," Mereka memasukkan kuda kecil itu ke dalam kandang, lalu berpaling hendak pergi. Tapi William, anak laki-laki yang tadi menyampaikan kabar tentang kuda, berseru memanggil mereka. He! George, Anne - ini ada telegram lagi untuk kalian," Kedua anak itu bergegas ke rumah induk. "Wah, mudah-mudahan saja Ayah sudah sembuh, dan kita bisa pulang ke Kirrin untuk berkumpul lagi dengan Dick dan Julian di sana," kata George. Buru-buru dibukanya sampul telegram, lalu dibaca isinya. Tiba-tiba George berseru keras, menyebabkan Anne terlompat karena kaget. "Ini, lihatlah yang tertulis di sini, Mereka akan ke mari," seru George. Anne menyambar kertas telegram, lalu membaca. "Akan tiba besok. Kalau tak ada tempat kami tidur di luar. Mudah-mudahan ada acara petualangan asyik. Julian dan Dick." "Mereka datangi Mereka ke sini," kata Anne 'berseru-seru. ia ikut bergembira, seperti George. "Nah, sekarang kita bisa asyik di sini," "Sayang, tidak ada petualangan yang bisa kita suguhkan pada mereka," kata George. "Tapi siapa tahu, nanti ada kejadian menarik," Bab 2 Julian, Dick - dan Henry GEORGE langsung berubah sikapnya, begitu tahu bahwa kedua sepupunya yang laki-laki akan tiba besok, ia bahkan bisa bersikap sopan terhadap Henrietta. Kapten Johnson menggaruk-garuk kepala, ketika mendengar berita bahwa Dick dan Julian akan datang. "Mereka tidak bisa ditampung dalam rumah, kecuali untuk makan," katanya. "Semua tempat terisi saat ini. Tapi mereka bisa tidur di kandang, atau berkemah di luar. Terserah pada mereka," "Kalau begitu tamu kita menjadi sepuluh," kata isterinya menghitung-hitung. "Julian, Dick, Anne, George, Henry - lalu John,Susan, Alice,Ritadan William. Mungkin nantinya Henry juga terpaksa tidur di luar." 'Tapi tidak bersama kami," kata George cepat-cepat. "Menurut perasaanku, kau bersikap kurang ramah terhadap Henry," kata Bu Johnson. "Pedahal kau dan dia banyak sekali persamaannya, George. Kalian berdua sama-sama beranggapan, kalian seharusnya dilahirkan sebagai anak laki-laki, dan "Aku sama sekali tidak kayak Henrietta!" tukas George. "Tunggu saja sampai kedua sepupuku datang, Bu Johnson. Mereka pasti tak beranggapan anak itu mirip dengan aku. Menurut perasaanku, mereka takkan mau bergaul dengan dia." "Ah, jika kau ingin tinggal di sini, kalian perlu saling bergaul," kata Bu Johnson. "Sekarang sebaiknya aku mengeluarkan beberapa lembar selimut cadangan. Kedua sepupumu pasti memerlukannya, tak peduli apakah mereka akan tidur dalam kandang atau di kemah. Anne, kau membantuku mengambilnya." Anne, George dan Henry berumur lebih tua daripada kelima anak lainnya yang menjadi tamu di situ. Tapi semuanya yang besar maupun kecil ikut bergembira mendengar kabar Julian dan Dick akan datang. Soalnya, George dan Anne sudah sering bercerita tentang berbagai petualangan ramai yang pernah mereka alami, sehingga anak-anak mulai menganggap kedua anak laki-laki itu semacam jagoan. Sehabis minum teh sore itu, Henrietta menghilang. Dicari ke mana-mana, tapi tak ketemu juga. "Ke mana kau tadi?" tanya Bu Johnson, ketika anak itu muncul lagi kemudian. "Di tingkat atas, dalam kamarku," jawab Henrietta. "Membersihkan sepatu dan celanaku untuk menunggang kuda, serta menjahit jaketku yang robek. Anda sudah berulangkali menyuruhku, dan sekarang kukerjakan," "Wah, rupanya bersiap-siap untuk menyambut para jagoan," kata Kapten Johnson mengomentari. Henry langsung cemberut. Tampangnya saat itu persis seperti tampang George kalau sedang kesal. "Siapa bilang," tukas Henry. "Sudah lama aku bermaksud hendak melakukannya. Jika saudara saudara sepupu Georgina kayak dia, aku takkan tertarik pada mereka." "Tapi kalau abang-abangku, mungkin kau akan senang," kata Anne sambil tertawa. "Kalau tidak, mungkin ada yang tidak beres dengan dirimu ," "Jangan konyol," tukas Henrietta. "Saudara sepupu Georgina atau abang-abangmu, orang-orangnya kan sama saja ," "Wah, pintar juga anak ini, bisa tahu bahwa keduanya sama," sindir George. Tapi tak diteruskannya, karena saat itu perasaannya sedang terlalu bergembira. Sambil bersiul pelan, ia pergi ke luar bersama Timmy. "Besok mereka datang. Tim," katanya. "Julian dan Dick akan datang besok , Kita akan pesiar bersama-sama lagi, seperti biasanya. Kita berlima , Kau senang, kan Timmy?" Timmy menggonggong tanda sependapat, sambil mengibas-ngibaskan ekor. Anjing itu mengerti makna kata-kata George. Keesokan harinya, pagi-pagi Anne dan George sudah sibuk mempelajari jadwal perjalanan kereta api yang singgah di stasiun, yang letaknya sekitar dua mil dari istal Kapten Johnson. "Mestinya ini kereta api yang mereka tumpangi," kata George, sambil menunjuk ke daftar. "Soalnya, cuma ini satu-satunya yang lewat di sini sebelum siang. Tibanya di sini pukul setengah satu siang. Yuk, kita menjemput mereka ke stasiun ," "Ayohlah," kata Anne. "Kita berangkat dari sini pukul dua belas kurang sepuluh menit. Jadi kita tak perlu bergegas-gegas. Nanti kita bisa membantu membawakan barang-barang. Takkan banyak bawaan mereka." Saat itu Kapten Johnson berseru memanggil mereka, "Tolong bawakan kuda-kuda poni ke Lapangan Hawthorn," katanya. "Kalian bisa menangani keempat-empatnya sekaligus?" 'Tentu saja," jawab Anne senang, ia senang berjalan ke lapangan yang dimaksudkan oleh Kapten Johnson. Letaknya di tepi sebuah jalan kecil yang sempit, yang kiri-kanannya berpagar tanaman yang semarak dengan bunga. "Yuk, George, kita tangkap kuda-kuda poni itu, lalu berangkat sekarang juga. Pagi ini cuaca ,ndah sekal , Kemudian kedua anak perempuan itu berangkat sambil menuntun keempat kuda poni yang lincah, diiringi oleh Timmy. Anjing itu sangat membantu dalam tugas mengurus kuda di istal. Apalagi pada saat kuda-kuda harus digiring masuk ke kandang. Belum lama Anne dan George meninggalkan kandang menuju ke lapangan, telepon di rumah Kapten Johnson berdering. Ada orang ingin bicara dengari Anne. "Wah, sayang dia sedang pergi," kata Bu Johnson, yang menerima telepon. "Siapa yang berbicara ini? Ah, Julian - abang Anne, kan? Bisakah kusampaikan pesanmu padanya?" "Terima kasih. Bu," kata Julian. "Tolong kabarkan padanya, kami akan tiba di halte bis Milling Green pukul setengah dua balas nanti. Harap Anne dan George menjemput dengan membawa gerobak dorong. Soalnya, kami membawa tenda serta barang-barang bawaan lainnya." "Akan kami kirimkan kereta kuda kami, yang selalu dipakai menyongsong anak-anak yang datang dengan kereta api atau bis," kata Bu Johnson. "Akan kusuruh George menjemput kalian, bersama Anne. Mereka bisa naik kereta kecil kami. Kami sangat senang kalian datang ke mari. Cuaca kebetulan sangat cerah. Pasti kalian akan senang di sini," "Tentu, Bu," jawab Julian. "Terima kasih atas kesediaan Anda menerima kami. Kami takkan merepotkan. Kami bahkan akan ikut membantu, sebisa-bisa kami." Selesai pembicaraan itu. Bu Johnson melihat Henrietta yang saat itu lewat di luar, dekat jendela. Anak itu nampak lebih bersih dan rapi daripada biasanya. Bu Johnson memanggilnya. "Henry, Mana George dan Anne? Julian dan Dick akan tiba pukul setengah dua belas nanti, di halte bis Milling Green. Sudah kukatakan pada Julian, kita akan menjemput mereka dengan kereta kuda. Tolong sampaikan pada George dan Anne, ya? Mereka bisa memakai Winkie untuk menarik kereta." "Baiklah," kata Henry. Tapi kemudian ia teringat, George dan Anne tadi disuruh Kapten Johnson mengantarkan keempat kuda poni ke Lapangan Hawthorn. "Wah, mereka takkan mungkin bisa kembali pada waktunya," serunya pada Bu Johnson. "Bagaimana kalau aku saja yang menjemput mereka dengan kereta?" "Ya, baiklah - kalau kau mau, Henry," jawab Bu Johnson. "Tapi cepatlah sedikit, karena hari mulai siang. D, mana Winkie? Di lapangan besar?" "Ya," jawab Henry, ia bergegas mengambil kuda itu dari lapangan. Tak lama kemudian ia sudah duduk di tempat kusir, memegang tali kekang yang terpasang ke mulut Winkie. Dijalankannya kereta dengan cekatan. Henry tertawa nyengir. Dibayangkannya betapa kesal George dan Anne nanti, kalau menyadari bahwa mereka tak berhasil menjemput Dick dan Julian. Kedua anak laki-laki itu sudah ada di halte bis. ketika Henry sampai dengan kereta kuda. Mereka memandang dengan penuh harap ke arah kereta itu, karena menyangka Anne atau George yang datang untuk menjemput. "Wah, bukan," kata Dick. "Anak lain rupanya, yang hendak pergi ke desa. Jangan-jangan mereka tak menerima kabar kita tadi. Kusangka mereka akan datang menjemput kita di halte ini. Yah, kita tunggu saja beberapa menit lagi." Keduanya lantas duduk kembali di bangku yang terdapat di halte itu. Tahu-tahu kereta kuda yang datang, berhenti di dekat mereka. Henry melambaikan tangan, memberi salam. "Kalian abang Anne?" katanya menyapa. "Anne tidak menerima kabar kalian lewat telepon tadi, jadi sebagai gantinya aku yang datang menjemput. Naiklah ," "Kau baik hati," kata Julian, sambil menaikkan barang-barang ke atas kereta. "Eh - namaku Julian - dan ini Dick, adikku. Kau siapa?" "Henry," kata Henrietta, sambil membantu Julian dengan barang-barang. Didecakkannya lidah, menyuruh Winkie berdiri diam-diam dan jangan lasak terus. "Aku senang, kalian berdua datang. Di istal banyak anak-anak kecil. Kami gembira sekali, ketam bahan kalian berdua , Dan Timmy pasti akan senang pula berjumpa kembali dengan kalian." "Ya, si Timmy yang baik," kata Dick, sambil menjunjung barang-barang bawaannya ke atas kereta. Henry menolongnya pula. Anak itu badannya tidak terlalu besar. Tapi ia tegap dan kuat. "Nah, beresi" katanya, setelah barang-barang sudah masuk ke kereta semuanya. "Sekarang kita kembali ke istal. Atau kalian masih ingin membeli es krim atau barang lain dulu, sebelum kita berangkat? Makan siang baru pukul satu nanti." "Tidak, sebaiknya kita langsung berangkat saja sekarang," kata Julian. Henry meloncat naik ke tempat kusir. Dipegangnya tali kendali, lalu didecakkannya lidah menyuruh Winkie berjalan. Julian dan Dick mengambil tempat di belakang. Kereta mulai bergerak, ditarik Winkie yang lari menderap. "Anak laki-laki ini baik hati," kata Dick dengan suara pelan pada Julian. "Untung ia mau menjemput kita." Julian mengangguk, ia merasa menyesal, karena Anne dan George tidak datang menjemput bersama Timmy. Tapi di pihak lain, ia merasa lega karena ada orang yang menjemput. Bayangkan jika tidak begitu , Takkan enak rasanya, harus berjalan kaki menyusur jalan yang jauh, sambil menggendong barang-barang bawaan. Kemudian mereka sampai di istal Kapten Johnson. Henry membantu lagi, menurunkan barang-barang. Bu Johnson yang mendengar kedatangan mereka, buru-buru muncul di ambang pintu untuk menyambut "Nah, itu kalian , Ayo, masuk saja ke dalam. Aku sudah menyiapkan sedikit makanan kecil untuk kalian, karena menurut dugaanku kalian tadi pasti sarapan pagi-pagi sekali. Biarkan saja barang-barang itu di situ, Henry. Jika mereka nanti tidur dalam salah satu kandang, kan tak ada gunanya membawa barang-barang itu masuk ke rumah sekarang. George dan Anne masih belum kembali juga? Aduh, sayangi" Henry pergi, mengembalikan kereta kuda ke tempat penyimpanannya. Sementara itu Julian dan Dick melangkah masuk ke dalam rumah yang memberikan kesan menyenangkan itu. Mereka langsung disuguhi limun dan biskuit bikinan Bu Johnson sendiri. Tapi baru saja mereka mulai makan, Anne masuk sambil berlari-lari. "Kata Henry, kalian sudah datangi" katanya. "Wah, maaf kami tak menyongsong kalian. Soalnya, kami kira kalian datang dengan kereta api," Saat itu Timmy masuk, dan langsung menubruk kedua anak laki-laki yang saat itu sedang merangkul adik mereka. Kemudian George masuk pula, dengan wajah berseri-seri. "Julian, Dick," serunya gembira. "Senang rasanya kalian datangi Tanpa kalian, rasanya bosan sekail. Ada yang datang menjemput tadi?" "Ya, seorang anak laki-laki yang sangat ramah," kata Dick. "Kami disambutnya dengan hangat, ia ikut menaikkan barang-barang kami ke atas kereta. Anak itu benar-benar ramah. Kau tak pernah bercerita tentang dia pada kami." "Ah, William maksudmu?" kata Anne. "Dia kan masih kedi. Kami memang tak mau repot-repot bercerita pada kalian tentang anak-anak kecil yang ada di sini." "Tidak, anak tadi tidak kecil," kata Dick. "Anaknya termasuk besar, dan sangat kuat. Kalian sama sekali tak pernah menyinggung-nyinggung tentang dia." "Tapi kami bercerita pada kalian tentang seorang anak perempuan yang juga ada di sini," kata George. "Henrietta maksudku , Anak konyol, menyangka dirinya laki-laki. Kalau pergi ke mana-mana, selalu sambil bersiul-siul. Geli kami melihatnya. Kalian pasti akan tertawa pula." Tiba-tiba Anne tertegun. "Anak laki-laki yang menyongsong tadi, apakah ia menyebutkan namanya?" tanya Anne. "Ya," jawab Dick. "Nanti dulu - ah ya, Henry , Anak itu baik. Kurasa aku bisa cocok dengannya." Mata George melotot. Kelihatannya seperti tidak mempercayai pendengarannya sendiri. "Henry!" katanya kaget. "Anak perempuan itu yang menjemput kalian?" "Bukan anak perempuan," kata Julian membetulkan. "Seorang anak laki-laki, yang kalau nyengir lebar sekali." "Itulah dia, Henrietta ," seru George. Mukanya merah padam, karena marah. "Dialah anak perempuan konyol yang kuceritakan dalam suratku, yang bertingkah meniru lagak anak laki-laki, berjalan mondar-mandir sambil bersiul-siul. Aduh, rupanya kalian terkecoh olehnya, ia menyebut dirinya Henry, bukan Henrietta, sedang rambutnya dipotong pendek, dan ..." "Wah, kedengarannya sangat mirip dengan dirimu, George ," kata Dick. "Bukan main, sama sekali tak kusangka dia anak perempuan , Pintar sekali ia main sandiwara. Terus terang saja, aku suka pada anak Itu." "Huhh!" George marah sekali. "Jahat sekali dial Menjemput kalian, tanpa mengatakan apa-apa pada kami, dan membuat kalian menyangka dia anak laki-laki - dan - dan - merusak suasana ," "Tenang, George - tenang" kata Julian, ia kaget melihat George naik darah dengan tiba-tiba. "Kau sendiri, kan cukup sering merasa senang jika dikira anak laki-laki. Aku tak mengerti, apa sebabnya. Kusangka sudah agak lebih dewasa sekarang. Jangan persalahkan kami, karena menyangka Henry itu anak laki-laki, begitu pula menyukainya." George menghempaskan kaki, lalu keluar meninggalkan kamar itu. Julian menatap Dick sambil menggaruk-garuk kepala. "Nah, sekarang dia marah pada kita," kata Julian. "George memang aneh, Menurut pendapatku, mestinya ia senang pada orang kayak Henry, yang sama jalan pikirannya seperti dia. Yah, kurasa nanti toh ia akan biasa lagi." "Tapi sementara itu keadaan agak repot," kata Anne. Pendapatnya benar. Keadaan bahkan menjadi sangat repot. Bab 3 si Ingus BARU saja George marah-marah meninggalkan kamar, muncul pula anak lain. Henry melangkah masuk, berjalan dengan tangan dalam kantong celana. "Halo, Henrietta ," sapa Dick dengan segera. Henry nyengir mendengar sapaan itu. "Ah, rupanya kalian sudah diberi tahu, ya?" katanya. "Aku tadi geli setengah mati, ketika kalian mengira aku anak laki-laki." "Pakaian yang kaukenakan pun model laki-laki," kata Anne. Baru saat Itu hal tersebut disadari olehnya. "Kau ini memang konyol, Henry. Sama saja kayak George!" 'Tapi dibandingkan dengan dia, aku lebih kayak anak laki-laki," kata Henry. "Cuma rambutmu saja," kata Dick. "Tumbuhnya lurus, tidak ikal seperti rambut George." "Jangan bilang begitu di depan George," kata 'Anne khawatir. "Jangan-jangan rambutnya nanti dipotong papak - atau bahkan gundul sama sekali." "Yah, pokoknya Henry sudah berbaik hati, mau menjemput kami serta menolong mengangkatkan bawaan kami," kata-Julian. "Ada yang mau biskuit?" 'Tidak, terima kasih," kata Anne dan Henry serempak. "Apakah sebaiknya kami menyisakan sedikit, untuk sopannya?" kata Dick, yang saat itu memandang piring berisi biskuit, "ini bikinan sendiri rupanya. Rasanya enak sekali. Kurasa aku mampu menyikat habis semuanya." "Kami di sini tidak biasa main sopan-sopanan," kata Henry sambil nyengir. "Juga tidak terlalu bersih dan rapi. Sebelum makan malam, kami diharuskan menukar celana menunggang kuda dengan pakaian lain. Biar cuma Itu saja peraturan yang harus ditaati, tapi cukup merepotkan. Apalagi Kapten Johnson sendiri tak pernah bertukar pakaian dulu." "Ada kabar baru?" tanya Julian, sambil meneguk limun. "Ada kejadian yang menggemparkan?" "Tidak, sama sekali tidak ada," kata Anne. "Di sini satu-satunya yang mengasyikkan cuma kuda-kuda saja. Lain dari itu, tak ada apa-apa. Tempat ini sebetulnya sepi. Satu-satunya kabar menarik yang kami dengar, adalah, nama padang rawa sunyi yang terbentang dari sini sampai ke pesisir. Namanya Rawa Rahasia." "Kenapa namanya begitu?" tanya Dick ,Ingin tahu. "Apakah mungkin karena pada jaman dulu pernah ada sesuatu kejadian rahasia di situ?" "Entahlah," jawab Anne. "Kurasa yang sekarang masih mendatangi tempat itu cuma kaum kelana saja. Kemarin ada seorang anak dari kaum kelana Itu ke mari. ia menuntun seekor kuda yang cedera kakinya. Kata anak itu, kaumnya harus pergi ke Rawa Rahasia. Aku tak mengerti apa sebabnya mereka mau mendatangi tempat yang begitu terpencil. Di sana sama sekali tidak ada pertanian. Sedang pondok saja, juga tidak ada." "Kaum kelana, kadang-kadang memang aneh jalan pikirannya." kata Henry menyela. 'Tapi aku senang melihat cara mereka meninggalkan pesan untuk kaum mereka yang menyusul. Dalam bahasa mereka, sebutannya patrin." "Patrin? Ya, aku juga sudah pernah mendengar istilah itu," kata Dick. "Itu kan ranting-ranting serta dedaunan yang diatur menurut pola tertentu?" "Betul," kata Henry. "Pak Kebun kami di rumah pernah menunjukkan ranting-ranting yang diatur begitu di luar pintu pagar belakang rumah kami. Katanya, itu pesan untuk teman sekaum yang datang kemudian. Pak Kebun bahkan menjelaskan maknanya." "Lalu - maknanya apa?" tanya Julian. 'Tanda itu artinya, 'Jangan mengemis di rumah ini. Pemiliknya jahat. Tidak suka memberi'," kata Henry sambil tertawa. "Setidak-tidaknya, begitulah kata Pak Kebun padaku ," "Kita bisa menanyakan pada anak laki-laki dari kaum kelana Itu, yang datang dengan kuda belang yang cedera," kata Anne. "Mungkin saja ia akan menunjukkan beberapa tanda pesan pada kita. Aku kepingin belajar membuat tanda-tanda seperti itu. Siapa tahu ada gunanya nanti ," "Betul. Dan kita juga bisa menanyakan padanya, apa sebabnya kaum kelana pergi ke Rawa Rahasia," kata Julian, ia bangkit dari kursinya, sambil membersihkan remah-remah biskuit yang menempel pada jasnya. "Yang sudah pasti, mereka bukan ke sana karena iseng belaka ," "He - ke mana George?" tanya Dick. "Asal jangan merajuk saja anak itu ," Ternyata George ade dalam salah satu kandang kuda. Anak itu sibuk menggosok bulu seekor kuda. ia menggosok dengan begitu bersemangat, sehingga kuda itu heran dibuatnya. George menyibukkan diri. guna menghilangkan rasa jengkel yang melanda dirinya saat itu. ia tidak ingin merusak suasana libur Julian Dick dan Anne. Tapi Henrietta konyol itu memang benar-benar keterlaluan. Menyongsong kedatangan kedua saudara sepupunya, sambil berlagak menjadi anak laki-laki. Tapi Dick dan Julian juga keterlaluan - masak sama sekali tidak menduga anak itu sebenarnya perempuan , "Ah, di sini kau rupanya, George." George menoleh, ketika mendengar suara Dick di ambang pintu kandang. "Sini, biar kubantu kata Dick lagi. "Wah, warna kulitmu coklat sekarang. Dan semakin banyak saja bintik-bintik di mukamu ," Mau tak mau, George nyengir juga mendengar perkataan itu. Dilontarkannya sikat kuda ke arah Dick. "Nih, kalau benar-benar mau bekerja," kata George. "Kau dan Julian juga bermaksud akan menunggang kuda? Di sini banyak kuda , Tinggal pilih saja, mau yang mana." Dick merasa lega, melihat George nampaknya sudah tidak marah-marah lagi. "Ya, tentunya senang bisa pesiar seharian dengan kuda," katanya. "Bagaimana kalau besok? Kita bisa pergi menyelidiki Rawa Rahasia barang sedikit." "Setuju," kata George, ia mulai sibuk, menaburkan jerami ke dasar kandang. 'Tapi tidak bersama anak perempuan itu," tambahnya. Tampangnya tak kelihatan, karena tertutup jerami yang sedang diangkat olehnya. "Anak perempuan yang mana?" tanya Dick pura-pura tidak tahu. "Ah, maksudmu si Henry? Aku selalu menganggapnya anak laki-laki. Tidak, dia tidak usah diajak. Kita berlima saja, seperti biasanya." "Kalau begitu, beres," kata George senang. "Nah, itu Julian datang. Ayo bentu dong, Jul" George senang sekali bisa berkumpul kembali bersama kedua saudara sepupu laki-laki itu. Bercanda, tertawa, ejek-mengejek. Siang itu mereka semua pergi ke lapangan. Dick dan Julian mengisahkan pengalaman mereka berkemah. Suasana saat itu seperti dulu-dulu. Timmy ikut-ikut senang. Didatanginya anak-anak satu persatu, sambil menjilat-jilat serta mengibas-ngibaskan ekor. "Sudah tiga kali dengan ini mukaku kautampar dengan ekormu. Tim," kata Dick sambil mengelak. "Tidak bisa melihat sebentar ke belakang, supaya tahu di mana mukaku?" Si Timmy menggonggong dengan gembira. An jing itu berpaling untuk menjilat Dick. Ekornya yang mengibas-ngibas terus, sekali itu menyapu muka Julian , Saat itu terdengar ada orang menerobos pagar semak di belakang mereka. Sikap George langsung berubah, karena menyangka yang datang itu Henrietta. Timmy menggonggong dengan keras. Tapi ternyata yang muncul bukan Henrietta, melainkan anak kaum 'kelana yang datang sehari sebelumnya. Tampangnya yang kumal nampak coreng-moreng. Rupanya ia habis menangis. "Aku hendak menjemput kuda," kata anak itu. "Kalian tahu di mana dia?" "Kudamu masih belum bisa berjalan," kata 'George. "Kan sudah dikatakan juga oleh Kapten Johnson , Ada apa? Apa sebabnya kau menangis?" "Dipukul ayahku," kata anak itu. "Aku d tempe lengnya sampai terpelanting." "Apa kesalahanmu?" tanya Anne. "Karena kuda itu kutinggal di sini," kata anak itu lagi. "Sedang kata ayahku, kuda itu cuma memerlukan obat sedikit serta dibalut kakinya. Soalnya, ia hendak berangkat hari ini juga, bersama caravan-caravan lainnya." "Yah, kudamu itu sungguh-sungguh belum bisa diambil sekarang," kata Anne. "Berjalan saja tak mampu, apalagi menghela caravan , Kau kan tak mau Kapten Johnson melaporkan pada polisi bahwa kalian mempekerjakan kuda yang tidak sehat? Kau kan tahu. Kapten Johnson tidak main-main sewaktu berkata begitu?" "Ya, aku tahu. Tapi kuda itu harus kuambil," kata anak kelana itu. "Aku tak berani pulang tanpa dia. Bisa setengah mati aku nanti, dipukul ayahku." "Rupanya ia sendiri tidak berani datang, dan karenanya lantas kau yang disuruh," kata Dick jengkel. Anak kelana itu diam saja. ia mengusap mukanya dengan lengan kemeja yang dekil. Terdengar bunyi hidung disedot. "Pakai sapu tanganmu," kata Dick. "Kau ini tak pernah mencuci muka rupanya, ya?" "Memang," kata anak kelana Itu. ia nampak heran mendengar pertanyaan itu. "Kasihlah kuda itu. Sungguh, aku pasti akan dihajar habis-habisan, jika kembali tanpa dia." Anak itu mulai menangis lagi. Julian serta saudara-saudaranya merasa kasihan melihatnya. Anak itu berbadan kurus ceking. Kelihatannya menderita. Dan tak henti-hentinya ia menyedot ingus yang meleleh. "Namamu siapa?" tanya Anne. "si Ingus," kata anak itu. "Ayahku selalu memanggil aku begitu." Nama itu memang cocok untuknya. Tapi ayahnya pasti jahat sekali , "Kau tidak punya nama yang sebenarnya?" tanya Anne. "Ada, tapi aku sudah lupa," jawab si Ingus. "Biarlah kuda Itu kubawa. Ayahku menunggui" Julian berdiri. "Akan kudatangi ayahmu, untuk memintanya agar jangan keterlaluan begitu. Di mana dia?" "Di sebelah sana," kata si Ingus sambil menyedot ingus keras-keras, ia menunjuk ke seberang pagar. "Aku ikut juga," kata Dick. Akhirnya semua ikut. Mereka berjalan melewati pintu gerbang pagar. Mereka melihat seorang laki-laki berdiri tidak jauh dari situ. Orang itu berkulit gelap. Tampangnya masam. Rambutnya hitam ikal, tebal dan bergelimang minyak. Di telinganya terpasang cincin emas yang besar, ia menoleh, ketika rombongan anak-anak mendekat. "Kuda Anda masih belum boleh berjalan," kata Julian. "Kata Kapten, besok atau lusa baru bisa diambil." "Aku minta sekarang," tukas orang itu. "Malam Ini juga, atau besok kami akan berangkat menuju rawa. Aku tidak bisa menunggu selama itu." "Kenapa buru-buru?" tanya Julian. "Rawa kan tidak pergi." Laki-laki itu menarik muka masam ia berdiri dengan gelisah. "Tidak bisakah Anda menunggu di sini dulu selama satu sampai dua malam, dan setelah itu baru menyusul?" kata Dick. "Begini saja, Yah! Ayah ikut dengan kawan-kawan," sela si Ingus bersemangat. ",kut saja dengan caravan Moses, sedang caravan kita Ayah tinggal dulu di sini. Besok atau lusa aku menyusul dengannya ," 'Tapi bagaimana kau bisa tahu jalannya?" tanya George. si Ingus menepiskan tangannya dengan sikap meremehkan. "Itu gampangi Mereka akan meninggalkan jejak patrin untukku," katanya. "Ah ya, betul juga," kata Dick, ia ingat lagi, kaum kelana mahir dalam urusan lacak-melacak. ia berpaling ke laki-laki yang nampaknya pendiam itu. "Nah, bagaimana? Rasanya ide si Ingus ini baik, lagipula Anda sudah jelas tidak bisa mengambil kuda itu hari ini." Laki-laki itu berpaling, lalu mengatakan sesuatu pada si Ingus dengan nada menukas. si Ingus nampak mengkerut mendengar kata-kata itu, seakan-akan terpukul olehnya. Julian dan saudara-saudaranya tidak mengerti apa-apa. karena laki-laki itu berbicara dalam bahasa kaum kelana yang sama sekali asing bagi mereka. Kemudian laki-laki itu pergi, tanpa mengacuhkan anak-anak lagi. Nampak anting-anting emasnya berkilauan kena sinar matahari. "Apa katanya tadi?" tanya Julian. si Ingus menyedot ingus dulu, sebelum menjawab. "Dia marah sekali," katanya. "Katanya ia akan pergi bersama rombongan, sedang aku disuruhnya menyusul dengan Clip. Itu nama kudaku. Clip harus menarik caravan. Aku takkan apa-apa di sini malam ini, karena ada Liz." "Siapa itu, Liz?" tanya Anne. Dalam hati ia berharap, semoga itu nama seseorang yang mau berbaik hati pada anak malang yang berdiri di depannya itu. "Liz itu anjingku," kata si Ingus. Untuk pertama kalinya anak itu tersenyum. "Dia sengaja kutinggal, karena kadang-kadang suka iseng mengejar ayam. Sedang Kapten Johnson tidak senang jika anjingku itu berbuat begitu." "'Ya, tentu saja," kata Julian. "Jadi persoalan sudah beres. Besok kau boleh datang menjemput kudamu - Clip atau Clop namanya? - yah, pokoknya besok kita lihat, apakah dia sudah bisa berjalan lagi." "Syukurlah," kata si Ingus sambil mengusap-usap hidung. "Aku tak ingin Clip menjadi lumpuh. Tapi ayahku, galaknya tidak kepalang tanggung." "Rupanya memang begitu," kata Julian, sambil memandang muka si Ingus yang nampak ada bekas memar. "Kau datang saja besok ke sini , Kau bisa menunjukkan pada kami beberapa bentuk patrin, bentuk pesan yang biasa dipergunakan kaum kelana. Kami ingin mengenal beberapa buah." "Aku akan datang," kata si Ingus berjanji, sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Dan kalian mau datang untuk melihat caravanku? Aku akan sendirian di sana, di samping Llz." "Yah, kurasa boleh juga - daripada nganggur," kata Dick. "Ya, kami akan datang. Tapi mudah-mudahan saja caravanmu itu tidak bau." "Bau?" kata si Ingus tercengang. "Entah, aku tidak tahu apakah caravan itu bau atau tidak. Nanti akan kutunjukkan beberapa patrin di sana. Dan Llz akan kusuruh memamerkan kepintarannya. Anjingku itu sangat cerdik. Dulu pernah ikut sirkus." "Kalau begitu Timmy perlu kita ajak, untuk melihat anjing pintar itu," kata Anne. ia menepuk-nepuk Timmy, yang baru saja kembali dari berburu kelinci. "Timmy, kau mau ikut melihat seekor anjing yang sangat pintar? Namanya Llz." "Guk," gonggong Timmy, sambil mengibaskan ekornya dengan sopan. "Baiklah," kata Dick. "Kami senang kau setuju. Tim. Kami semua akan berusaha datang besok, Ingus - setelah kau melihat keadaan kudamu di sini. Tapi kurasa ia masih belum bisa kaupergunakan. Kita lihat sajalah ," Bab 4 Tidur di Kandang Malam itu Dick dan Julian menginap dalam kandang. Menurut Kapten Johnson mereka bisa memakai kasur yang akan diambilkan dari dalam rumah. Atau boleh juga tidur di atas jerami, dengan dilapisi selimut tebal. "Di atas jerami sajalah," kata Julian. "Itu pun sudah cukup. Kami bisa tidur enak di atasnya." "Aku dan Anne ingin ikut tidur dalam kandang," kata George kepingin. "Kami belum pernah tidur dalam kandang. Bolehkah, Kapten Johnson?" 'Tidak, Untuk kalian tersedia tempat tidur, yang sudah kalian bayar sewanya," kata Kapten. Lagi pula anak-anak perempuan tidak bisa berbuat begitu. Juga mereka yang berlagak seperti laki-laki, George ," "Kalau aku, sudah sering tidur dalam kandang," kata Henrietta. "Di rumah jika kebetulan sedang banyak tamu, aku selalu tidur di luar - di atas jerami." "Kasihan kuda-kudanya ," kata George. "Kenapa kasihan?" sambut Henry dengan segera. "Habis - pasti tidak bisa tidur sepanjang malam, terganggu bunyi dengkurmu," kata George-Henry mendengus kesal, lalu pergi ke luar. Menjengkelkan sekali bahwa ia selalu tidur mendengkur. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. "Tak apalah, Henrietta ," seru George dari dalam. "Dengkurmu itu kedengarannya jantan ," "Diam. George ," kata Dick, ia kaget, mendengar George tiba-tiba begitu cerewet. "Jangan aku yang kausuruh tutup mulut," tukas George. "Bilang sama Henrietta ," "Jangan keras kepala, George," kata Julian menyabarkan. Tapi ucapan itu pun diterima oleh George dengan perasaan tidak senang, ia melangkah ke luar dengan sikap kaku dan tersinggung. Persis seperti dilakukan Henry sebelumnya , "Uahh," keluh Anne. "Begini terus keadaannya dari saat awal. Mula-mula Henry, lalu George - sudah itu George dulu, disusul oleh Henry , Kedua- , nya memang sama-sama konyoli" Anne pergi melihat tempat kedua abangnya akan tidur malam itu. Mereka disuruh menempati sebuah kandang kecil, yang bisa dibilang kosong. Yang ada di situ cuma kuda si Ingus. Kuda kecil itu berbaring dengan sabar. Kakinya yang dibalut terjulur lurus di lantai kandang. Anne menepuk-nepuk dan mengelus-elus tubuh kuda itu. Kuda itu kecil dan jelek rupanya. Tapi matanya bagus, kelihatan memandang penuh kesabaran. Jerami yang akan dijadikan tempat berbaring Dick dan Julian cukup banyak tersedia di situ. Kecuali itu masih ada pula beberapa lembar selimut tua. Menurut perasaan Anne, pasti nyaman tidur di situ. "Mandi dan lain-lainnya, bisa kalian lakukan di da- lam rumah," katanya. "Setelah itu ke mari untuk tidur. Enak ya, bau jerami ini. Mudah-mudahan kalian nanti tidak terganggu oleh kuda itu. Mungkin akan agak lasak, jika kakinya yang cedera terasa sakit." "Malam ini takkan ada yang bisa mengganggu tidur kami ," kata Julian. "Hidup berkemah di udara terbuka, dengan angin bertiup dari atas bukit - kami pasti akan tidur nyenyak nanti. Kurasa kami akan merasa senang di sini, Anne. Suasana di sini sunyi dan tenang." Saat itu George menjengukkan kepala dari ambang pintu. "Kalau kalian mau, bisa kupinjamkan Timmy," katanya, ia ingin sekali berbuat sesuatu, untuk melenyapkan perasaan tidak enak yang ditimbulkan oleh sikapnya yang mengambek tadi. "He, Georgel kata Julian sambil menoleh. "Terima kasih, tapi tidak usah. Aku tidak ingin tertindih oleh Timmy nanti malam, jika ia mencari tempat yang paling empuk untuk berbaring , Nah, nah , Sekarang ia mau memamerkan cara membuat lubang tempat berbaring , He, Tim - ayo kaluar dari jeramiku ," Sementara anak-anak berbicara, ternyata Timmy naik ke atas jerami dan berputar-putar di atasnya. Anjing Itu berbuat seakan-akan hendak membuat tempat baring. Kemudian ia duduk lurus-lurus sambil memandang anak-anak. Moncongnya terbuka, sedang lidahnya terjulur ke samping. "Timmy tertawa," kata Anne. Memang, Timmy saat itu kelihatan seperti sedang menertawakan mereka. Anna merangkulnya dengan gemas. Timmy menjilat Anne, lalu mulai lagi dengan kesibukannya berputar-putar di atas jerami. Saat itu ada orang datang sambil bersiul nyaring. Oreng Itu menjenguk ke dalam kandang. "Ini ada dua buah bantal untuk kalian," kata orang itu, yang tidak lain daripada Henry lagi. "Kata Bu Johnson., kalian memerlukannya "Wah, terima kasih banyak, Henry," kata Julian, sambil menerima bantal-bantal yang dilemparkan. "Kau baik hati, Henrietta," kata George dengan suara d genit genitkan "Ah, ini kan tidak apa-apa, Georgina," jawab Henry. Dick dan Julian tertawa terbahak-bahak mendengar ulah kedua anak perempuan itu. Untung saat itu terdengar bunyi lonceng, memanggil makan malam. Dengan segera mereka berbondong-bon-dong menuju ke rumah induk. Entah kenapa, tapi di situ anak-anak seperti selalu merasa lapar terusl Malam itu anak-anak perempuan kelihatan lain dari biasanya. Soalnya, mereka harus menukar pakaian sehari-hari mereka yang kotor dan bau, dengan gaun. Anne, Henry dan George cepat-cepat pergi berganti pakaian, sebelum Bu Johnson membunyikan lonceng sekali lagi. Bu Johnson selalu memberikan waktu sepuluh menit bagi mereka, ia tahu, mungkin anak-anak masih ada tugas dengan kuda-kuda di kandang. Tapi jika lonceng panggilan makan malam berbunyi untuk kedua kalinya, semua diharuskan sudah hadir di meja makan. George kelihatan manis malam itu. Rambutnya yang ikal, cocok sekali dengan rok dan blus yang dipakainya. Tapi Henry? Wah, tampangnya jadi kelihatan aneh, dengan rok yang berjumbai-jumbai. "Kau kelihatannya seperti anak laki-laki memakai rok," kata Anne. Ucapan itu menyenangkan Henry. Tapi George langsung cemberut. Pembicaraan saat makan, terutama mengenai berbagai perbuatan hebat yang pernah dilakukan oleh Henry. Rupanya ia bukan anak tunggal. Saudara laki-lakinya ada tiga orang. Segala macam yang telah dikakukan oleh Henry bersama mereka. Dan kalau menurut cerita Henry, ia jauh lebih hebat dari saudara-saudaranya itu, Mereka naik perahu layar, sampai ke Norwegia. Mereka juga pernah berolahraga jalan kaki, dari London sampai New York. Bayangkan, menempuh -jarak sekitar 200 mil - jalan kaki , "Dick Turpin juga ikut dengan kalian?" tanya George menyindir. "Dan dia menunggang kudanya, Bess? Tentunya keu tiba jauh lebih dulu daripada dia ya ," Henry tak mengacuhkan, walau secara tidak langsung George mengatakan bahwa ia bohong. Orang yang disebutnya itu tokoh kisah petualangan yang serba hebat. Henry melanjutkan penuturannya mengenai berbagai perbuatan luar biasa yang dilakukan olehnya bersama saudara-saudaranya. Berenang menyeberangi sungai yang lebar, mendaki gunung Snowdon sampai ke puncak - wah, kelihatannya belum pernah ada kegiatan yang belum pernah dilakukan oleh anak itu , "Kau ini sepantasnya memang menjadi anak laki-laki, Henry," ujar Bu Johnson. Dan justru kalimat itulah yang diinginkan anak itu diucapkan oleh setiap orang , "Henry, apabila kau sudah mengisahkan pengalamanmu mendaki Gunung Everest dan tiba di puncaknya lebih dulu dari siapa pun juga, bagaimana jika kauselesaikan makanmu dulu," kata Kapten Johnson, yang sudah bosan sekali mendengar Henry mengoceh terus. George tertawa keras-karas. ia tertawa bukan karena menganggap ucapan Kapten itu lucu. Bukan , ia tertawa, karena ia selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk menertawakan Henry. Sedang Henry, ia menghabiskan sisa makanan yang masih ada di piring dengan cepat-cepat, ia senang sekali memikat perhatian setiap orang dengan kisah-kisahnya yang serba luar biasa, George tak mau percaya pada sepatah kata pun dari kisah-kisahnya itu. Tapi menurut Dick dan Julian, mungkin saja anak perempuan yang jangkung dan langsing tapi kekar itu bisa bertindak secekatan saudara-saudaranya yang laki-laki. Sehabis makan malam, masih ada beberapa tugas yang masih harus diselesaikan. Henry tidak mau dekat-dekat pada George, ia tahu pasti, anak itu tentu sudah siap dengan kata-kata menusuk lagi. Tapi masa bodoh, Pokoknya anak-anak yang lain, mereka beranggap dia hebat, ia cepat-cepat menukar gaunnya yang berjumbai-jumbai dengan pakaian yang sehari-hari lagi. Padahal sebentar lagi semua sudah harus masuk ke tempat tidur masing-masing. George dan Anne ikut ke kendang dengan Julian serta Dick. Mereka sudah mengenakan pakaian tidur. Keduanya berjalan sambil menguap lebar-lebar. "Kalian membawa senter?" tanya George. "Di kandang dilarang menyalakan lilin. Soalnya, jerami bisa terbakar nanti. Nah, selamat tiduri Mudah-mudahan saja Henrietta konyol itu tidak muncul ke sini pagi-pagi sekali, bersiul-siul dengan kurang ajar sehingga kalian terbangun olehnya ," "Takkan ada yang bisa membangunkan aku malam ini," kata Julian sambil menguap lebar sekali, ia merebahkan diri ke atas jerami, sambil menarik selimut untuk menutupi tubuh. "Wah, nyaman sekali tidur di sini. Paling enak tidur di pembaringan beralas jerami." Anne dan George tertawa. Kedua anak laki-laki itu memang nampak enak berbaring di situ. "Selamat tidur," kata Anne. Kemudian ia menuju ke rumah induk, seiring dengan George. Tak lama kemudian, semua lampu di rumah padam. Henry sudah tidur. Dan seperti biasa, ia mendengkur. Henry tidur dalam kamar tersendiri. Kalau tidak, pasti terbangun teman sekamarnya karena dengkurnya itu. Tapi biar begitupun Anne dan George masih bisa mendengar bunyinya dengan jelas. Ngrokk, ngrokk - krrk - ngroookk! "Sialan Henrietta ," umpat George dengan suara mengantuk. "Ribut sekali tidurnya. Anne, dia jangan boleh ikut jika kita pesiar berkuda besok. Kaudengar kataku, Anne?" "Tidak begitu jelas," gumam Anne, yang sudah setengah tidur. "Selamat tidur, George ," Dalam kandang di luar, Dick dan Julian tidur nyenyak, berselubung selimut tua. Di dekat mereka, kuda belang kepunyaan si Ingus bergerak-gerak dengan gelisah. Tapi Dick maupun Julian, sama sekali tak mendengarnya. Seekor burung hantu terbang melayang di atas kandang, mencari tikus untuk dijadi kan mangsa. Burung itu berteriak keras. Maksudnya hendak mengejutkan tikus yang mungkin ada di situ, sehingga lari ke (uar. Dan kalau ada tikus lari, burung hantu itu sudah siap menyambar dengan kuku-kukunya yang tajam. Bunyi teriakan burung hantu itu pun tidak bisa membangunkan kedua anak laki-laki itu. Clip, kuda kaum kelana tiba-tiba bergerak, ia menoleh ke arah pintu kandang. Dilihatnya palang pintu bergerak pelan-pelan, Ada orang menggesernya dari luar. Telinga Clip langsung menegak, ketika terdengar bunyi menggeresek lirih. Diperhatikannya daun pintu. Siapakah orang yang datang di tengah malam? Mudah-mudahan saja si Ingus. si Ingus selalu baik terhadap dia. Clip merasa sedih, karena dipisahkan dari anak itu. Dicobanya menangkap bunyi sedotan hidung, tanda bahwa yang datang memang anak itu. Tapi Clip tak mendengar apa-apa. Pintu terbuka pelan sekali. Sama sekali tak terdengar bunyi berderik. Clib melihat langit gelap di luar, bertaburan bintang kemerlip. ia melihat sesosok tubuh - bayangan gelap di depan latar belakang langit hitam. Bayangan itu menyelinap masuk ke dalam kandang, sambil berbisik, "Clip ," Kuda kecil itu meringkik pelan. Ternyata yang datang bukan si Ingus, tapi ayah anak itu. Clip tidak suka pada laki-laki itu. Orang itu cepat sekali memukul dan menendang. Bahkan tidak segan-segan mengayunkan cambuk. Clip berbaring diam-diam. Dalam hati ia bingung, kenapa orang itu datang begitu malam. Laki-laki yang datang itu tidak tahu bahwa Dick dan Julian tidur dalam kandang, ia tadi masuk dengan hati-hati, karena menyangka dalam kandang ada kuda-kuda lain. ia tidak mau mengagetkan mereka, sehingga meringkik dan mengentak-entakkan kaki ketakutan, ia tidak membawa senter. Tapi matanya yang tajam langsung bisa melihat Clip, yang berbaring di atas jerami. Orang itu berjingkat-jingkat mendekati. Tapi tahu-tahu ia tersandung kaki Julian, yang terjulur ke luar dari jerami tempatnya berbaring. Orang itu jatuh tersungkur. Julian langsung bangun dan duduk "Siapa itui Ada apa?" katanya. Kelana yang terjatuh segera merunduk di sisi Clip, ia membisu, tak bersuara sedikit pun. Julian mulai sangsi. Jangan-jangan ia cuma bermimpi tadi. Tapi kakinya jelas terasa sakit. Jadi pasti ada yang menginjak, atau terbentur ke situ. ia membangunkan Dick. "Mana senter? He, lihatlah pintu kandang terbuka. Cepat, Dick - mana senter?!" Senter akhirnya berhasil ditemukan, dan langsung dinyalakan oleh Julian. Mula-mula ia tidak bisa melihat apa-apa. Soalnya, laki-laki tadi sudah cepat-cepat masuk ke dalam bilik tempat Clip, lalu bersembunyi di balik kuda itu. Tapi kemudian cahaya senter menerangi dirinya. "He - ini kan ayah si Ingus "kata Julian. "Ayo bangun , Cari apa kau di sini, pada tengah malam?" Bab 5 George Sakit Kepala Sambil cemberut, orang itu bangkit. Anting-anting di telinganya berkilauan ditimpa cahaya senter. "Aku datang untuk menjemput Clip," katanya. "Kuda itu kan kepunyaanku ," "Kan sudah dikatakan, ia belum mampu berjalan," tukas Julian. "Kau ingin dia menjadi pincang untuk selama-lamanya? Mestinya kau kan cukup tahu tentang kuda, kapan bisa disuruh bekerja dan kapan tidak?" "Aku harus menurut perintah," kata orang itu. "Aku harus membawa caravanku, bersama yang lain-lainnya." "Siapa bilang begitu?" kata Dick mencemooh. "Barney Bosweli yang bilang," kata orang itu. "Dia kepala rombongan kami di sini. Kami harus berangkat bersama-sama besok." "Tapi kenapa harus begitu?" tanya Julian heran "Kenapa mesti buru-buru? Ada rahasia apa di balik kesemuanya ini?" "Sama sekali tak ada rahasia," kata orang itu, yang masih tetap cemberut. "Kami cuma hendak pergi ke rawa." "Apa yang akan kalian lakukan di sana?" tanya Dick ingin tahu. "Menurut perasaanku, tempat itu sama sekali tak ada apa apanya Setidak-tidaknya, begitulah yang kudengar." Laki-laki itu cuma mengangkat bahu. ia tak mengatakan apa-apa lagi. ia berpaling ke arah Clip, seperti hendak menyuruhnya bangun. Tapi Julian langsung membentak. "Jangan ," tukasnya. "Kalau kau tak peduli akan mencederakan seekor kuda, aku takkan diam saja , Kau cuma perlu bersabar satu dua hari saja. Setelah itu, pasti ia sudah sembuh lagi. Kau tak boleh membawanya pergi malam ini. Dick, bangunkan Kapten Johnson, ia akan tahu, apa yang harus diperbuat." "Jangan," kata laki-laki itu dengan masam. "Jangan bangunkan siapa-siapa. Aku akan pergi. Tapi usahakan agar Clip diserahkan pada si Ingus selekas mungkin. Kalau tidak, tahu rasa nanti. Mengerti?" Ditatapnya Julian dengan sikap mengancam. "Jangan merengut begitu," kata Julian. "Untung kau mau mengerti. Sekarang keluar Pergilah dengan kawan-kawanmu besok. Akan kuusahakan agar kuda ini diserahkan pada si Ingus selekas mungkin." Laki-laki itu berjalan ke pintu, lalu menyelinap ke luar. Julian pergi memperhatikan dia berjalan melintasi pekarangan. Dalam hati Julian bertanya-tanya, mungkinkah orang itu akan mencoba mencuri seekor ayam, atau bebek yang tidur di sisi telaga. Begitu saja, untuk melampiaskan kekesalan hatinya. Tapi tak terdengar bunyi berkotek dengan tiba-tiba. Begitu pula tak ada suara bebek meleter. Ternyata orang itu pergi begitu saja, dengan gerak menyelinap. "Aneh," kata Julian, sambil memasang palang pintu kembali. Palang itu lantas diikatnya dengan seutas tali yang kuat, sehingga tidak bisa dibuka lagi dari luar. "Nah , Kalau orang itu datang lagi, akan dilihatnya bahwa ia tidak bisa masuk sekarang. Dasar nekat, seenaknya ke mari tengah malam ," Julian merebahkan diri kembali ke atas Jerami. "Rupanya ia tadi tersandung kakiku," katanya. "Kaget aku dibuatnya. Untung bagi Clip, kita tidur di sini malam ini. Coba kalau tidak, besok ia akan sudah disuruh menghela gerobak berat. Pasti jalannya akan pincang lagi. Hih, aku tak suka pada orang itu ," Setelah itu Julian tertidur lagi. Begitu pula halnya dengan Dick. Keesokan paginya, kedua anak itu melaporkan pada Kapten Johnson tentang kedatangan laki-laki kaum kelana itu. Kapten mengangguk. "Memang, sebetulnya kalian perlu kuperingatkan, bahwa ia mungkin akan muncul," katanya. "Orang-orang itu, tidak selalu merawat kuda-kuda mereka dengan baik. Yah, untung kau berhasil menyuruhnya pergi. Kurasa paling cepat baru lusa Clip bisa diperbolehkan berjalan lagi. Tak ada salahnya membiarkan hewan malang itu beristirahat selama beberapa hari. si Ingus bisa dengan mudah menyusul yang lain-lainnya kemudian." Kelihatannya hari itu anak-anak akan bisa bersenang-senang. Julian beserta ketiga saudaranya bermaksud hendak pesiar naik kuda, setelah selesai mengurus kuda-kuda serta menyelesaikan tugas-tugas yang periu dikerjakan. Kata Kapten Johnson, Julian boleh meminjam kuda tunggangannya yang kokoh, dan Dick mendapat kuda yang bagus. Berbulu coklat kemerahan, dengan keempat ujung tungkai berwarna putih mulus. Sedang Anne dan George menunggang kuda yang biasa mereka pakai. Sementara itu Henry mondar-mandir terus di dekat mereka. Tampangnya kelihatan sedih. Dick dan Julian merasa tidak enak. "Sepatutnya kita juga mengajaknya." kata Dick pada Julian. "Rasanya jahat jika ia ditinggal di sini. bersama anak-anak kecil." "Ya. aku tahu. Aku sependapat denganmu," kata Julian. "Coba ke mari, Anne , Tidak bisakah kau menyarankan pada George, agar Henry kita ajak juga? Aku tahu, anak itu sebenarnya kepingin ikut." "Ya, memang," kata Anne. "Aku juga merasa tak enak karenanya. Tapi jika Henry kita ajak, George pasti marah. Kedua anak itu benar-benar tidak bisa cocok satu sama lainnya. Aku tak berani menyarankan pada George supaya Henry diajak, Ju." "Ah, ini kan konyol namanya ," kata Julian jengkel. "Bayangkan, kita tak berani bertanya pada George, agar kita diperbolehkan mengajak anak laini George perlu memakai akal sehatnya sedikit. Aku suka pada Henry. Memang - anak itu senang membual, dan aku tak begitu percaya pada segala ocehannya itu. Tapi anaknya baik hati, dan enak untuk diajak berteman. He, Henry!" "Ya, aku datangi" balas Henry berteriak, ia datang berlari-lari. Tampangnya penuh harap. "Maukah kau ikut dengan kami?" tanya Julian. "Kami semua akan berpesiar hari ini. Kau masih ada pekerjaan yang perlu diselesaikan? Atau bisakah kau ikut?" "Bisakah aku ikut? Tentu saja ," kata Henry bergembira. "Tapi - tahukah George?" "Nanti akan kubilang padanya," kata Julian, ia lantas pergi mencari George. Anak itu sedang sibuk menolong Bu Johnson memasukkan bekal makanan ke dalam tas-tas pelana. Julian langsung mengemukakan persoalan yang hendak disampaikan. "George," katanya, "Henry ikut juga. Cukupkah bekal itu untuk kita semua?" "Wah, bagus - kalian mau mengajak dia," kata Bu Johnson dengan gembira. "Dia memang kepingin sekali ikuti Seminggu ini ia rajin sekali bekerja, ketika kami kekurangan tenaga. Sudah selayaknya ia menerima ganjaran yang menyenangkan. Betul kan, George?" George menggumam aneh, lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan muka merah. Julian melongo memandangnya. Alisnya terangkat ke atas. "Kurasa George tidak begitu senang mendengarnya," kata Julian. "Kurasa hari ini suasana bisa tidak enak. Bu Johnson." "Ah, jangan perhatikan George, jika ia sedang konyol," kata Bu Johnson tenang, sementara ia terus sibuk memasukkan roti-roti sandwich yang kelihatannya enak ke dalam sebuah kantong kertas. "Dan begitu pula jangan perhatikan Henry, jika ia yang sedang aneh. Nah , Aku akan heran sekali, jika makanan sebanyak ini bisa kalian habiskan semuanya ," Saat itu William, yang tergolong anak-anak yang masih kecil, masuk ke situ. "Banyak sekali makanan yang Anda bekalkan untuk mereka," katanya. "Masih cukupkah sisanya untuk kita sendiri hari ini?" "Astaga - tentu saja ," jawab Bu Johnson. "Kau ini, ingatnya cuma makan terus, William , Coba panggil George. Bilang padanya, makanan sudah siap. Tinggal dimasukkan olehnya ke dalam tas-tas pelana ," William pergi ke luar. Tak lama kemudian kembali lagi. "Kata George, ia sakit kepala," katanya, "ia tidak bisa ikut pesiar." Julian kaget mendengar berita itu. "Sekarang dengar kataku, Julian," kata Bu Johnson, sambil memasukkan bungkusan-bungkusan dengan hati-hati ke dalam tas-tas pelana, "biarkan saja anak itu dengan kepalanya yang katanya sakiti Janganlah kalian ribut-ribut mengenainya, meminta agar ia mau ikut dan mengatakan bahwa Henry tidak jadi diajak. Ambillah sikap percaya bahwa ia benar-benar sakit kepala, lalu pergi saja sendiri tanpa dia. Percayalah - itu jalan paling cepat untuk membuatnya normal kembali ," "Ya, kurasa Anda benar," kata Julian dengan kening berkerut. Bukan main - anak sebesar George masih merajuk kayak anak kecili Padahal sudah begitu sering mereka mengalami petualangan bersama-sama , Dan penyebabnya, cuma karena Henry ikut. Bukan maini "Di mana dia?" tanya Julian pada William. "Di atas, di kamarnya," kata William, yang saat itu sedang sibuk memungut dan memakan remah-remah makanan yang tercecer di meja. Julian lalu pergi ke luar. ia berdiri di tengah pekarangan, ia tahu, kamar tidur George dan Anne terletak di belakang jendela yang mana. Julian mendongak, lalu berseru kuat-kuat. "He, George , Sayang kau sakit kepala , Kau yakin tidak bisa ikut?" "Ya," terdengar belasan nyaring dari atas, disusul dengan bunyi jendela yang ditutup keras-keras. "Baiklah kalau begitu , Sayang kau tidak bisa ikut," Seru Julian lagi. "Mudah-mudahan nanti sakit kepalamu hilang. Nah, sampai nanti i" Dari arah jendela sebelah atas tak terdengar jawaban. Tapi ketika Julian melintasi pekarangan menuju ke kandang-kandang kuda, ia diperhatikan oleh seseorang yang tampangnya terheran heran George yang mengintip dari belakang tirai, ternyata kaget melihat Julian menerima begitu saja alasannya bahwa ia sakit kepala. George kaget sekali, karena ternyata ia ditinggal sendiri, ia marah pada Henry, dan juga pada yang lain-lainnya, yang menyebabkan ia sekarang terjebak , Julian mengabarkan pada yang lain-lainnya bahwa George sakit kepala, jadi tidak bisa ikut. Anne langsung merasa kasihan, ia sudah hendak naik ke atas untuk menghibur, tapi dilarang oleh Julian. "Jangan , George ada dalam kamarnya. Biar saja ia sendiri, Anne. Ini perintah - mengerti?" "Ya deh," kata Anne. ia agak lega, karena tidak jadi mendatangi George, ia merasa yakin, sakit kepala George itu sebagian besar sebenarnya hanya kemarahannya saja. Anne malas mendatangi anak itu, untuk kemudian membujuk-bujuknya sampai setengah jam. Henry diam saja. ia kaget sekali ketika mendengar Julian mengatakan bahwa George tidak jadi ikut. ia langsung tahu, anak itu sebetulnya sama sekali tidak sakit kepalai Dialah yang sebenarnya menyebabkan kepala George sakit, ia lantas menghampiri Julian. "Julian ," katanya. "Kurasa karena kau mengajak aku ikut, Georgina lantas tidak jadi pergi. Aku tak mau merusak suasana. Pergilah padanya dan katakan, aku tidak jadi ikut" Julian memandang Henry dengan perasaan berterima kasih. "Kau baik hati," kata Julian. "Tapi kalau George mengatakan dia sakit kepala, maka kita terima saja katanya itu. Lagipula kami mengajakmu, bukan karena hendak sok sopan saja. Kami memang ingin mengajakmu ," "Terima kasih," kata Henry. "Yah, kalau begitu kita berangkat saja sekarang - sebelum ada kejadian apa-apa lagi. Kuda-kuda kita sudah siap. Biar aku saja yang membereskan tas-tas pelana." Tak lama kemudian keempat anak itu sudah berada di atas punggung kuda masing-masing, yang berjalan melintasi pekarangan menuju pintu ger bang. George mendengar bunyi kuda berjalan, lalu mengintip lagi dari balik tirai. Wah - ternyata mereka benar-benar berangkat. Tak disangkanya anak-anak akan pergi tanpa dia. George sangat kaget. Apa sebabnya aku bertingkah seperti begitu tadi? Sekarang kedudukanku menjadi sulit, pikir George yang malang. Sekarang Henrietta bisa bergaul sepanjang hari bersama mereka, lalu bermanis-manis - hanya supaya aku semakin dinilai konyol. Memang tolol aku ini, pikir George. "Timmy, aku ini goblok, tolol dan keras kepala. Ya kan?" Tapi tidak begitu pendapat Timmy. Tadi anjing itu bingung mendengar anak-anak yang lain semua pergi tanpa dia dan George, ia pergi ke pintu, lalu men-dengking-dengking di situ. Tapi kini ia kembali ke George, lalu meletakkan kepalanya ke pangkuan anak itu. Timmy tahu, George saat itu sedang tidak enak perasaannya. "Kau tak peduli bagaimana tingkah lakuku, ya Tim?" kata George, sambil mengelus-elus kepala anjing kesayangannya itu. ",tulah segi paling baik dari seekor anjing. Kau tak peduli aku salah atau tidak, pokoknya kau tetap sayang padaku. Ya kan? Nah, hari ini kau jangan sayang padaku. Tim. Sikapku tadi benar-benar konyol," Saat itu pintu kamar diketuk dari luar. Ternyata yang datang William lagi. "George, kata Bu Johnson jika sakit kepalamu berat, kau harus berganti pakaian lalu masuk ke tempat tidur. Tapi jika sudah agak sembuh, kau disuruh turun dan membantu merawat Clip, kuda kaum kelana." "Aku datang," kata George, sambil menyingkirkan segala sisa perasaan merajuk dengan segera. "Bilang pada Bu Johnson, aku langsung pergi ka kandang." "Baiklah." kata William dengan sikap tenang seperti biasa. Kemudian ia pergi lagi. George turun ke bawah bersama Timmy. Langsung pergi ke pekarangan, ia ingin tahu. sudah sampai di mana anak-anak. Mereka sudah tak nampak lagi, bahkan di kejauhan sekalipun juga tidak. Mungkinkah mereka akan bersenang-senang hari ini, bersama Henry yang menjengkelkan itu? Huhh! Kawan-kawannya itu, sementara itu sudah satu mil jauhnya dari istal. Kuda-kuda mereka menderap dengan santai. Wah, asyik, Mereka akan bisa melancong sehari penuh di Rawa Rahasia. Bab 6 Hari yang Menyenangkan Rawa rahasia," kata Dick, sementara mereka berempat berkuda terus. "Rasanya cocok sekali nama itu. Lihatlah - betapa luas padang ini, penuh semak belukar." Henry agak tercengang. "Sama sekali tak memberi kesan mengandung rahasia," katanya. "Yah, ada suasana diam dan merenung di sini." kata Anne. "Seakan-akan pernah mengalami kejadian hebat di masa silam. Dan kini menunggu-nunggu, menanti ada kejadian lagi." "Diam dan merenung? Kedengarannya seperti induk ayam yang sedang mengeram," kata Henry sambil tertawa. "Kalau pada malam hari, bisa kubayangkan tempat ini agak misterius dan menyeramkan. Tapi siang hari, cuma berupa padang luas biasa saja, baik untuk tempat melancong dengan kuda. Aku tidak bisa mengerti, apa sebabnya dinamakan Rawa Rahasia." "Kita cari saja keterangannya dalam salah satu buku, yang isinya tentang daerah sekitar sini," kata Dick. "Kalau menurut dugaanku, namanya begitu karena di sini pernah terjadi hal-hal aneh beberapa abad yang lalu. Maksudku, ketika orang masih percaya pada dukun sihir dan sebangsanya." Mereka berkuda tanpa menyusur jalan tertentu, tapi bergerak seenak hati sendiri. Cuaca pada hari bulan April itu sangat cerah. Tercium bau rumput liar yang segar, bercampur wangi bunga-bunga. Anne tidak henti-hentinya menarik napas melalui hidung, mencium bau enak itu. "Kau ini kedengarannya seperti si Ingus saja," kata Dick sambil memandang adiknya. "Kau pilek ya?" Anne tertawa. "Tidak," Jawabnya. "Tapi aku senang mencium bau tumbuh-tumbuhan di sini." Tiba-tiba Julian menarik tali kendali kudanya. "Lihatlah , Apakah yang bergerak di sebelah sana itu?" katanya. Anak-anak yang tiga lagi semua me nyipitkan mata, menatap ke arah yang dimaksudkan olehnya. "Eh, itu kan rombongan caravan kata Julian kemudian. "Ya, tentu saja , Bukankah mereka bermaksud hendak berangkat hari ini? Wah - perjalanan yang berat, karena aku tidak melihat ada Jalan di sini." "Mau ke manakah mereka?" tanya Anne. "Ada apakah di sebelah sana?" "Kalau mereka bergerak lurus terus, akhirnya mereka akan sampai di pesisir," kata Julian, setelah memikir sebentar. "Yuk kita ke sana, untuk melihat-lihat." "Ya, setuju," kata Dick. Mereka lantas memalingkan kepala kuda kuda ke arah kanan, lalu memacu hewan tunggangan mereka ke arah rombongan caravan yang nampak di kejauhan. Rombongan itu kelihatan berwarna-warni. Rombongan itu terdiri dari empat buah caravan. Dua berwarna merah, satu biru dan satu lagi kuning. Gerak caravan-caravan itu sangat lambat. Masing-masing caravan dihela seekor kuda bertubuh kecil tapi kuat. "Kuda-kuda itu semuanya belang coklat putih," kata Dick. "Aneh, banyak sekali kaum kelana yang memiliki kuda belang. Kenapa begitu, ya?" Ketika anak-anak sudah dekat ke rombongan kereta, terdengar suara orang berseru-seru. Anak-anak melihat seorang laki-laki menunjuk-nunjuk ke arah mereka. Orang itu ayah si Ingus. "Lihatlah, itu kan orang yang menyebabkan kita terbangun kemarin malam," kata Julian pada Dick. "Ayah si Ingus Huh, tampangnya seperti tak pernah diurusi Kenapa ia tidak memotong rambutnya?" "Selamat pagi ," seru Dick, sementara mereka mendekati rombongan caravan. Tapi sapaannya itu tak dijawab. Kaum kelana, baik yang menjalankan caravan maupun yang berjalan kaki di samping kendaraan-kendaraan itu, semuanya menatap keempat penunggang kuda yang yang baru datang dengan masam. "Kalian mau ke mana?" tanya Henry. "Ke pesisir?" "Bukan urusanmu," kata satu di antara anggota rombongan kelana, seorang laki-laki tua dengan rambut ikal beruban. "Mereka perengut ya," kata Dick pada Julian. "Kurasa mereka menyangka kita ini hendak memata-matai mereka. Pokoknya bermaksud tidak baik terhadap mereka , Aku bingung, bagaimana mereka bisa mencari makan di tengah rawa terpencil begini. Di sini kan tidak ada toko atau warung sama sekali. Mungkin mereka membawa bekal makanan sendiri." "Kutanya saja pada mereka," kata Henry. Anak itu sama sekali tidak kecil hatinya, menghadapi tatapan mata yang memandang dengan sengit, ia mengarahkan kudanya, menghampiri ayah si Ingus. "Bagaimana cara kalian mendapat makan dan minum?" tanya anak itu. "Kami membawa makanan," jawab ayah si Ingus, sambil menyentakkan kepala ke arah salah satu caravan. "Sedang air, kami tahu di mana ada mats air di daerah ini." "Kalian akan lama berkemah di rawa?" tanya Henry. Menurut perasaannya, kehidupan kaum kelana tentu sangat menyenangkan, untuk beberapa waktu, Bayangkan, hidup di tengah padang belukar yang sedang bersemi, penuh dengan mawar liar yang mekar di sudut-sudut terlindung. "Bukan urusanmu ," bentak si tua yang berambut ikal beruban. "Pergi dari sini - jangan ganggu kami lagi ," "Yuk, Henry," ajak Julian, sambil berpaling hendak pergi. "Mereka tidak suka jika kita bertanys-tanys. Mereka menganggap itu mencampuri urusan mereka, dan bukan perhatian. Mungkin banyak hal yang perlu mereka sembunyikan, dan karenanya mereka tidak suka kita mengutik ngut k Mereka ini tidak begitu membeda-bedakan milik sendiri dan milik orang lain." Sejumlah anak mengintip dari dalam caravan, ketika Julian dan rombongannya lewat. Satu atau dua di antaranya lari-lari di luar. Tapi begitu Henry mengarahkan kudanya menghampiri mereka, anak-anak itu langsung berpencar ketakutan. "Yah-rupaya mereka memang tidak mau beramah-tamah," kata Henry, lalu menggabungkan diri kembali pada ketiga temannya. "Kehidupan mereka aneh. Tinggal dalam rumah beroda! Tak pernah menetap lama di satu tempat, tapi selalu berpindah-pindah. Hup, Sultan! Susul kawan-kawan!" Kudanya patuh, disusulnya ketiga kuda yang di depan. Jalannya hati-hati, supaya tidak terperosok ke dalam liang kelinci yang banyak terdapat di situ. Henry merasa bahagia. Enak rasanya berkuda di tengah udara cerah, disinari cahaya matahari hangat. Ketiga kawannya tidak begitu sempurna kegembiraan mereka. Pikiran mereka berulang kali melayang, teringat pada George. Mereka juga kehilangan Timmy. Mestinya anjing itu berlari-lari mendampingi mereka, ikut menikmati pesiar hari itu , Setelah berkuda beberapa waktu, rombongan caravan hilang dari penglihatan mereka. Julian terus memperhatikan jalan yang mereka lalui, ia agak khawatir kalau nanti tersesat, ia membawa kompas, dan dengannya selalu diteliti olehnya arah yang dituju. "Bisa gawat jika sampai kemalaman di sini ," katanya. "Takkan ada orang yang bisa menemukan kita." Pukul setengah satu siang, mereka istirahat untuk makan. Wah, ternyata Bu Johnson tidak setengah-setengah membekali mereka. Anak-anak makan dengan lahap. "Ada minuman?" tanya Henry, ia disodori limun jahe satu botol. Orang ,Inggris memang paling senang minum limun jahe. Henry meneguk minumannya dengan cepat, karena ia haus sekali. "Apa sebabnya limun jahe paling enak rasanya kalau diminum sewaktu piknik?" katanya. "Jauh lebih enak daripada kalau diminum sambil duduk-duduk di tempat penjualannya. Biar diberi es pun, rasanya tidak seenak sekarang ," "Dekat sini rupanya ada mata air," kata Julian. "Kudengar bunyi menggeleguk Anak-anak memasang telinga. Ya, betul - terdengar bunyi kecipak pelan. Anne berdiri, hendak mencari tempat mata air itu. Tak lama kemudian ditemukan olehnya, lantas dipanggilnya anak-anak. Mereka memperhatikan mata air itu. Suatu kolam bundar berisi air sejuk kebiru-biruan, nampak menggenang sekitar satu meter di bawah tempat mereka berdiri. Dari satu sisinya mengucur air jernih. "Ini mestinya salah satu mata air yang biasa dipakai kaum kelana, jika mereka sedang mengadakan perjalanan di daerah ini," kata Julian menduga, ia menadahkan tangan ke bawah air jernih yang mengucur, lalu meminumnya. "Hmm, enak, Sesejuk air dari kulkas," katanya. "Ciciplah, Anne." Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan. Tapi di mana-mana, padang itu kelihatannya sama saja. Rumput liar, semak belukar, dan di sana-sini mata air yang mengucur ke dalam kolam atau parit. Serta beberapa batang pohon. "Kurasa sekarang sudah waktunya kita pulang," ksta Julian kemudian, sambil memandang arlojinya. "Sudah cukup jauh kita berkuda. Nanti dulu. Arah kembali kurasa menuju ke letak matahari terbenam. Yuk ," Julian berkuda mendului, diikuti oleh yang lain-lainnya. Tak lama kemudian Dick menarik tali kekang kudanya. "Kau yakin ini arah yang betul, Ju? Rasanya kita salah jalan. Pemandangan di sini lain daripada tadi. Tanah berpasir, lagipula tak begitu banyak belukar tumbuh." Julian menghentikan kudanya, lalu memandang berkeliling. "Ya, kelihatannya memang agak lain," katanya. "Tapi walau begitu, rasa-rasanya arah kita sudah benar. Mungkin sebaiknya kita lebih ke barat sedikit. Coba jika di hor son ada sesuatu yang bisa kita jadikan patokan. Tapi di padang datar ini sama sekali tak ada sesuatu benda yang agak menjulang ke atas sedikit ," Anak-anak kembali meneruskan perjalanan. Tapi kemudian Henry tiba-tiba berseru, "He, apa ini? Ke sinilah sebenta Julian, Dick dan Anne membelokkan kuda mereka, menghampiri Henry. Anak perempuan itu sudah turun dari kudanya, ia membungkuk, mengais-ngais di tengah rerumputan yang tumbuh liar. "Nih - kelihatannya seperti ada rel di sini," katanya. "Sudah tua dan berkarat. Tapi kan tak mungkin di sini ada rel?" Sementara itu anak-anak semuanya sudah berlutut, sibuk mengais-ngais rumput dan pasir yang menimbun di situ. Kemudian Julian duduk sambil merenung. "Ya, ini memang rel," katanya. "Sudah tua, seperti katamu tadi, Tapi untuk apa ada re! dipasang di sini?" "Aku tak bisa menebaknya," kata Henry. "Aku tadi juga cuma secara kebetulan saja menemukannya, karena nyaris tidak kelihatan tertimbun pasir dan rumput liar. Benar-benar tak kuduga sama sekali ," "Rel ini, mestinya menuju dari suatu tempat ke tempat lain," kata Dick. "Mungkin dulu di tengah padang ini ada tempat penggalian pasir atau batu. Dan rel ini dipasang untuk tempat lewat lokomotif kecil yang menarik gerbong-gerbong guna mengangkut pasir untuk dijual di kota." "Ya, begitulah mestinya," kata Julian. "Sudah kita perhatikan tadi, tempat ini banyak pasirnya. Pasir halus dan bagus. Mungkin saja di tengah padang ini memang ada tempat pengerukan pasir. Nah, kalau ke arah sana, ke belakang kita, rel ini menuju ke tengah padang. Kalau begitu ke sini arahnya tentu ke salah satu kota atau desa. Mungkin Milling Green, atau salah satu tempat lain." "Ya, kau benar," kata Dick. "Kalau begitu, jika kita ikuti terus jalur rel ini, lambat laut kita tentunya akan sampai ke tempat yang didiami manusia." "Yah, karena saat ini kita bisa dibilang sudah tersesat maka ada baiknya hal itu kita lakukan," kata Henry. Dinaikinya punggung kudanya lagi, lalu ditelusurinya jalur rel yang membentang itu. "Rel ini cukup jelas nampak," katanya. " Maksudku jika kita telusuri tengah-tengahnya, ka rena lintasannya lurus sekali." "Rel itu menjulur terus di tengah padang, kadang-kadang nyaris tak nampak karena ditumbuhi semak belukar. Sekitar setengah jam kemudian Henry berseru, sambil menunjuk ke depan. "Ada rumah-rumah di depan , Sudah kusangka bahwa pada suatu ketika kita pasti akan tiba di salah satu tempat." "Itu memang Milling Green" kata Julian. Rel yang mereka ikuti sedari tadi tiba-tiba terputus. Mereka kini memasuki jalan kecil yang biasa dilalui gerobak. "Nah, sekarang tak jauh lagi jalan yang harus kita tempuh untuk kembali ke istal," kata Henry senang. "He, tentunya mengasyikkan jika kita mengikuti jalur rel itu ke tengah padang, untuk melihat ke mana tujuan sebenarnya." "Ya, mungkin kapan-kapan," kata Julian. "Wah, hari sudah mulai sore. Aku ,Ingin tahu, apa saja yang diperbuat George hari ini." Mereka bergegas kembali ke istal, sambil memikirkan keadaan George. Apakah anak itu sudah masuk ke tempat tidur sekarang? Mungkinkah ia masih jengkel? Atau lebih parah lagi, merasa sakit hati dan karenanya menjadi sedih? Tak ada yang bisa menebaknya saat itu , Bab 7 George, si Ingus dan Liz Hari ini banyak hal-hal menarik yang dialami George. Mula-mula ia membantu Kapten Johnson merawat kaki Clip yang cedera, dan kemudian membalutnya lagi. Kuda kecil berbulu belang coklat-putih itu berdiri dengan sabar. Entah kenapa, dalam hati George timbul perasaan senang pada hewan kecil yang jelek itu. "Terima kasih, George," kata Kapten Johnson setelah mereka selesai. George merasa lega, karena Kapten sama sekali tak mengatakan apa-apa mengenai tidak ikutnya dia dengan kawan-kawan yang lain. Setelah itu George diminta oleh Kapten Johnson mengajar anak-anak kecil untuk berkuda melompati rintangan. Anak-anak menunggang kuda poni. Bangga sekali mereka, jika berhasil melampaui rintangan. biar rintangan itu tingginya cuma tiga puluh senti dari tanah. Kemudian si Ingus muncul, ia diikuti seekor anjing campuran bertampang aneh. ,tulah Liz, anjing kepunyaan si ingus. Liz keturunan berbagai jenis anjing. Ada sedikit pudel, ada spanilnya, dan macam-macam ras lagi. Kelihatannya mirip gumpalan wol warna hitam, yang pandai berjalan. Timmy tercengang ketika memandang makhluk aneh itu. ia duduk sambil memperhatikan Liz mengendus-endus ke sana-sini selama beberapa waktu. Kemudian barulah Timmy sampai pada kesimpulan, bahwa makhluk itu memang sejenis anjing, ia menggonggong sekali dengan keras. Maksudnya ingin mengetahui apa yang akan dilakukan makhluk kocak itu, jika mendengar gonggongannya. Ternyata Liz sama sekali tak mengacuhkan gonggongan itu. Soalnya ia saat itu berhasil menemukan sepotong tulang yang tertanam dalam tanah. Liz jauh lebih tertarik pada bau tulang. Sedang Timmy beranggapan, semua tulang yang terdapat di tempat sekitar situ, dengan jarak paling kurang satu mil dari istal, semuanya merupakan miliknya pribadi. Karena itu ia langsung mendekati Liz, lalu menggeram pelan untuk memberi peringatan. Dengan segera Liz melepaskan tulang yang ada di moncongnya, dijatuhkan ke dekat kakinya. Kemudian ia berdiri pada kedua kaki belakang, mengambil sikap meminta-minta. Timmy memandangnya dengan tercengang. Sementara itu Liz mulai berjalan dengan kaki belakang, mengelilingi Timmy yang melongo. Timmy benar-benar heran. Belum pernah dilihatnya ada anjing berbuat begitu sebelumnya. Betulkah makhluk yang mirip gumpalan wol itu seekor anjing? Llz melihat Timmy sungguh-sungguh terkesan. Anjing hitam itu lantas memamerkan kepandaian berikut yang dipelajarinya ketika masih ikut dengan rombongan sirkus. Liz jungkir balik, sambil tak henti-hentinya menyalak. Timmy mundur beberapa langkah, lalu terperosok ke dalam semak. Wah, ini sudah keterlaluan. Apa lagi yang diperbuat binatang aneh itu? Mungkinkah ingin mencoba berdiri di atas kepala? Liz jungkir balik terus dengan cepat, dan akhirnya berhenti nyaris di kaki depan Timmy. Timmy sementara itu sudah mundur jauh ke dalam semak, sampai tidak bisa lebih jauh lagi. Liz berbaring terkapar dengan keempat kaki terangkat. Lidahnya terjulur, napasnya terengah-engah. Anjing kecil itu mendengking pelan sekali, minta dikasihani. Timmy menundukkan kepala, lalu mengendus-endus kaki Liz. Ekornya mulai bergerak-gerak - dan kemudian terkibas kian ke mari, ia mencium-cium sekali lagi. Liz melompat lalu berdiri pada keempat kakinya. Kemudian ia meloncat-loncat mengelilingi Timmy, sambil menyalak-nyalak. Seakan-akan hendak mengatakan, "Yuk, kita bermain-main , Ayolah ," Tiba-tiba Timmy menyerbu makhluk kecil yang konyol itu, sambil berpura-pura hendak mengibas-kannya kian ke mari dengan moncongnya. Liz menyalak-nyalak kesenangan, serta berguling-guling. Asyik sekali mereka bermain-main. Akhirnya Timmy merebahkan diri dengan napas tersengal-sengal di pojok pekarangan yang disinari matahari. Sedang Liz mengambil tempat di sela kaki depan Timmy. Seakan-akan ia sudah kenal lama dengan anjing besar itu , George melongo, ketika keluar dari kandang kuda bersama si Ingus. "Apa itu,- yang di sela kaki depan Timmy?" katanya. "Masakan itu anjing)" "Itu Liz," kata si Ingus. "Dia lebih pintar daripada anjing yang mana pun, George. Liz, Kau monyet, kan? Nah, kalau begitu berjalan ," Liz lari menghampiri si Ingus. Tapi tidak lari seperti anjing biasa, tapi dengan kaki belakangnya. Geraknya lucu sekali. George tertawa melihatnya. "Lucu sekali potongannya, seperti segumpal wol dari permadani hamparan di depan tempat pendiangan." "Dia pintar," kata si Ingus sambil menepuk-nepuk Liz. "Nah George - menurut pendapatmu kapan aku bisa menjemput Clip? Ayahku sudah pergi ikut rombongan caravan. Aku ditinggalnya, bersama caravan kami. Jadi tak soal, apakah hari ini atau besok. Atau bahkan lusa" "Yah, yang pasti hari ini belum mungkin," kata George. "Tapi kalau besok, barangkali sudah bisa. He - kau tidak punya sapu tangan ya? Belum pernah kujumpai orang yang begitu sering menyedot ingusnya seperti kamu." si Ingus menyekakan lengan bajunya ke hidung. "Aku belum pernah punya sapu tangan," katanya. "Tapi kan ada lengan bajuku ini ," "Hih, kau ini menjijikkan," kata George. "Kau kuberi satu sapu tanganku, tapi harus kaupakai. Jangan menyedot-nyedot hidung terus seperti Itu." "Aku tak tahu aku melakukannya," kata si Ingus setengah merajuk. "Kenapa sih, sebenarnya?" Tapi George sudah masuk ke dalam rumah, dan langsung naik ke atas ke kamarnya. Diambilnya sapu tangannya yang berukuran besar, bergaris-garis putih dan merah. Nah, sapu tangan itu pas untuk keperluan si Ingus Ketika barang itu disodorkan pada si Ingus, anak itu tercengang memandangnya. "Itu syal untuk membalut leherku!" katanya. "Bukan, ini sapu tangan, untuk membersihkan hidungmu," kata George. "Kau tidak punya kantong, untuk tempat menaruh sapu tangan ini? Nah, begitu dong. Sekarang pergunakan barang itu, daripada ter-sedot-sedot terus seperti selama ini." "Mana yang lain-lain?" tanya si Ingus, sambil memasukkan sapu tangan dengan hati-hati ke dalam kantongnya, ia berbuat, seakan-akan benda itu terbuat dari kaca. "Pesiar naik kuda," jawab George singkat. "Kata mereka, mereka akan datang melihat cara-vanku kata si ingus. "Mereka kan sudah bilang begitu!" "Yah, hari ini mereka takkan sempat," kata George. "Kurasa baru larut senja mereka kembali. Tapi aku bisa pergi melihatnya. Tapi kan tak ada siapa-siapa lagi di situ?" George tidak ingin berjumpa dengan ayah si Ingus, atau salah seorang kerabatnya! si Ingus menggeleng. "Tidak, caravan itu kosong. Kan sudah kubilang tadi, ayahku sudah pergi. Begitu pula bibi dan nenekku." "Apa sebetulnya yang kalian kerjakan di Rawa Rahasia?" tanya George, sementara ia mengikuti si Ingus melintasi lapangan, mendaki bukit ke tempat perhentian caravan. Saat itu tinggal satu saja yang masih ada di situ. "Apa y&ng kukerjakan di sana? Bermain-main," jawab si Ingus, sambil menyedot hidung dengan sua-ra nyaring. George mendorong punggung anak itu. "He, untuk apa sapu tangan tadi kuberikan padamu?" kata George. "Jangan berbuat seperti begitu lagi , Jengkel aku mendengarnya ," si Ingus langsung mengusapkan hidungnya ke lengan baju. Untung saja George tidak melihatnya George menghampiri caravan dan mengamat-amati nya. ia memikirkan jawaban yang diberikan oleh si ingus tadi. "Kaukatakan, di sana kau bermain-main. Tapi apa yang dikerjakan oleh ayahmu, paman, kakek serta laki-laki yang lain? Sepanjang yang bisa kuperkira-kan. di sana sama sekali tak ada yang bisa dikerja kan. Tak ada tempat pertanian, di mana kalian bisa minta telor, susu atau lain-lainnya." si Ingus langsung membungkam. Nyaris saja menyedot hidung lagi, tapi tak jadi. ia menatap George sedang bibirnya nampak seperti garis tipis. Tanda keras kepalai Geroge menatapnya dengan tidak sabaran. "Kata Kapten Johnson, kalian biasa tiga bulan se-kali pergi ke sana dengan caravan," katanya. "Untuk apa? Tentunya ada sebabnya." "Yah," kata si Ingus sambil menengok ke arah lain. "kami membuat bermacam-macam barang, seperti keranjang, dan ...." "Itu sudah kuketahui! Orang kelana biasa membuat barang-barang untuk kemudian dijual," kata George. 'Tapi untuk itu, kalian kan tidak perlu pergi jauh-jauh ke tengah padang yang terpencil. Kan bisa juga membuatnya di desa, atau sambil duduk-duduk di suatu lapangan dekat tempat pertanian. Jadi untuk apa pergi ke tempat terpencil, seperti Rawa Rahasia?" si Ingus diam saja. ia membungkukkan tubuh, memperhatikan sesuatu. Di sisi caravan nampak beberapa potong ranting tergeletak di tanah, tersusun membentuk pola aneh. George melihatnya juga, lalu ikut memperhatikan, ia sudah lupa pada pertanyaannya yang tadi. "Wah - itu kan patrin/ isyarat rahasia kaum kelana , Apa arti tanda itu?" Dilihatnya dua potong ranting, yang satu lebih panjang dari yang lainnya. Ranting-ranting itu disusun membentuk silang. Tak jauh dari situ ada lagi ranting-ranting lain. Semuanya diatur lurus seperti berbaris, menuju ke arah tertentu. "Ya," kata si Ingus, ia lega sekali, karena George tidak terus mendorong dengan pertanyaan-pertanyaan yang merepotkan seperti tadi. "Ini cara kami menyampaikan berita pada teman sekaum yang mungkin datang belakangan. Kau lihat kedua ranting yang disusun membentuk silang itu? Nah, itu patrin yang mengatakan bahwa kami pernah di sini, lalu pindah lagi menuju arah yang ditunjukkan oleh ranting panjang itu." "O, begitu ," kata George. "Gampang saja rupanya) Tapi lalu apa arti keempat ranting lurus itu, yang semuanya menunjuk ke arah yang sama pula? Apa maksud patrin itu?" "Artinya, kelana-kelana yang membuat tanda ini pergi dengan caravan." kata si Ingus, sambil menyedot hidung lagi. "Empat potong ranting - empat buah caravan, menuju ke sana ," Hm begitu," kata George. Dalam hatinya ia bermaksud hendak mengarang sejumlah patrin, untuk dipergunakan di sekolah nanti apabila ada acara melancong jalan kaki. "Masih ada patrin-patrin lain, Ingus?" "O, banyak," kata si Ingus. "Nih, kalau aku pergi nanti, akan kutinggalkan patrin begini)" Dipungutnya selembar daun lebar dari pohon yang tumbuh di dekat situ, lalu diambilnya lagi selembar yang lebih kecil. Kedua daun itu diletakkannya saling berdampingan di tanah. Lalu ditindih dengan batu-batu ke-cir. "Apa puia arti tanda itu?" tanya George. "Ini patrin - atau pesan - yang mengatakan aku serta anjingku yang kecil juga pergi dengan caravan," kata si Ingus, sambil memungut kembali daun-daun itu. "Umpamanya saja ayahku kembali untuk, menjemputku. Lalu ia melihat daun-daun ini tergeletak di sini. ia lantas akan tahu, aku sudah pergi bersama anjingku. Gampang saja. Daun besar untukku, dan daun kecil itu anjingku." "Wah, menarik," kata George senang. 'Sekarang aku ingin melihat caravanmu." Caravan itu model kuno. Ukurannya tidak begitu besar. Tapi roda-rodanya tinggi. Pintu serta jenjang untuk turun terdapat di sisi depan. Caravan itu berwarna hitam. Di sana sini ada gambaran yang dibuat dengan warna merah. George naik ke atas jenjang. "Sudah banyak juga caravan yang kumasuki," katanya. 'Tapi kalau seperti yang begini, belum pernah." ia lantas mengintip ke dalam. Ruangan sebelah dalam tidak begitu bersih. Tapi juga tidak sejorok perkiraannya. "Tidak bau, kan?" tanya si Ingus cemas. "Aku sudah membersihkannya tadi, karena kalian kan akan datang melihat-lihat. Yang di sebelah belakang itu tempat tidur kami. Kami semua tidur di situ." George memandang tempat pembaringan besar yang memenuhi seluruh ruang caravan sebelah belakang, terselubung selimut tebal berwarna-warni. Dibayangkannya seluruh keluarga si Ingus berbaring semua di situ, berdempet-dempet. Yah, setidak-tidaknya dalam musim dingin mereka takkan kedinginan. "Tidak kepanasankah kalian pada musim panas, jika tidur dalam caravan yang begini sempit?" tanya George. "Ah, tidak - musim panas cuma nenek saja yang tidur di situ," jawab si Ingus sambil cepat-cepat menyedot ingus, sebelum terdengar oieh George. "Aku dan yang lain-lain, semua tidur di kolong. Jadi jika hujan, kami tidak basah." "Terima kasih, sudah kautunjukkan bermacam-macam padaku," kata George sambil memandang berkeliling ruangan sempit itu. "Luar .biasa, bagaimana kalian bisa masuk semua di sini." ia tidak masuk ke dalam. Walau si Ingus sudah membenahi tempat itu, tapi toh masih tercium bau yang aneh di situ , "Datanglah besok ke tempat kami, Ingus," kata George lagi, sambil menuruni anak tangga. "Mungkin Clip akan sudah sembuh. Dan jangan lupa, sekarang kau sudah punya sapu tangani" "Aku takkan lupa," jawab si ingus bangga. "Akan kujaga agar sapu tangan itu tetap bersih, George" Bab 8 si Ingus Berjanji PETANG Itu George merasa sangat kesepian. Bagaimana keadaan kawan-kawannya, tanpa dia? Apakah mereka rindu padanya? Jangan-jangan malah sama sekali tak teringat pada dirinya , "Pokoknya, kau tidak ikut dengan mereka. Tim," katanya. "Kau kan takkan pernah meninggalkan aku "Sendiri?" Timmy merapatkan diri pada George. Kelihatannya anjing itu senang, karena George tidak sedih lagi. Dalam hati ia bingung, ke mana anak-anak yang lain. Sudah sehari penuh mereka tidak nampakl Tiba-tiba terdengar bunyi derap langkah kuda-kuda di halaman. Buru-buru George lari ke pintu. Ya, mereka kembali , Bagaimana enaknya sikap yang harus diambilnya? George merasa kesal, lega, malu dan senang sekaligus , ia tertegun di ambang pintu, tak tahu apakah harus merengut atau tersenyum. Tapi kawan-kawannya sudah mendului. "Halo George i" seru Dick. 'Tanpa kamu. rasanya seperti ada yang kurang tadi ," "Bagaimana sakit kepalamu?" tanya Anne. "Mudah-mudahan sudah sembuh." "Halo," seru Henry. "Sayang kau tak ikut tadi. Kami asyik tadi ," "Tolong kami memasukkan kuda-kuda ini ke kandang, George," panggil Julian. "Lalu ceritakan apa saja yang kaulakukan hari ini." Timmy sementara itu sudah lari menghampiri mereka, sambil menggonggong-gonggong dengan senang. Dan tahu-tahu George sudah ikut lari, sambil tersenyum senang. "Halo ," serunya. "Sini, biar kutolong Kalian tadi merasa kehilangan aku? Aku juga rindu pada kalian." Dick dan Julian lega melihat George sudah biasa lagi. Soal sakit kepala sudah tidak disinggung-singgung lagi. George sibuk melepaskan pelana dari punggung kuda-kuda, sambil mendengar cerita anak-anak tentang pengalaman mereka sehari itu. Kemudian berganti dia yang bercerita. Tentang si Ingus, tentang patrin, serta tentang bagaimana ia menghadiahkan sapu tangan pada si Ingus. "Tapi aku yakin, anak itu menyangka ia harus menjaga agar sapu tangan itu harus tetap bersih mulus," katanye. "Selama aku ada bersamanya, dia tak pernah sekali pun memakainya. Nah, itu bunyi lonceng - memanggil kita makan malam. Wah, kita harus buru-buru, nih , Kalian lapar?" "Terang dong ," kata Dick. "Walau tadi, setelah memakan sandwich yang dibekalkan Bu Johnson, kusangka aku takkan mampu lagi makan malam. Bagaimana keadaan Clip?" "Nanti sajalah kuceritakan, sambil makan," kata George. "Kau perlu bantuan, Henry?" Henry melongo, mendengar George menyapanya dengan sebutan Henry - dan bukan Henrietta. Tapi ia cepat memberi reaksi. "Ah, tak usah - eh, George," jawabnya. "Aku bisa sendiri." Makan malam kemudian menyenangkan suasananya. Anak-anak yang lebih kecil duduk terpisah di meja lain. Jadi anak-anak besar bisa mengobrol sepuas hati. Kapten Johnson sangat tertarik mendengar tentang rel tua yang ditemukan anak-anak. "Aku tak tahu di sana ada rel," katanya. "Tapi kami juga baru lima belas tahun tinggal di daerah ini. Jadi tentu saja tak banyak yang kami ketahui tentang sejarah setempat. Sebaiknya kalian pergi ke Pak Ben untuk menanyakannya. Pak Ben itu pandai besi. Sejak lahir ia selalu tinggal di sini. Sedang umurnya sekarang sudah lebih dari delapan puluh tahuni" "Kan ada beberapa ekor kuda yang perlu kami antar besok, untuk dipasangkan tapal yang baru," kata Henry bergairah. "Saat itu kami akan bisa bertanya padanya , Wah, mungkin saja Pak Ben bahkan dulu ikut memasang rel itu." "Kami juga melihat rombongan caravan kaum kelana, George," kata Julian. "Saat itu kami sudah jauh masuk ke tengah padang Entah ke mana tujuan mereka itu.-Menurut perkiraanku, mungkin ke pesisir. Bagaimana keadaan pesisir di ujung Rawa Rahasia, Kapten Johnson?" "Liar," jawab Kapten. "Tebing-tebing curam yang tidak bisa didaki, serta karang dan batu-batu yang menjorok sampai ke tengah. Hanya burung-burung saja yang hidup di sana. Di tempat itu orang tidak bisa berenang atau main perahu. Sama sekali tak ada pantai." "Aku sama sekali tidak bisa mengira-ngira, ke mana rombongan caravan Itu menuju," kata Dick. "Benar-benar misterius. Mereka kan pergi tiap tiga bulan sekali. Pak?" "Begitulah, kurang lebih," jawab Kapten Johnson. "Aku tak bisa membayangkan, apa yang menarik kaum kelana itu pergi ke Rawa Rahasia. Benar-benar tidak bisa , Biasanya mereka tak pernah pergi ke tempat yang tidak ada sejumlah pertanian, atau setidak-tidaknya desa kecil di mana mereka bisa menjajakan barang-barang buatan mereka." "Aku kepingin menyusul mereka, untuk melihat di mana mereka berada dan apa yang mereka lakukan di situ," kata Julian, sambil mengunyah telor rebus. Sudah tiga butir dimakannya. "Yuk ," kata George setuju. "Tapi bagaimana caranya? Kita kan tidak tahu, mereka ke mana," kata Henry. "si Ingus besok akan menyusul mereka," kata George. "Pokoknya, begitu Clip sudah boleh berjala lagi. Dan ia harus mengikuti jejak patrin yang ditinggalkan kaumnya di jalan. Katanya sambil berjalan ia selalu mencari-cari tempat di mana ada bekas-bekas api unggun. Lalu di samping tempat Itu ia akan melihat patrin. Patrin itu berupa ranting-ranting yang menunjukkan arah yang harus diikuti olehnya." "Lalu tanda-tanda itu kemudian pasti akan d rusak lagi olehnya," kata Dick. "Jadi kita tidak bisa mengikutinya" "Kita minta saja padanya, untuk meninggalkan patrin buatannya bagi kita," kata George. "Kurasa ia pasti mau, Anak itu sebenarnya baik. Bisa saja kuminta padanya untuk meninggalkan patrin banyak-banyak, supaya kita bisa menemukan jalan dengan mudah." "Kurasa akan asyik untuk mengetahui apakah kita bisa menyidik arah yang harus ditempuh dangan cara semudah kaum kelana," kata Julian. "Bisa saja kita merencanakan perjalanan berkuda selama sehari. Yang terang, pasti akan mengasyikkan ," Henry menguap lebar sekali. Perbuatannya Itu membuat Anne ikut-ikut menguap, walau tak selebar Henry. "Henry!" kata Bu Johnson menegur. "Maaf Bu," kata Henry. "Tapi tahu-tahu saja aku menguap, tanpa sengaja. Entah kanapa, tapi rasanya mengantuk sekali." "Kalau begitu tidurlah sekarang," kata Bu Johnson lagi. "Kalian sudah sehari penuh berada di alam terbuka, disinari cahaya matahari. Lihatlah, kulitmu sudah coklat sekali. Walau sekarang baru musim semi, tapi sinar matahari hari ini teriknya sudah seperti di musim panas saja" Anak-anak besar masih keluar sebantar, untuk melihat kuda-kuda serta melakukan beberapa tugas kecil. Kemudian Henry menguap lagi, disusul oleh yang lain-lainnya. Sampai George pun ikut-ikut menguap. "Aku ingin masuk ke jerami ," kata Julian sambil tertawa. "Wah, membayangkan pembaringan yang hangat itu saja sudah terlalu nikmat rasanya , Biar kalian anak-anak perempuan tidur di tempat tiduri" "Mudah-mudahan nanti tengah malam ayah si Ingus tidak muncul lagi," kata Dick. "Akan kuikat palang pintu kandang, supaya dia tidak bisa masuk," kata Julian. "Yuk, kita masuk lagi untuk mengucapkan selamat tidur pada Bu Johnson." Tak lama kemudian anak-anak perempuan sudah berbaring di tempat tidur. Sedang Dick dan Julian merebahkan diri ke atas pembaringan mereka di tengah jerami dalam kandang. Keduanya langsung terlelap. Ternyata malam itu tidak ada orang masuk menyelinap. Tak ada yang mengganggu tidur mereka sampai pagi. Keduanya kaget lalu bangun, ketika pagi-pagi ada ayam jantan masuk lewat jendala. Ayam itu duduk pada kasau yang letaknya tak jauh dari kepala Dick dan Julian, lalu berkokok dengan nyaring. "Apa itu?" tanya Dick. "Bunyi apa itu, yang menyakitkan kuping? Kau itu tadi, Ju?" Saat itu ayam jantan tadi berkokok lagi. Dick dan Julian tertawa. "Sialan!" umpat Julian, sambil merebahkan diri kembali. "Rasanya masih ingin tidur beberapa jam lagi." Pagi itu si Ingus muncul lagi. ia masuk menyelinap. Anak itu tak pernah muncul secara terang-terangan. Selalu menyusup menembus pagar semak, atau menyelinap lewat gerbang, atau tahu-tahu muncul dari balik sudut rumah atau pagar. Begitu memasuki pekarangan istal, langsung dilihatnya George. Dihampirinya anak itu. "George!" sapa si Ingus. "Clip sudah sembuh?" "Sudah!" jawab George. "Kata Kapten Johnson, kau boleh mengambilnya hari ini juga. Tapi tunggu dulu, Ingus Sebelum kau pergi, aku ingin minta tolong padamu." si Ingus senang mendengarnya, ia suka pada anak yang disangkanya laki-laki, yang menghadiahinya sapu tangan yang bagus sekali. Dikeluarkannya lembaran kain itu dari kantongnya, dengan harapan George senang karenanya. "Lihat" kata si Ingus. "Bersih sekali, ya? Aku merawatnya dengan teliti." ia menyedot ingus dengan bunyi nyaring. "Kau ini dungu," kata George jengkel. "Sapu tangan itu kuberikan agar kaupakai bukan disimpan dalam kantong supaya tetap bersih. Gunanya, supaya kau jangan tersedot sedot terus menarik ingus ke dalam hidung. Sungguh, kau ini goblok, Ingus Jika sapu tangan itu tidak kaupakai, nanti kuambil lagi!" si Ingus ketakutan mendengar ancaman itu. D kibaskannya sapu tangan dengan hati-hati sehingga terbeber lebar, lalu disentuhkannya pelan-pelan ke hidungnya. Setelah itu dilipatnya kembali dengan seksama seperti semula, lalu dimasukkan ke kantong. "Sekarang jangan tarik ingusmu lagi!" tukas George sambil manahan tertawa. "Begini, Ingus! Kau tahu kan - patrin yang kautunjukkan padaku kemarin?" "Ya, George," kata si Ingus. "Nah, - apakah kaummu yang sudah berangkat lebih dulu meninggalkan jejak untuk kauikuti? Maksudku, supaya kau tahu jalan?" tanya George. si Ingus mengangguk. "Ya, tapi tidak banyak! Soalnya, aku sudah dua kali lewat jalan itu. Mereka cuma akan membuat patrin di tempat-tempat, di mana aku mungkin bisa salah jalan." "O, begitu," kata George. "Nah, sekarang kami i-Ingin mengadakan semacam permainan. Kami ingin tahu, siapa di antara kami yang bisa mengikuti jejak. Kami minta tolong padamu, supaya membuatkan patrin untuk kami banyak-banyak, sementara kau menyusul kerabatmu hari ini. Bagaimana - mau tidak?" "Tentu saja aku mau," jawab si Ingus. Anak itu merasa bangga, karena dimintai pertolongan. "Aku akan menaruh tanda-tanda yang sudah kutunjukkan padamu. Jadi silang, ranting-ranting panjang, serta daun yang besar dan yang kecil." "Ya, tolonglah," kata George. "Itu kan berarti kau berangkat menuju arah tertentu. Dan kau seorang anak, beserta seekor anjing. Betul, kan?" "Ya," kata si Ingus sambil terangguk-angguk. "Kau ingat rupanya ," "Memang, Kami ingin mengadakan suatu permainan. Kami pura-pura menjadi kaum kelana, yang menyusul kawan-kawan yang sudah berangkat lebih dulu," kata George. 'Tapi kalau kalian sudah dekat ke kelompok caravan kami, kalian jangan sampai kelihatan," kata si Ingus. Tiba-tiba anak itu ketakutan. "Bisa repot aku nanti, jika ketahuan telah menaruh patrin untuk kalian." "Baiklah, kami akan hati-hati," kata George. "Sekarang kita mengambil Clip." Kemudian mereka pergi ke kandang, untuk mengambil kuda belang itu. Kuda yang sabar itu senang, ketika dituntun ke luar. Jalannya sudah tidak pincang lagi. Ternyata ada gunanya ia disuruh istirahat beberapa hari. Diikutinya si ingus dengan langkah cekatan. Sebelum menghilang lagi, si Ingus masih terdengar menyedot ingusnya. "Ingus" seru George memperingatkan. si Ingus merogoh kantong untuk mengambil sapu tangan. Kain itu dilambai-lambaikannya dengan gembira. Anak itu nyengir bandel. George kembali ke teman-temannya. "Clip sudah dibawa pergi oleh si Ingus," katanya. "Sekarang bagaimana jika kita mendatangi pandai besi, untuk mengantarkan kuda-kuda yang perlu tapal baru?" "Ide bagus," kata Julian. "Kita akan bisa bertanya tentang Rawa Rahasia, serta rel aneh yang terbentang di sana. Yuk, sekarang saja kita ke tempatnya." Ada anam akor kuda yang memerlukan tapal baru. Anak-anak karenanya bisa menunggang kuda, sementara kuda yang keenam dipegang tali kendalinya oleh Julian. Timmy berlari-lari dengan gembira mengiringi mereka. Anak-anak berkuda lambat-lambat, menyusur jalan desa yang panjang menuju ke tempat pandai besi. "Itu dia tempatnya!" kata George kemudian. "Wah, rupanya bengkel model kuno, dengan perapian terbuka , Dan itu dia pandai besi ," Pak Ben bertubuh kekar, walau usianya sudah delapan puluh tahun lebih, ia sudah tidak sering lagi memasang tapal ke kuku kuda. ia sedang duduk-duduk di tempat yang disinari cahaya matahari, sambil memperhatikan kesibukan yang terjadi ke sekelilingnya. Rambutnya sudah putih semua, tumbuh lebat separti surai. Matanya hitam, sehitam batu arang yang sudah begitu sering dijadikannya nyala pijar. "Selamat pagi, Nona dan Tuan-tuan muda," sapa Pak Ben. Julian nyengir mendengarnya. Nah, pasti dalam hati George dan Henry senang - karena disangka anak laki-laki, pikirnya. "Kami ingin bertanya sedikit. Pak," kata George sambil turun dari kudanya. "Silakan bertanya ," kata laki-laki tua itu. "Jika persoalannya tentang daerah sini, tak banyak yang tidak bisa Pak Ben kisahkan pada kalian. Serahkan saja kuda-kuda itu pada Jim , Nah, sekarang bertanyalah ," Bab 9 Cerita Pandai Besi Begini pak," kata Julian membuka pertanyaan, "kemarin kami melancong naik kuda ke Rawa Rahasia. Kami ingin tahu, adakah alasan tertentu untuk nama aneh itu. Pernahkah ada rahasia di padang belantara itu?" "O, di sana banyak sekali rahasia," jawab Pak Ben. "Misalnya orang-orang yang tersesat dan tak pernah muncul kembali , Atau bunyi-bunyi aneh, yang tidak diketahui apa yang menyebabkannya, lalu "Bunyi aneh bagaimana?" tanya Anne, yang langsung tertarik. "Dulu sewaktu aku masih anak-anak, aku sering pergi ke sana untuk berkemah," kata Pak Ben. "Macam-macam bunyi yang terdengar di tempat itu , Jeritan, auman, begitu pula erangan dan bunyi kelepak sayap lebar "Ah, itu kan mungkin disebabkan oleh binatang-binatang yang hidup di situ," kata Dick. "Aku pernah mendengar teriakannya begitu keras, sampai aku terlompat karena kaget. Jika aku saat itu tidak tahu yang berbunyi itu burung hantu, mungkin aku sudah lari pontang-panting ketakutan!" Pak Ban tersenyum geli. Mukanya yang sudah keriput, bertambah banyak kerutnya. "Kenapa padang belantara itu diberi nama Rawa Rahasia?" tanya Julian lagi. "Sudah tuakah nama itu?" "Sewaktu kakekku masih kecil, tempat itu disebut orang Rawa Kabut," kata pak pandai besi, sambil mengenang. "Rawa Kabut dan bukan Rawa Rahasia. Soalnya karena kabut yang sering datang melayang dari arah pesisir. Begitu tebal menyelubungi, sehingga tangan di depan muka kita pun sudah tidak kelihatan lagi. Ya - aku sendiri pernah tersesat di sana, ketika sedang berkabut. Wah, aku ketakutan setengah mati. Kabut itu bergerak-gerak di sekelilingku seperti makhluk hidup, yang menyentuh diriku dengan jari-jemarinya yang dingin lembab." "Hih, seram!" kata Anne bergidik. "Lalu, apa yang Anda lakukan?" "Ya. aku langsung lari ketakutan," kata Pak Ben. Laki-lak tua itu mengeluarkan pipanya, dan mengamat-amati tempat tembakau yang kosong. "Ku-landa rumput liar yang menghadang, kutubruk semak belukar. Berulang kali aku jatuh. Sementara itu kabut terasa seperti menarik-narik diriku dengan jemarinya yang lembab. ,tulah kata orang-orang tua tentang kabut itu. Kabut di situ selalu berusaha menarik orang yang tersesat ke dalam perangkapnya ," "Padahal cuma kabut biasa saja," kata George, ia menduga Pak Ben sengaja membuat kisah itu lebih seram dari sesungguhnya. "Lalu apakah masih sering tempat itu terselubung kabut?" "0 ya," kata Pak Ben, sambil menghenyakkan segumpal tembakau ke dalam cembung pipa. "Saatnya musim gugur. Tapi bisa saja sekonyong-konyong datang, pada setiap saat. Pernah kualami kabut itu tiba-tiba datang menjelang senja di suatu hari yang cerah pada musim panas. Datangnya merayap rayap Kalau kita tidak cepat sadar, tahu-tahu kita terjebak di dalamnya!" "Apa maksud Anda - terjebak?" tanya George. "Yah, kabut itu bisa berhari-hari menyelubungi tempat itu," kata Pak Ben menjelaskan. "Dan jika tersesat di Rawa Rahasia, itu artinya sungguh-sungguh tersesat Takkan mungkin kembali lagi. Ya, kalian boleh saja tersenyum - tapi aku tahu pasti" Pak Ben merenung lagi sambil menatap pipa di tangannya, ia mengingat-ingat kejadian masa yang sudah lama lampau. "Misalnya saja Bu Banks, yang pada suatu sore musim panas pergi ke sana untuk memetik arbei liar. Tahu-tahu kabut menyergap. Sejak itu tidak ada kabar benta lagi mengenai wanita tua yang malang itu. Lalu ada lagi si Victor, anak yang membolos karena hendak keluyuran di Rawa Rahasia. Dia pun lenyap untuk selama-lamanya, ditelan kabut." "Rupanya kami perlu berjaga-jaga terhadap kabut, apabila pesiar naik kuda lagi di sana," kata Dick. "Baru sekarang aku mendengarnya." "Ya - sebaiknya kalian waspada," kata Pak Ben. "Selalu arahkan pandangan ke pesisir, karena dari arah itulah kabut datang. Tapi sekarang sudah tidak banyak lagi kabut. Aku tidak tahu kenapa begitu. Ya, kalau kupikir-pikir, sejak hampir tiga tahun belakangan ini tak pernah lagi terjadi kabut. Maksudku kabut sungguhan, yang tebali" "Aku masih ingin tahu, apa sebabnya nama yang lama kemudian berganti menjadi Rawa Rahasia," kata Henry. "Kalau Rawa Kabut, bisa kumengerti. Tapi sekarang semua menamakannya Rawa Rahasia, dan bukan Rawa Kabut lagi." "Yah, itu mestinya terjadi sekitar tujuh puluh tahun yang lalu, ketika aku masih kanak-kanak," kata Pak Ben. Orang tua itu menyalakan pipanya, lalu menyedot-nyedot dengan keras supaya tembakau menyala. Kelihatan ia merasa senang. Tidak sering ia menghadapi pendengar yang begitu berminat seperti kelima remaja yang ada di depannya saat itu. Bahkan anjing besar yang ikut dengan mereka, turut mendengarkan dengan asyiki "Saatnya ketika keluarga Bartle membangun lintasan rel ke tengah padang." katanya memulai kisah, ia terhenti, karena anak-anak berseru kaget. "Wah, jadi Anda tahu tentang rel itu ," "Justru itu yang juga ingin kami tanyakan ," "Teruslah, Pak" Pak Ben agak mengalami kesulitan dengan pipanya, ia menyedot-nyedot lama sekali. Dalam hati George merasa sayang ia bukan kuda. Coba ia kuda, bisa mengentakkan kaki dengan tidak sabar. Tapi anak yang sopan tidak boleh berbuat begitu , "Keluarga Bartle itu besar," kata Pak Ben kemudian. 'Semua laki-laki, kecuali seorang anak perempuan yang sakit-sakitan. Aku ingat sekali pada mereka. Semuanya pemuda bertubuh kekar. Aku ngeri pada mereka, karena semuanya cepat sekali melayangkan tinju. Nah - salah seorang di antara mereka. Dan namanya - ia menemukan bidang tanah pasir yang cukup besar di padang itu ..." "Ya, sudah kami duga bahwa di tempat itu dulu mungkin ada tempat penggalian pasir." sela Anne. Pak Ben mengerutkan kening, karena ceritanya terpotong. "Dan karena keluarga Bartle bersaudara itu terdiri dari sembilan sampai sepuluh pemuda yang kuat-kuat, mereka lantas bertekad hendak mencobanya," kata Pak Ben. "Mereka membeli gerobak-gerobak dan dengan kendaraan-kendaraan itu pulang balik ke tempat penggalian mereka. Mereka menjual pasir yang halus dan kering ke segala arah di daerah siIni ..." "Tapi bagaimana dengan soal rel?" tanya Henry. "Jangan mendesak-desak," kata Dick sambil mengerutkan kening. "Banyak sekali uang yang dihasilkan," kata Pak Ben mengingat kembali. "Lalu setelah itu mereka membangun rel kereta api, untuk menghemat tenaga. Wah, kereta itu benar-benar menarik perhatian semasa itu , Kami, anak-anak kecil biasa mengikuti kepala kereta yang berjalan sambil menghembus hembua. ,dam-idaman kami semua adalah menjalankan kepala kereta itu. Tapi tak seorang pun pernah mendapat kesempatan. Para pemuda Bartle itu biasa membawa-bawa tongkat besar. Masing-masing satu. Setiap anak yang berani mendekat, pasti kena gebuk dengannya. Keluarga Bartle itu galak-galak, dan senang bertengkar." "Apa sebabnya rel kereta itu kemudian terbengkalai?" tanya Julian. "Kini penuh ditumbuhi semak dan rumput liar, nyaris tak kelihatan lagi relnya." "Nah, kini kita sampai pada rahasia yang tak henti-hentinya kalian sebut-sebut," kata Pak Ben, sambil menghembuskan asap tabal. "Keluarga Bartle kemudian bertengkar dengan kaum kelana yang ada di padang ... "Wah, rupanya waktu itu pun sudah ada kaum kelana di sana," kata Dick. "Yang jelas sekarang ada" "Memang, sepanjang ingatanku sudah selalu ada kaum kelana di Rawa Rahasia," kata pandai besi yang sudah lanjut usia itu. "Nah, menurut kabarnya kaum kelana itu bertengkar dengan keiuarga Bartie Itu bukan kejadian luar biasa, karena hampir semua orang cekcok dengan para pemuda yang gemar ribut itu , Lalu para kelana melakukan aksi mereka. Menarik rel kereta di sana-sini, menyebabkan kereta terguling." Anak-anak membayangkan betapa kepala kereta meluncur dengan suara mendengus-dengus sampai ke bagian rel yang dirusak, lalu terguling bersama gerbong-gerbong yang dihela. Wah, pasti gempar keadaan di padang belantara saat itu , "Kebetulan Bartle bukan termasuk orang-orang yang diam saja dibegitukan," kata Pak Ben. "Mereka lantas beraksi, mengusiri para kelana dari Rawa Rahasia. Mereka "bersumpah, jika ada satu saja caravan berani memasuki daerah itu, mereka akan membakarnya. Sedang para kelana yang nekat itu akan mereka kejar sampai ke lauti" "Huh, keluarga itu mestinya galak sekali," kata Anne. "Betul katamu itu," kata Pak Ben. "Semuanya pria berbadan tinggi besar, dengan alis tebal yang hampir menutupi mata, serta suara nyaring. Tak ada yang berani membantah mereka. Jika ada juga yang mencoba, rumah orang yang nekat itu langsung didatangi seluruh keluarga yang selalu siap dengan tongkat besar mereka. Keluarga itu menguasai daerah ini. Orang-orang sini, semua benci pada mereka , Kami anak-anak waktu itu selalu langsung lari bersembunyi, jika salah seorang dari mereka tiba-tiba muncul." "Bagaimana dengan kaum kelana? Apakah keluarga Bartle berhasil mengusir mereka dari Rawa Rahasia?" tanya George tidak sabar. "Aku jangan kauburu-buru begitu," kata Pak Ben, sambil menudingkan tangkai pipanya pada anak itu. "Anak laki-laki yang tidak sabaran seperti kau ini, rupanya perlu dikejar seorang keluarga Bartle ," Ternyata Pak Ben masih tetap mengira George anak laki-laki. Setelah itu ia menyibukkan diri dengan pipanya. Julian mengedipkan mata pada kawan-kawannya, ia suka pada orang tua itu, yang panjang sekali ingatannya. "Kaum kelana tidak bisa lama-lama dimusuhi," kata Pak Ben kemudian. "Sungguh, mereka tidak baik jika dimusuhi. Pada suatu hari, seluruh keluarga Bartle hilang lenyap. Dan tidak pernah kembali lagi. Tidak, tidak satu pun dari mereka pernah muncul lagi. Yang masih tinggal dari keluarga besar itu cuma adik perempuan mereka, Agnes." Anak-anak berseru kaget. Pak Ben memandang berkeliling dengan perasaan puas. Ya, Pak Ben sangat ahli bercerita , 'Tapi apa sebetulnya yang terjadi dengan mereka?" tanya Henry. "Tak ada yang mengetahui dengan tepat," kata Pak Ben. "Peristiwa itu terjadi pada suatu saat, ketika kabut datang menyelubungi segala-galanya di padang belantara. Tak ada orang berani ke sana kecuali Bartle bersaudara. Mereka sebetulnya aman, karena hanya perlu mengikuti alur rel kereta mereka pulang balik. Selama padang berkabut mereka selalu pergi setiap hari ke tempat penggalian pasir. Mereka bekerja seperti biasa. Tak ada yang bisa menghalangi keluarga Bartle bekerja ," Pak Ben berhenti sebentar. Diperhatikannya anak-anak yang mendengar dengan asyik. Setelah itu dilanjutkannya bercerita. Suaranya dipelankan. Anak-anak merasa bulu tengkuk mereka berdiri karena seram. "Pada suatu malam, seseorang di desa melihat sekitar dua puluh caravan kaum kelana bergerak menyelinap lewat desa pada tengah malam buta," kata Pak Ben lagi. "Mereka menembus kabut tebal, menuju ke tengah padang. Mungkin mereka menyusur alur rel. Tak ada yang tahu pasti. Dan keesokan harinya, para pemuda Bartle pergi ke tempat penggalian pasir mereka seperti biasa. Tubuh-tubuh mereka langsung lenyap ditelan kabut." Pak Ben berhenti lagi sebentar. "Dan sejak itu mereka tak pernah muncul kembali," katanya. "Tidak, tak seorang pun dari mereka pernah dilihat orang lagi. Bahkan kabar beritanya saja tak ada" "Tapi apa yang terjadi dengan mereka?" tanya George. "Ketika kabut terangkat lagi, orang-orang desa mengirim regu pencari ke sana," kata Pak Ben. "Tapi tak seorang pun dari keluarga Bartle berhasil ditemukan, baik hidup maupun mati. Tak seorang pun , Sedang caravan-caravan kaum kelana, juga tak dijumpai di situ. Rupanya mereka menyelinap kembali malam esoknya, melewati desa seperti bayang-bayang. Kurasa mereka menyerang para pemuda itu di tengah kabut hari itu, mengalahkan mereka dan membawa mereka ke tepi tebing, lalu mencampakkan semuanya ke laut yang menggelora ," Hih mengerikan ," kata Anne. Perasaannya tidak enak. "Jangan khawatir," kata Pak Ben. "Itu kan kejadian pada jaman dulu. Percayalah, tak banyak yang bersedih kehilangan keluarga Bartle. Anehnya, Agnes adik mereka yang semula sakit-sakitan itu, kemudian hidup sehat sampai berusia sembilan puluh enam. Baru beberapa tahun yang lalu ia meninggal dunia , Sedang abang-abangnya yang kuat dan galak itu, semuanya meninggal bersama-sama secara begitu ," "Kisah menarik. Pak Ben," kata Julian. "Jadi mulai saat itu Rawa Kabut bertukar nama menjadi Rawa Rahasia , Dan tak ada yang tahu pasti apa yang terjadi sebetulnya - jadi rahasia itu tetap merupakan rahasia. Setelah itu, tidak adakah yang memakai lintasan rel yang di sana itu, atau menggali pasir?" "Tidak, tidak ada," jawab Pak Ben. "Soalnya semua takut. Sedang menurut Agnes yang waktu itu masih muda, masa bodoh segala kereta beserta gerbong-gerbong itu. ia tak peduli terhadap barang-barang itu. Sejak saat itu aku tak berani lagi pergi ke dekat tempat itu. Baru lama kemudian orang-orang berani menginjakkan kaki lagi di Rawa Rahasia. Selama itu cuma kaum kelana saja yang tetap datang ke sana. Sekarang -kisah kejadian keluarga Bartle sudah dilupakan orang. Tapi aku merasa pasti, kaum kelana masih tetap ingat. Mereka bukan tergolong orang yang mudah lupa." 'Tahukah Anda, apa sebabnya mereka begitu sering datang ke Rawa Rahasia?" tanya Dick., "Tidak tahu. Mereka datang dan pergi sesuka me raka," kata Pak Ben. "Mereka itu memiliki kebiasaan yang aneh-aneh. Mereka manusia bebasi Apa yang mereka kerjakan di sana merupakan urusan mereka sendiri, dan aku tak mau mencampuri urusan mereka. Aku selalu ingat pada nasib keluarga Bartle, dan karena itu menjauhi merekat" Saat itu terdengar suara memanggil dari dalam bengkel, di mana Jim, cucu Pak Ben sedang sibuk memasang tapal kuda. "Kek, Jangan mengoceh terus. Suruh anak-anak ke mari, mengobrol dengan aku, Tapal kuda sudah hampir semua selesai kupasang." Pak Ben tertawa. "Sana, masuklah ke dalam," katanya pada anak-anak. "Aku tahu kalian senang berada di dalam, menonton api memercik pada saat tapal besi sedang ditempa. Aku sudah membuang-buang waktu kalian, dengan cerita-cerita tentang masa yang sudah lama silam. Nah, masuklah ke dalam bengkel! Tapi Ingat dua hal: hati-hati terhadap kabut, serta jauhi kaum kelana di Rawa Rahasia!" Edit by: zheraf http://www.zheraf.net Bab 10 Patrin si Ingus Asyik rasanya berada dalam bengkel. Menggerakkan alat penghembus angin, memperhatikan api berkobar, mengamat-amati kesibukan membentuk tapal besi yang memijar. Jim bekerja dengan cepat dan cekatan. Enak melihat dia bekerja. "Kalian tadi mendengarkan Kakek menceritakan kisah-kisah kuno?" tanyanya sambil bekerja. "Cuma itu saja kesibukannya sekarang. Duduk-duduk sambil mengenang masa silam. Padahal kalau mau, dia masih mampu menempa tapal kuda sebaik aku, Nah, ini yang terakhir. Sekarang diam dulu. Sultan. Ya, begitu ," Tak lama sesudah itu, anak-anak sudah berada dalam perjalanan kembali. Pagi itu indah. Sepanjang jalan nampak bunga mekar "Kisah yang diceritakan pak tua tadi aneh," kata Julian setelah beberapa lama. "ia pandai bercerita ," "Batui. Aku dibuatnya merasa segan mendatangi Rawa Rahasia lagi ," kata Anne. "Jangan cengeng begitu ," tukas George. "Kejadiannya kan pada jaman dulu. Tapi menarik. Aku ingin tahu, apakah kaum kelana yang ada sekarang di sana mengenal kisah itu. Mungkin nenek moyang mereka yang pada hari berkabut Itu menyerang Bartle Bersaudara!" "Kalau ayah si Ingus, kelihatannya cukup licik untuk melaksanakan rencana begitu," kata Henry. "Bagaimana jika kita mencoba mengikuti jejak mereka, untuk melihat apakah kita bisa mengenali patrin yang dijanjikan pembuatannya oleh si Ingus pada George?" "Itu ide bagus," kata Julian. "Kita melakukannya nanti siang. He, pukul berapa sekarang? Kurasa sudah lewat waktu makan siangi" Anak-anak memandang arloji masing-masing. "Ya, kita agak terlambat. Tapi kan selalu begitu, jika kita pergi ke pandai besi," kata George. 'Tapi tak apa, karena Bu Johnson pasti sudah menyediakan makanan ekstra untuk kita." Dugaan George ternyata tepat. Bu Johnson menyimpankan huspot masing-masing sepiring penuh untuk mereka. Wanita itu memang baik hati, "Kalian bertiga harus membantuku mencuci piring," katanya pada Henry, George dan Anne. "Aku banyak pekerjaan hari ini." "Kenapa anak-anak yang laki-laki tidak harus membantu juga?" tanya George dengan segera. "Biar aku sendiri saja yang mencuci piring," kata Anne sambil nyengir. "Kalian berempat yang laki-laki, pergi saja ke kandang kuda ," Dick mendorong adiknya itu dengan main-main. "Kau tahu bahwa kami mau saja membantu, walau kami tidak begitu cekatan. Aku yang mengelap. Soalnya aku paling tidak senang menyentuh sisa-sisa makanan yang mengambang di bak cuci." "Bisakah siang ini kami pergi ke Rawa Rahasia?" tanya George. "Boleh saja, kenapa tidak, Tapi jika ingin membawa bekal, kalian harus menyiapkannya sendiri," kata Bu Johnson. "Aku akan mengajak anak-anak yang kecil pesiar berkuda, dan seorang di antara mereka kan masih perlu dituntun." Pukul tiga siang, Julian serta kawan-kawannya sudah siap berangkat. Bekal makanan sudah dikemaskan dan kuda-kuda sudah diambil dari tempat merumput di lapangan. Mereka lantas memulai perjalanan dengan gembira. "Sekarang akan kita lihat apakah kita memang sepintar anggapan kita, dalam soal membaca jejak kaum kelana," kata George. "Timmy, kau jangan mengejar setiap kelinci yang kaulihat, ya. Nanti ketinggalan!" Anak-anak menderapkan kuda mereka menuju padang. Mereka melewati tempat perkemahan kaum kelana beberapa hari yang lalu. Anak-anak tahu tujuan yang ditempuh orang-orang itu. Di sana-sini nampak alur-alur bekas dilalui roda. "Di sini mereka bermalam untuk pertama kalinya," kata Julian, sambit menggerakkan kudanya menghampiri suatu tempat yang kehitam-hitaman di tanah. Di situlah api unggun dinyalakan. "Mestinya di sini kita akan menemukan pesan." Mereka lantas mencari-cari pesan itu. George yang berhasil menemukannya. "Di sini, di balik pohon ini ," serunya memanggil. "Terlindung dari gangguan angin." Anak-anak turun dari kuda masing-masing, lalu menghampiri George. Di tanah nampak pola yang berbentuk silang. Ranting yang panjang menunjuk ke arah yang sedang mereka tuju. Kecuali itu masih ada pula ranting-ranting lain yang disusun satu-satu. Itu untuk menunjukkan bahwa iring-iringan caravan bergerak ke arah itu. Di samping deretan ranting itu terletak dua lembar daun. Satu besar, sedang yang satu lagi kecil. Keduanya ditindih batu-batu kecil. "Apa lagi arti kedua daun ini?" tanya Dick. Tapi dengan segera ia ingat lagi. "0 ya, si Ingus beserta an jingnya. Nah, arah kita ternyata sudah benar - walau itu sudah kita ketahui sebelumnya, karena di sini ada bekas api unggun ," Anak-anak melanjutkan perjalanan. Ternyata gampang saja menemukan dan mengikuti patrin patrin itu. Cuma sekali mereka menemukan kesulitan. Yaitu ketika mereka sampai di suatu tempat, di mana terdapat dua batang pohon. Di situ tidak nampak tanda-tanda bekas roda dalam rumput. "Tumbuhnya di sini tebal sekali, sehingga tidak berbekas ketika dilewati roda-roda caravan," kata Julian, ia turun dari kudanya, lalu berjalan mondar-mandir. Tapi di tempat itu ternyata tidak ada tanda-tanda bekas caravan lewat. "Kita terus saja dulu," katanya. "Mungkin kita akan sampai ka tempat bekaa perkemahan mereka. Dengan begitu kita akan tahu bahwa kita tidak salah arah." Tapi mereka tidak menjumpai tempat perkemahan sama sekali. Akhirnya mereka berhenti. Anak-anak agak bingung. "Kita kehilangan jejak," kata Dick. "Ternyata kita ini bukan pencari jejak yang baik" "Kita kembali saja ke pohon yang dua batang tadi," kata George. "Kebetulan masih bisa terlihat dari sini. Jika begini mudah kehilangan jejak di tempat ini, maka tentunya di sana ada patrin yang ditinggalkan, walau kita tidak melihat bekas-bekas perkemahan. Patrin itu gunanya kan untuk menunjukkan jalan, apabila para penyuaul keliru mengambil jalan." Mereka lantas kembali ke tempat yang ada dua batang pohon. Dan ternyata di situ ada patrin yang dibuat oleh si Ingus Henry yang menemukannya, diletakkan dangan seksama di antara kedua pohon itu. Letaknya rapi sekali, sehingga tidak mungkin rusak dengan tidak sengaja. "Ini dia silang, ranting yang berurutan, serta kedua lembar daun ," katanya. "Tapi lihatlah - ranting salib yang lebih panjang menunjuk ke timur. Sedang kita tadi mengarah ke utara. Pantas kita tidak berhasil menemukan jejak roda caravan!" Kini mereka berangkat lagi, tapi ke arah timur. Melintasi padang rumput liar yang tumbuh tebal. Boleh dibilang dengan segera berhasil ditemukan tanda- tanda iring-iringan caravan lawat. D sana-sini nampak ranting-ranting semak yang patah, atau jejak roda di atas tanah yang lembek. "Sekarang arah kita sudah benar," kata Julian senang. "Mula-mula kusangka mencari jejak ini gampang sekali , Tapi ternyata tidak." Selama dua jam berikut mereka berkuda terus. Kemudian mereka berhenti, untuk makan sore. Mereka memilih tempat duduk di tengah serumpun pohon | berk. Di belakang tempat itu ada semak mawar hutan. Timmy menghadapi dua pilihan yang sulit. Menguber kelinci, atau mengemis makanan dari anak-anak ,. Timmy memilih kedua-duanya. Cepat-cepat lari mengejar kelinci yang hanya ada dalam khayalannya saja, lalu buru-buru kembali untuk minta sandwich. "Sebetulnya lebih baik bagi kita, jika Bu Johnson membuatkan sandwich yang diisi tomat atau daun selada," kata Henry. "Dengan begitu kita bisa memakan semuanya. Tapi jika isinya daging, sarden atau telor, Timmy lantas kebaglan sama banyak seperti kita ," "Kau kan tidak keberatan, Henrietta," tukas George dengan segera. "Dari kata-katamu tadi, timbul perkiraan Timmy rakus, Kau kan tidak perlu memberikan sandwich bagianmu padanya ," "Nah, nah, Georgina" bisik Dick di dekat telinga George. "Maaf, Georgina," kata Henry sambil nyengir. "Mau tak mau, kuberi juga ia beberapa potong bagianku, jika ia duduk lantas menatap diriku dengan pandangan yang begitu kepingin." Timmy menggonggong separti mengiakan. Dengan segera ia duduk di depan Henry. Lidahnya terjulur ke luar, sedang matanya menatap Henry tanpa berkedip. "Aku merasa seperti dihipnotis olehnya," keluh Henry. "Suruh dia pergi, George. Kalau tidak, aku nanti tidak kebagian makanan. Masya Allah, Tim - sana, pergilah menatap anak laini" Julian melirik arlojinya. "Kurasa kita jangan terlalu lama sibuk makan," katanya. "Memang matahari sekarang tidak lagi cepat terbenam, dan senja cukup terang - tapi perkemahan kaum kelana belum kita capai , Dan setelah itu kita masih harus kembali ke rumah. Jadi bagaimana jika kita sekarang melanjutkan perjalanan?" "Setuju," jawab anak-anak, lalu naik lagi ke punggung kuda masing-masing. Mereka bergerak merintis rumput. Tak lama kemudian ternyata bahwa gampang sekali mengikuti jejak caravan. Soalnya tanah kemudian berubah menjadi berpasir. Banyak tempat-tempat gundul, di mana bisa dilihat dengan jelas bekas-bekas roda. "Wah, jika kita masih terus saja mengarah ke timur, bisa-bisa kita akan sampai di tepi laut nanti ," kata Dick. "Tidak, laut masih agak jauh dari sini," kata Julian. "He, di kejauhan ada semacam bukit kecil. Baru sekarang kita melihat pemandangan lain. Selama ini cuma padang datar saja yang nampak ," Alur roda menuju lurus ke bukit kecil di kejauhan, yang makin lama semakin kelihatan besar ketika anak-anak semakin menghampirinya. "Kurasa iring-iringan caravan ada di sana," kata George. "Bukit itu merupakan pelindung yang aman terhadap angin yang mengembus dari arah laut. Kurasa aku melihat satu di antaranya ," Ucapan Georga itu benar. Caravan-caravan yang dicari ada di tempat itu. Nampak menyolok di depan bukit, dengan warna-warna yang cemerlang. "Mereka bahkan memasang tali gantungan pakaian, seperti biasa mereka lakukan ," kata Anne. "Lihatlah, pakaian mereka berkibar-kibar tertiup angin ," "Yuk, kita tanyakan apakah Clip sehat-sehat saja," kata Julian. "Dengan begitu ada alasan baik untuk mendatangi mereka ," Anak-anak lantas menderapkan kuda mereka, langsung menuju kelompok kelana yang terdiri atas lima caravan itu. Begitu terdengar derap langkah kuda, langsung muncul empat sampai lima laki-laki dewasa. Mareka memandang tanpa bicara, dengan sikap sedikit angker. Tiba-tiba si Ingus muncul sambil berseru-seru. "Hai! Clip sehat, Dia sudah biasa lagi ," Ayahnya mengatakan sesuatu dengan nada membentak, sambil mendorongnya. Seketika itu juga si Ingus menghilang ke bawah kolong caravan yang paling dekat. Julian menggerakkan kudanya, menghampiri ayah si Ingus. "Betulkah kudengar kata si Ingus tadi, bahwa Clip sudah sembuh kembali?" katanya. "Di mana dia?" "Di sana," kata ayah si Ingus, sambil menganggukkan kepala ke arah yang dimaksudkan. "Kau tak usah menengoknya lagi. Kakinya sudah baik kembali." "Ya deh, ya deh , Aku memang tidak bermaksud mengambilnya darimu, kata Julian. "Tempat kalian ini cukup terlindung. Akan berapa lama kalian berada di sini?" "Untuk apa kau ingin tahu?" tanya seorang ka lana yang sudah tua. Sikapnya tidak enak. "Tidak untuk apa-apa," kata Julian kaget. "Aku cuma bertanya secara sopan saja." "Bagaimana cara kalian memperoleh air?" tanya George. "Apakah di sini ada mata air yang bersih?" Tak ada yang menjawab pertanyaannya itu. Sementara itu sudah muncul lagi sejumlah penghuni perkemahan itu. Tiga ekor anjing kudisan datang, lalu menggeram-geram. Timmy mulai naik darah, lalu membalas geraman itu. "Kalian pergi saja, sebelum anjing-anjing kami menyerang," kata ayah si Ingus dengan masam. "Mana Liz?" tanya George, yang teringat pada an -j'ng kepunyaan si Ingus. Tapi sebelum ada yang sempat menjawab, tiba-tiba ketiga anjing kaum kelana menyerang Timmy , Timmy terpaksa berkelahi mati-matian untuk mempertahankan diri. Tubuhnya jauh lebih besar daripada ketiga anjing lawannya. Tapi mereka sangat gesit. "Suruh anjing-anjing kalian mundur, seru Julian, ketika melihat George turun dari kudanya untuk membantu Timmy. ia tidak mau menanggung risiko anak itu digigit anjing. "Kalian dengar kataku tidak? Suruh anjing-anjing kalian mundurl" Ayah si Ingus bersuit. Dengan segan-segan ketiga anjing meninggalkan Timmy, lalu menghampiri para kelana dengan ekor terkulai. Sementara itu George sudah sampai di tempat Timmy. Dipegangnya kalung leher anjingnya itu, untuk mencegah jangan sampai Timmy mengejar anjing-anjing yang menyerangnya tadi. "Naiki kudamu, panggil Timmy, lalu kita pergi dari sini," seru Julian memberi aba-aba. ia merasa tidak enak, menghadapi para kelana yang membisu dan bertampang masam. George menurut perintah Julian. Timmy lari ke samping kuda tunggangan anak itu, dan mereka lantas memacu kuda-kuda mereka menjauhi perkemahan yang tidak menyenangkan itu. Sedang para kelana memperhatikan mereka pergi, masih tetap tanpa mengatakan apa-apa. "Ada apa dengan mereka itu?" tanya Dick bingung. "Kalau melihat mereka begitu, bisa timbul dugaan bahwa mereka sedang berkomplot melakukan serangan, seperti terhadap keluarga Bartla dulu ," "Aduh, serami" kata Anne. "Mereka sedang merencanakan sesuatu, dalam suasana terpencil, jauh dari mana-mana , Aku tak mau pergi ke dekat-dekat mereka lagi ," "Mereka mengira kita ini hendak mengintip-intip," kata Dick. "Cuma itu saja sebabnya. Kasihan si Ingus - hidupnya tidak bisa dibilang enak." "Kita bahkan tak sempat mengatakan padanya, bahwa patrin yang dibuatnya ternyata sangat menolong kita," kata George. "Yah - mungkin kejadian ini bukan apa-apa. Sama sekali tak mengandung petualangan bagi kita ," Betulkah kata George? Julian memandang Dick. Dick membalas tatapan itu, sambil mengangkat alis. Mereka juga tidak tahu. Yah - lihat saja bagaimana kelanjutannya nanti , Bab 11 Mengatur Rencana Sewaktu makan malam, kelima anak itu ramai menceritakan pengalaman mereka siang sebelumnya pada Kapten serta Bu Johnson. "Patrin," kata Bu Johnson. "Rupanya si Ingus yang menceritakan soal itu pada kalian, ya? Tapi menurut pendapatku, sebetulnya kalian tadi jangan mendatangi perkemahan kelana-kelana itu. Kelompok mereka terkenal tidak ramah, dan cepat marah." "Anda pernah mendengar kisah tantang keluarga Bartle?" tanya Henry, ia sudah siap untuk menceritakannya. Tentu saja dengan penambahan bumbu-bumbu karangannya sendiri. "Belum, tapi kurasa cerita itu masih bisa menunggu,'" kata Bu Johnson, ia mengenal baik kebiasaan Henry, yaitu lupa meneruskan makan jika sudah mulai berkisah dengan asyik. "Apakah Itu termasuk cerita tentang dirimu? Kalau betul, nanti saja kauceritakan jika sudah selesai makan." "Itu bukan kisah Henry," kata Gaorge. ia kesal, karena lagi-lagi Henry menjadi pusat perhatian, dangan jalan menceritakan kisah pandai besi seakan-akan itu ceritanya sendiri. "Pak Ben yang mengisahkannya pada kami. Kau saja yang menceritakannya, Ju," "Tak ada yang akan bercerita sekarang," kata Kapten Johnson. "Kalian pulang terlambat, sehingga kami terpaksa menunggu dengan makan malam. Kini setidak-tidaknya lanjutkan dulu makan kalian ," Anak-anak kecil yang duduk di meja sebelah, kecewa. Sebetulnya mereka mengharapkan akan mendengar lagi salah satu kisah Henry yang selalu seru. Tapi Kapten Johnson sudah lapar, ia juga capek. "Pak Ben sudah sangat tua umurnya," kata Henry, setelah menyuap makanan beberapa kali. "Dia -". "Jangan bicara lagi, Henrietta," kata Kapten ketus. Muka Henry menjadi merah. George nyengir, lantas menendang kaki Dick di bawah meja. Maksudnya hendak menyentuh kaki Dick - tapi sial, yang tertendang malah kaki Henry. Anak itu melotot, menatap George sampai semenit. "Aduh," keluh Anne dalam hati. "Padahal sehari ini suasana sudah begitu enak. Mungkin kita semua sudah capek, jadi gampang tersinggung." Begitu snak-anak selesei makan dan meninggalkan meja, Henry langsung melabrak George. "Kenapa kakiku kautendang tadi?" tukasnya. "Kalian berdua diam," kata Julian. "Mungkin George bermaksud menendang kakiku atau kaki Dick - dan bukan kakimu." Henry membungkam, ia tidak senang dimarahi oleh Julian. Sedang George bersikap membangkang, ia keluar bersama Timmy. Dick menguap. "Masih adakah pekerjaan yang perlu dilakukan sekarang?" katanya. "Asal jangan disuruh mencuci piring lagi. Rasanya jika disuruh saat ini, ada kemungkinan aku memecahkan piring atau gelas nanti." Bu Johnson kebetulan mendengar perkataannya itu. Wanita itu tertawa. "Tidak, kalian tidak perlu, mencuci piring. Pem-bantuku ada malam ini, untuk melakukannya. Periksalah kuda-kuda sebentar. Jenny - kuda betina itu tidak boleh berdekatan dengan Flash. Kalian kan tahu, entah kenapa Jenny tidak suka pada kuda itu. Kalau berdekatan, pasti akan ditendang. Jenny harus selalu ditaruh di lapangan lain." "Sudah beres. Bu Johnson," kata William, yang tiba-tiba muncul. Anak itu meskipun kecil, tapi ternyata sangat sigap. "Aku sudah mengurusnya. Segala-galanya sudah kuurus." "Kau ini labih baik daripada pembantu tukang kuda yang mana pun, William," kata Bu Johnson, sambil tersenyum pada anak itu. ",Ingin rasanya mempekerjakanmu di sini sebagai tenaga tetap." "Ah, Bu Johnson suka main-main saja," kata William. Kalau Bu Johnson serius berkata begitu, wah - bukan main senangnya. Memang itulah yang diidam-idamkan William. Anak itu pergi lagi, dengan tampang berseri-seri. "Kalian sebaiknya pergi tidur saja sekarang, karena rupa-rupanya semua pekerjaan yang ada sudah diselesaikan oleh William," kata Bu Johnson. "Kalian sudah punya rencana untuk besok?" "Belum, Bu," kata Julian, sambil menahan kuap. Jadi kalau ada sesuatu yang perlu dikerjakan, kami akan melakukannya." "Kita lihat saja besok," kata Bu Johnson, lalu mengucapkan selamat tidur. Dick dan Julian mengucapkan selamat tidur pula pada ketiga anak perempuan, lalu pergi ke kandang. Ketika sudah berbaring di jerami dan nyaris terlelap Julian tiba-tiba teringat pada sesuatu. "Astaga , Kita lupa berganti pakaian dan mencuci badan," katanya mengantuk. "Ada apa sih dengan tempat ini? Aku rasanya lewat setengah sembilan selalu sudah mengantuk." Tapi setelah itu ia tidur juga. Macam-macam yang terjadi keesokan harinya, dalam bentuk berbagai surat. Misalnya saja sepucuk untuk Henry, yang menyebabkan dia sangat jengkel. Lalu dua pucuk surat untuk Bu Johnson, yang menyebabkan wanita itu mulai sibuk dan repot. Begitu pula sebuah telegram untuk Kapten Johnson, yang setelah membacanya buru-buru pergi ke stasiun. Surat untuk Henrietta berasa dari dua saudara perempuan neneknya. Mereka memberitakan bahwa hari itu mereka akan ada di suatu tempat dekat istal, dan mereka ingin menjemputnya untuk diajak jalan-jalan. "Sialan ," umpat Henrietta. "Kenapa Nek Hannah dan Lucy harus memilih minggu ini untuk datang menjengukku , Tepat pada saat Julian dan Dick ada di sini, dan kita sedang asyik. Tidak bisakah aku menelepon mereka untuk mengatakan aku saat ini sedang sangat sibuk. Bu Johnson?" "Tentu saja tidak ," kata Bu Johnson kaget. "Kau kan tahu sendiri, itu kasar sekali. Selama liburan Paskah kau ada di sini, masakan tidak bisa menyisakan dua hari dari waktumu untuk mereka? Terus terang, aku akan senang apabila kedua kerabatmu Itu mengambil alih tugas dari tanganku untuk sehari dua." "Kenapa begitu?" tanya Henry tercengang. "Apakah aku selama ini merepotkan?" "Bukan begitu - tapi tadi pagi aku menerima dua pucuk surat. ,sinya mengatakan bahwa ada empat anak yang secara tiba-tiba akan datang ke sini," kata Bu Johnson menjelaskan. "Menurut rencana, mereka baru akan datang setelah ketiga anak yang ada di sini pergi pada akhir minggu ini. Tapi, yah - begitulah Hal-hal seperti ini tidak bisa dielakkan, kadang-kadang terjadi juga. Tapi sekarang aku bingung, hendak kukemanakan keempat anak itu ," "Aduh - apakah menurut Anda Dick dan Julian harus pulang sekarang. Bu Johnson?" tanya Anne cemas. "Mereka kan datang begitu saja, tanpa direncanakan." "Ya, aku tahu," jawab Bu Johnson. Tapi kami sudah biasa dengan kejadian begini. Dan aku senang mendapat tamu anak laki-laki yang sudah besar, karena bisa ikut membantu. Sekarang, apa yang bisa kita lakukan?" Saat itu Kapten Johnson masuk. Kelihatannya tergopoh-gopoh. "Aku baru saja menerima telegram Bu," katanya. "Aku harus ke stasiun sekarang juga. Kedua ekor kuda baru kita sudah tiba. Dua hari lebih cepat dari waktu yang kukatakan. Wah, benar-benar merepotkan ," "Rupanya saat ini memang merupakan hari-hari edani" kata Bu Johnson kehabisan akal. "Astaga, berapa banyak orang yang akan ada di rumah nanti? Dan berapa ekor kuda? Ah, aku tak mampu menghitung-hitung pagi ini. Pikiranku kacaui" Anne menyesal bahwa ia bersama ketiga saudaranya tidak bisa pulang saat itu juga. Bagaimanapun, mulanya Bu Johnson mengira bahwa Anna dan George akan sudah pulang tiga atau empat hari yang lalu. Tapi mereka bukannya pulang, malah Dick dan Julian kemudian datang menggabungkan diri , Anne bergegas mendatangi Julian. Julian pasti tahu apa yang sebaiknya dikerjakan. Abangnya itu ditemukannya sedang sibuk mengengkut jerami bersama Dick. "He, Julian - dengar sebentar , Aku ingin bicara denganmu," kata Anne. Julian menjatuhkan berkas jerami yang sedang dipanggulnya ke tanah, lalu berpaling memandang Anne. "Ada apa?" katanya. "Kan bukan George dan Henry yang mulai bertengkar lagi? Kalau itu yang hendak kauceritakan, aku tak mau mendengar. "Bukan, bukan soal itu," kata Anne. "Urusannya mengenai Bu Johnson, ia secara tiba-tiba akan kedatangan tamu empat anak lagi, sebelum anak-anak yang lain pergi. Bu Johnson sekarang sedang bingung. Aku lantas berpikir, apakah kita tidak bisa membantu. Soalnya, dia kan tidak memperhitungkan bahwa kita berempat ada di sini minggu ini." "Memang, betul juga katamu," kata Julian, sambil duduk di atas jerami. "Sebentar - aku ingin berpikir dulu." "Itu kan soal gampangi" kata Dick. "Kita membawa tenda, makanan lalu pergi berkemah ke tengah padang, dekat salah satu mata air yang ada di situ. Apalagi yang lebih mengasyikkan daripada itu?" "O ya ," kata Anna dengan mata barsinar-sinar. "Aduh Dick, hebat sekali idemu itu i Kita semua takkan merepotkan Bu Johnson, sedang kita sendiri bisa bersenang-senang ," "Ini dia yang namanya 'Sambil manyelam minum air'," kata Julian. "Kebetulan kami membawa dua buah tenda dalam tas, Anne. Memang ukurannya kecil sekali, tapi lumayanlah untuk kita berempat. Kita bisa meminjam hamparan karet untuk digelar di atas rumput, meskipun di sana kering sekali saat ini ," "Akan kuceritakan pada George ," kata Anne bergembira. "Yuk kita berangkat hari ini juga, Julian - supaya tidak mengganggu persiapan Bu Johnson sebelum anak-anak baru itu datang. Kapten Johnson juga akan menerima kiriman dua ekor kuda baru. Dia pasti senang sekali, apabila berkurang beberapa anak-anak yang bisa mengganggu kesibukannya ," Setelah Anne bergegas mencari George. Ternyata saudara sepupunya itu sedang sibuk memoles tali kekang kuda. George menyenangi pekerjaan itu. Sambil menggosok, didengarnya laporan Anne yang diceritakan dengan bergairah. Henry juga ada di situ, duduk dengan tampang suram. Mukanya nampak semakin gelap, ketika Anne selesai bercerita. "Benar-benar sayang," kata Henry kemudian. "Sebetulnya aku bisa ikut dengan kalian, jika tidak terhalang kedue saudara perempuan nenekku. Kenapa mereka harus datang justru pada saat ini? Menjengkelkan tidak, menurut pendapat kalian?" Baik Anne maupun Gaorge dalam hati mereka sama sekali tak menganggap hal itu menjengkelkan. Diam-diam mereka malah senang, karena membayangkan akan bisa lagi bepergian sendiri bersama Timmy. Persis seperti sudah sering mereka lakukan sebelumnya. Dan jika kedua saudara nenek Henry tidak menulis surat pada saat baik itu, mereka tentu saja akan terpaksa mengajak anak itu , George tidak mau memamerkan kegembiraannya, karena akan berkemah di Rawa Rahasia. Bersama Anne, ia menghibur Henry yang sedang sedih. Setelah itu ia mendatangi Bu Johnson, untuk mengatur persiapan. "Wah, bagus sekali gagasan Dick, kata Bu Johnson senang. Dengan begitu berbagai persoalan bisa dipecahkan secara sekaligus. Dan aku tahu, kalian tidak berkeberatan. Kalian tentu bergairah, mendapat kesempatan ini. Aku cuma menginginkan agar Henry bisa ikut. Tapi tidak, ia harus pergi dengan kedua saudara neneknya. Kedua orang tua itu sangat sayang pada Henry!" "Tentu saja ia harus ke sana," kata George bersungguh-sungguh, ia dan Anne saling berpandangan sebentar. Kasihan si Henry, Tapi sungguh, akan sangat menyenangkan rasanya apabila bisa pergi sendiri tanpa anak itu untuk beberapa waktu. Kemudian semua menjadi sibuk. Dick dan Julian membongkar bawaan mereka, untuk memeriksa apa-apa saja yang ada di dalam. Bu Johnson mengambilkan hamparan karet serta selimut-selimut tua dari salah satu tempat simpanan. Bu Johnson paling hebat, kalau diminta mencarikan barang-barang seperti itu , William ingin ikut dengan mereka, untuk menolong mengangkat barang-barang. Tapi tak ada yang menginginkan bantuannya. Julian serta saudara-saudaranya ingin pergi sendiri. Hanya Lima Sekawan saja, tanpa disertai orang lain, Timmy ikut-ikut sibuk, walau cuma dalam bentuk ekornya saja yang mengibas kian-ke mari. "Banyak betul bawaan kalian," kata Bu Johnson, ia kelihatan agak sangsi. "Untung cuaca diramalkan akan cerah. Coba kalau tidak, kalian akan terpaksa membawa jas hujan. Tapi jangan terlalu jauh masuk ke padang, ya? Jadi kalau ada yang lupa, kalian bisa dengan mudah kembali ke sini. Atau juga jika kalian memerlukan tambahan makanan." Akhirnya mereka siap berangkat. Mereka mencari Henry untuk mengucapkan selamat tinggal pada anak itu. Henry menatap mereka dengan sedih, ia sudah berganti pakaian. Kini memakai setelan rok dan mantel pesiar. Kelihatannya jadi lain sekali sekarang. Tampangnya suram. "Kalian akan pergi ke padang sebelah mana?" tanyanya penuh ingin tahu. "Ke rel?" "Ya, begitulah niat kami," jawab Julian. "Kami i -Ingin melihat ke mana tujuannya. Mudah sekali mengikutinya, karena lurus terus. Kalau kami berjalan menyusurnya, takkan mungkin tersesat ," "Selamat bersenang-senang, Henry," kata George sambil nyengir. "Apakah kedua saudara nenekmu Itu memanggilmu dengan nama Henrietta?" "Betul," kata Henry sambil memasang sarung tangan. "Nah, sampai jumpa lagi. Jangan terlalu lama pergi, ya , Untung saja kalian ini anak-anak rakus. Dalam beberapa hari lagi kalian pasti harus kembali, untuk mengambil bekal makanan tambahan ," Anak-anak nyengir, lalu berangkat. Mereka menuju ke tengah padang. Maksud mereka hendak mengambil jalan memotong, lalu di tengah jalan baru menyusur rel yang berpangkal dari Milling Green. "Nah, kita berangkat sekarang," kata George puas. "Dan tanpa Henry, pengoceh itu." Ah dia sebenarnya lumayan," kata Dick. "Tapi walau begitu, enak rasanya bepergian sendiri. Hanya kita Lima Sekawan saja ," Bab 12 Jalur Kereta Hari itu panas sekali. Sebelum berangkat, kelima anak itu makan siang terlebih dulu. Menurut Bu Johnson, lebih gampang membawa makanan dalam perut, daripada harus menjinjingnya! Anak-anak berangkat ke arah alur rel. Setidak-tidaknya, menurut mereka mudah-mudahan saja arah yang mereka pilih benar. Agak lama juga mereka baru berhasil menemukannya, karena tertutup tumbuhan rumput liar dan samak. Julian bersyukur, karena berhasil menemukannya, ia tidak ingin harus berjalan dulu sampai ke Milling Green untuk menemukan awal rel itu, dan setelah itu baru berjalan kembali. Anne yang menemukannya, secara tidak sengaja, ia tersandung ke batangan besi yang membujur. "Wah, ini dia," katanya. "Kakiku tersandung rel berkarat. Lihatlah - nyaris saja tidak kelihatan" "Bagus," kata Julian, lalu melangkah ke antara dua alur rel tua yang sudah berkarat. Di beberapa tempat rel itu terputus, karena habis dimakan karat. Di beberapa tempat lagi, rumput tumbuh tinggi menimbunnya. Jika anak-anak tidak tahu bahwa mereka harus berjalan lurus terus, pasti mereka saat itu sudah tersesat. Kadang-kadang mereka terpaksa mengais-ngais di tengah rumput berusaha mencari rel. Hari itu panas sekait. Beban yang dibawa terasa menekan bahu. Biskuit si Timmy, yang disuruh bawa sendiri olehnya, mulai merosot dari tempatnya di punggung. Akhirnya tergantung di bawah perutnya. Timmy jengkel dibuatnya. Tiba-tiba George melihat Timmy duduk, sambil berusaha membuka bungkusannya dengan gigi. George menggeletakkan bawaannya ke tanah, lalu membetulkan letak bungkusan yang dibawa Timmy. Bawaanmu takkan tergeser, jika kau tidak selalu sibuk mengejar kelinci sehingga barang itu terombang-ambing," katanya. "Nah, sekarang sudah beres lagi, Tim. Berjalanlah dengan rapi - pasti takkan merosot lagi." Anak-anak terus menyusur rel kereta. Kadang-kadang alurnya tiba-tiba membelok, mengitari sebongkah cadas besar. Kemudian tanah yang mereka lalui mulai berpasir. Rumput liar tidak tumbuh selebat sebelumnya. Ral jadi lebih mudah dilihat, meski di beberapa tempat lenyap tertimbun pasir. "Aku harus istirahat sebentar," kata Anne, lalu duduk di atas segumpal rumput. "Napasku sudah sengal sengal ingin rasanya menjulurkan lidah seperti Timmy," "Aku ingin tahu, sampai sejauh mana rel ini," kata Dick. "Dasar di sini sudah begitu berpasir. Mestinya kita sudah dekat ke tempat penggaliannya ," Anak-anak merebahkan diri ke rumput. Mereka merasa mengantuk sekali. Julian menguap, lalu duduk lagi. "Wah, gawat nih ," katanya. "Jika kita sampai tertidur, nanti kita bisa tidak mau berangkat lagi membawa barang-barang kita yang berat. Ayo bangun, para pemalas ," Anak-anak lantas bangun lagi. Bungkus biskuit yang dibawa Timmy sudah menggeleser lagi sampai ke perutnya. George terpaksa membetulkan letaknya kembali. Timmy berdiri diam dengen lidah terjulur ke luar. Menurut perasaannya, membawa biskuit cuma merepotkan saja. Lebih gampang memakannya , Pasir yang mereka lalui semakin menebal. Akhirnya mereka melihat bidang-bidang pasir yang sama sekali tak ditumbuhi semak maupun belukar Angin membawa pasir beterbangan ke udara. Kelima anak itu terpaksa memicingkan mata, supaya jangan sampai kelilipan. He Rel berakhir di sini," kata Julian, sambil menghentikan langkah. "Lihatlah - di situ kelihatan terbongkar dari bantalannya. Kepala kereta takkan bisa melanjutkan perjalanan lewat dari sini ," "Mungkin di depan tersambung lagi," kata Dick, ia pergi memeriksa ka depan. Tapi ia tidak menemukan sambungan rel. ia lantas kembali, maneliti rel yang terputus, "Aneh," katanya, "kita kan belum sampai di tempat penggalian , Tadinya kusangka alur rel ini akan menuju sampai ke tempat itu. Di sana pasir dimasukkan ke dalam gerbong, dan setelah itu iring-iringan gerbong ditarik kepala kereta kembali ke Mil ing Green. Jadi di mana tempat penggalian itu? Apa sebabnya rel terputus dengan tiba-tiba di sini?" "Betul - mestinya tempat penggalian itu ada di dekat-dekat sini." kata Julian. "Ah, mestinya masih ada sambungan rel ini di salah satu tempat. Alur yang menuju ke tempat penggalian. Tapi lebih baik kita cari dulu tempat itu. Mestinya bisa dilihat dengan gampang" Tapi ternyata tempat penggalian itu tidak begitu mudah ditemukan. Tempatnya tersembunyi di balik semak belukar yang tumbuh tebal dan tinggi. Dick yang menemukannya. Ketika ia mengitari sekelompok semak, tiba-tiba ia berhenti. Di balik semak itu ada sebuah parit berpasir yang dalam. Parit itu digali, untuk mengambil pasirnya yang bermutu baik. "Ini dia tempatnyal" seru Dick. "Ke marilah - lihat sendiri , Astaga, mestinya waktu itu mereka sibuk sekali menggali pasir. Pasti sudah berton-ton yang diambil dari sini ," Anak-anak datang melihat. Parit itu ternyata memang besar sekali. Lebar dan dalam. Anak-anak meletakkan bawaan mereka di tepi parit sebelah atas, lalu melompat ke dalam. Kaki mereka terbenam dalam pasir halus. 'Tepinya bolong-bolong," kata Dick. "Mestinya pada bulan Mei ada beratus-ratus sarang burung layang-layang gurun di sini ," "Eh, bahkan ada pula beberapa gua," kata George heran. "Gua pasir, Nah, jika hujan turun, kita bisa mudah mencari tempat berteduh sekarang. Beberapa gua ini nampaknya cukup jauh juga menjorok ke dalam" "Ya. Tapi aku agak ngeri kalau pasir runtuh dan menimbun diriku, jika aku merangkak ke dalam," kata Anne. "Lihatlah, pasir di sini longgari" ia mengetukkan tangan ke sisi gua. "Aku berhasil menemukan sambungan rel" terdengar tiba-tiba Julian berseru. "Ini, lihatlah , Nyaris tertimbun sama sekali oleh pasir. Tadi terinjak secara tak sengaja. Sudah rapuh sekali, sehingga langsung remuk ," Anak-anak langsung datang melihat. Timmy juga datang, ia menyenangi tempat itu. Pasti akan asyik di situ, karena banyak iiang kelinci. "Yuk, kita susuri rel ini," kata Julian. Mereka lantas menyingkirkan pasir yang menutupi rel dengan kaki. Lalu dengan langkah pelan mengikuti jalur rel itu, keluar dari parit. Menuju ujung rel yang terputus di atas. Sekitar sepuluh meter dari tempat itu, rel yang mereka ikuti kelihatan direnggutkan dengan paksa. Ada yang tercampak ke semak yang berdekatan. Nampak potongan-potongan rel itu, bengkok dan berkarat. Anak-anak tertegun menatap potongan-potongan besi berkarat itu. "Kurasa kaum kelana yang melakukannya dulu, ketika keluarga Bartle masih ada di sini," kata Oick. "Mungkin pada hari mereka mengadakan penyerangan. He, Onggokan apa yang di sana itu? Itu, yang ditumbuhi belukar!" Anak-anak lantas mendatangi tempat itu. Timmy juga melihat onggokan yang dimaksudkan oleh Dick ia tidak tahu, benda apa itu. Karenanya ia menggeram geram Julian memungut sepotong besi rel, lalu memakainya untuk mendorong semak yang tumbuh di atas onggokan besar itu. "Kalian lihat benda apa itu?" katanya kaget. Saudara-saudaranya ikut tercengang. "Eh, itu kan kepala kereta , Lokomotif kecil yang diceritakan Pak Ben pada kita ," kata Dick. "Rupanya waktu itu meluncur terus melewati rel yang patah, lalu terguling di sini. Kemudian semak belukar ini tumbuh di atasnya selama bertahun-tahun, sampai akhirnya tertimbun sama sekali." Julian mendorong semak belukar agak lebih jauh lagi ke samping. "Bentuknya kuno ," katanya. "Lihat saja cerobongnya, serta ketelnya yang gendut. Dan itu tempat masinis. Kecil sekali , Mestinya tenaga kepala kereta ini tidak begitu besar. Hanya cukup untuk berjalan pelan, sambil menarik beberapa gerbong saja." "Apa yang terjadi dengan gerbong gerbongnya? kata Anne ingin tahu. "Yah, gerbong-gerbong itu cukup mudah didirikan kembali dan diletakkan ke rel, lalu setelah itu didorong ke Milling Green," kata Dick. "Tapi mesin ini tidak bisa diangkat, kecuali dengan bantuan tenaga mesin. Biar selusin orang pun, takkan bisa mengangkatnya kembali ke rel" "Para kelana rupanya menyerang keluarga Bartle dalam kabut," kata Julian. "Mula-mula rel dirusak, supaya lokomotif tergelincir dan terguling. Mungkin pula dipergunakan potongan-potongan rel, untuk dipakai menyerang. Pokoknya para kelana yang menang dalam pertarungan, karena tak seorang pun dari keluarga Bartle yang pernah muncul kembali." "Lalu rupanya sejumlah penduduk desa ke mari untuk melihat apa yang terjadi dengan mereka. Penduduk desa itu yang mengembalikan gerbong-gerbong ke rel serta mendorongnya kembali ke Milling Green," kata George. 'Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa dengan mesin ini." "Ya. mestinya begitulah kejadiannya dulu," kata Julian. "Wah, mestinya para pemuda Bartle kaget sekali ketika melihat para kelana menyelinap kayak bayangan, hendak menyergap mereka di tengah kabut ," "Hih, mudah-mudahan saja kita tidak mimpi mengenainya nanti malam," kata Anne seram. Kemudian meraka kembali ke dalam parit. "Lumayan juga tempat ini untuk perkemahan kita," kata Dick. "Pasir di sini kering dan empuk, bisa kita jadikan tempat berbaring yang enak. Kita juga tak perlu memasang tenda, karena kedua sisi parit melindungi kita dari gangguan angin." "Ya, di sini saja kita berkemah," kata Anne senang. "Cukup banyak lubang yang bisa kita pakai untuk menaruh barang-barang kita." "Bagaimana dengan air?" tanya George. "Sebaiknya kan kita berada dekat air? Cari air. Tim, Minum, Tim - minum , Kau tidak haus? Lidahmu sudah begitu panjang terjulur" Timmy memiringkan kepala,, ketika diajak bicara oleh George. Air? Minum? Timmy- mengenal arti kedua perkataan itu. ia lari pergi sambil mencium-cium udara, diperhatikan oleh George. Timmy menghilang di balik suatu semak. Setelah kurang lebih setengah menit, muncul lagi. George berseru senang. "Timmy menemukan airi Lihatlah - moncongnya basah. Di mana ada air. Tim? Sambil mengibaskan ekor, Timmy lari lagi ke balik semak, diikuti anak-anak. Timmy menuju ke sebidang tanah berlumut, ia berhenti di situ. Di tempat itu ada mata air yang mengucur seperti pancuran kecil, berkilauan kena cahaya matahari. Air yang mengucur itu jatuh ke saluran yang dibuat olehnya sendiri di pasir, mengalir sajauh beberapa meter lalu menghilang kembali ke dalam tanah. "Terima kasih. Tim," kata George. "Bisakah air di sini diminum, Julian?" "Nah, kulihat air yang bisa kita minum ," kata Julian, sambil menunjuk ke kanan. "Keluarga Bartle rupanya memasang pipa ke tebing situ - lihatlah , dan menemukan mata air lain, yang lebih besar. Dan airnya sangat jernih. Bagi kita sudah mencukupi." "Bagus" kata Anne senang. "Jaraknya dekat sekali ke parit pasir. Dan airnya sedingin es. Cobalah rasakan ," Anak-anak mengulurkan tangan untuk merasakan, lalu meraup air itu untuk diminum. Wah, enaki Dingin dan jernih. Mestinya padang ini penuh dengan mata air yang mengucur dari bawah tanah. Pantas di sana sini nampak bidang-bidang tanah yang menghijau. "Sekarang kita duduk dulu, sambil makan," kata Anne, sambil membuka bungkusan bawaannya. "Hawa panas sekali, sehingga perut tidak lapar rasanya." "Mungkin cuma kau sendiri yang begitu," kata Dick membantah. Anak-anak duduk dalam parit pasir yang hangat disinari cahaya matahari. "Jauh dari siapa-siapa ," kata Anne senang. "Tak ada orang lain di dekat kita, sampai bermil-mil" Ucapannya itu sebenarnya tidak benar. Saat itu ada orang di dekat mereka. Jauh lebih dekat daripada yang disangka. Bab 13 Bunyi Aneh Di Tengah Malam Timmy yang pertama-tama tahu bahwa ada orang lain di dekat mereka. Anjing itu menegakkan telinga, mendengar dengan seksama. George melihatnya berbuat begitu. "Ada apa. Tim?" katanya. "Kan tidak ada orang ke mari?" Timmy menggeram lirih. Seakan-akan ia sendiri tidak yakin. Kemudian meloncat bangun, lalu lari ke luar parit sambil mengibas-ngibaskan ekor. "Ke mana si Timmy?" kata George heran. "Astaga, sudah kembali lagi sekarang ," Timmy muncul lagi, bersama seekor anjing yang mirip gumpalan wol - ya, anjing itu datang bersama Liz , Liz tidak tahu pasti apakah anak-anak senang melihat kedatangannya. Karenanya ia datang me rangkak-rangkak. Kelihatannya semakin mirip gumpalan wol yang bergerak-gerak , Timmy melompat-lompat kesenangan, mengelilingi Liz. Begitu senangnya, seakan-akan anjing kecil itu sahabat karibnya. George menepuk-nepuk anjing kecil yang kocak itu. Tapi Julian nampak agak termenung. "Mudah-mudahan ini tidak berarti kita berada di dekat perkemahan kaum kelana," katanya. "Mungkin saja alur rel berakhir dekat tempat itu. Aku agak lupa arah sekarang." 'Astaga, mudah-mudahan saja kita tidak berada di dekat perkemahan mereka," kata Anne cemas. "Para kelana pada jaman dulu itu, mestinya mereka berkemah di dekat parit tempat keluarga Bartle menggali pasir sebelum melakukan serangan. Jadi mungkin saja perkemahan yang sekarang juga ada di dekat dekat sini." "Tapi peduli amat?" kata Dick. "Siapa takut pada mereka? Aku tidak ," Anak-anak semuanya duduk sambil merenung. Liz menjilat-jilat tangan Anne. Dalam suasana sunyi itu, mereka mendengar bunyi yang mereka kenal baik. Terdengar suara seseorang menyedot ingus. "si Ingus" seru George. "Sudah, jangan bersembunyi lagi , Keluarlah , Aku bisa mendengarmu ," Sepasang kaki menjulur keluar dari serumpun semak di tepi parit. Kemudian tubuh si Ingus yang kecil tapi ulet meluncur turun ke pasir. Anak itu duduk di situ sambil nyengir ke arah mereka, ia masih agak segan mendekat, karena takut anak-anak akan marah. "Apa yang kaulakukan di sini?" kata Dick. "Mudah-mudahan saja bukan hendak mengintai kami." "Tidak," jawab si Ingus. "Perkemahan kami tidak jauh dari sini. Kurasa Liz tadi mendengar kalian, lalu lari ke sini. Aku menyusulnya." "Sialan ," umpat George. "Kami sudah berharap-harap, semoga tidak ada orang lain di dekat sini. Adakah orang di kemah kalian yang tahu kami ada di sini?" "Belum," kata si Ingus. "Tapi mereka pasti akan mengetahuinya juga. Mereka selalu bisa tahu. Tapi aku takkan menceritakannya, jika kalian tak mau aku melakukannya." Dick memberikan sepotong biskuit pada si Ingus. "Nah, usahakan agar kau bisa tutup mulut," katanya. "Kami tidak mencampuri urusan orang lain, dan kami tidak ingin dicampuri orang lain. Mengerti?" si Ingus mengangguk. Tiba-tiba ia merogoh kantong, lalu mengeluarkan sapu tangan bersetrip-setrip putih dan merah, yang diberikan George padanya. Sapu tangan itu masih bersih, terlipat rapi. "Belum kotori" katanya pada George. "Sebetulnya malah harus kotor," kata George. "Gunanya kan untuk mengelap ingusmu. Jangan pakai lengan kemejamu ," Tapi si Ingus tetap tidak bisa mengerti, apa sebabnya ia harus memakai sapu tangan yang bagus dan bersih, kalau ada lengan baju yang kotor. Dengan hati-hati dimasukkannya benda itu kembali ke dalam kantong. Sementara itu anak-anak mengemasi barang-barang mereka, disimpan di tempat aman. Mereka tidak mau meninggalkan barang-barang itu berserakan, karena ada si Ingus. Lagipula di dekat situ ada perkemahan kaum kelana , "Sekarang pergilah, Ingus," kata Julian. "Dan ,-ngat, jangan mengintai kami , Jika kau mendekat, Timmy akan langsung tahu - lalu kau akan dikejarnya. Jika hendak mendatangi kami, kau harus bersuit apabila sudah dekat. Jangan menyelinap ke sini. Mengerti?" "Ya," kata si Ingus sambil berdiri. Diambilnya sapu tangannya lagi dari dalam kantong, dilambaikannya ke arah George, lalu menghilang dengan diikuti oleh Liz. "Aku ingin memeriksa sebentar, berapa dekat sebetulnya kita dari perkemahan kaum kelana," kata Julian, ia menuju ke ujung parit, lalu naik ke padang. ia memandang ke arah si Ingus menghilang. Ya, sekitar seperempat mil dari situ nampak bukit, di balik mana para kelana menaruh caravan-caravan mereka. Julian mengumpat pelan. Tapi jarak yang memisahkan, masih lumayan jauhnya. Ada kemungkinan para kelana takkan mengetahui kehadiran mereka di situ. Kecuali secara kebetulan. "Atau jika si Ingus membuka mulut," pikir Julian. "Yah, pokoknya kita tidur semalam ini di sini. Lalu besok jika rasanya kepingin, kita bisa saja pindah ke tempat lain." Petang itu mereka belum merasa capek. Mereka bermain bola dalam parit pasir. Timmy ikut main dengan bersemangat. Tapi ia selaiu berhasil merebut bola. Karena itu ia lantas diikat, supaya anak-anak bisa bermain dengan tenang. Timmy sangat kesal, ia merajuk, membelakangi anak-anak, tak mau melihat mereka bermain. "Sekarang dia kelihatannya kayak dirimu, George," kata Dick sambil nyengir. Detik berikutnya, kepalanya ditimpuk dengan bola oleh George , Malam itu anak-anak tidak begitu berselera makan. Julian membawa botol kaieng ke mata air, lalu mengisinya untuk air minum mereka. Enak rasanya air yang mengucur dari sumber yang meng-gelembung-gelembung itu , "Ingin tahu rasanya, bagaimana keadaan Henry sekarang," kata Anne. "Mestinya dimanjakan setengah mati oleh saudara-saudara neneknya. Aneh ya tampangnya tadi, mengenakan pakaian yang benari Lengkap dengan sarung tangan segala." "Ya, mestinya ia itu dilahirkan menjadi anak laki-laki," kata Dick. 'Persis kayak dirimu juga, George," tambahnya cepat-cepat, sebelum anak itu sempat tersinggung. "Kalian berdua sama-sama jantan dan berani." "Bagaimana kau bisa tahu Henry berani?" kata George dengan sikap meremehkan. "Itu kan cuma ocehannya saja! Pasti semua cuma dibuat-buat dan ditambah-tambah olehnya sendiri." Julian cepat-cepat menukar pokok pembicaraan "Bagaimana, apakah malam ini kita akan memerlukan selimut atau tidak?" katanya. "Tentu saja ," jawab Anne. "Sekarang memang masih panas, dan pasir hangat kena sinar matahari, tapi jika matahari sudah terbenam nanti hawa pasti tidak begitu enak lagi. Lagipula jika kita sampai kedinginan nanti, kita bisa menyusup ke dalam salah satu gua yang ada di sisi parit ini. Di situ hangat , Aku tahu, karena aku sudah masuk ke dalamnya." Malam itu mereka lekas tidur. Dick dan Julian mengambil tempat berbaring di satu sisi parit, sedang George dan Anne di sisi yang satu lagi. Timmy seperti biasa berbaring di kaki George. Anne merasa tidak enak karenanya. "ia juga berbaring di atas kakiku," keluhnya pada George. "Tubuhnya panjang sekali, sehingga kakiku ikut tertindih olehnya. Geser dia ke sana sedikit, George." George menuruti keinginan Anne. Tapi begitu Anne te lelap Timmy menjulurkan tubuhnya lagi dan berbaring di kaki kedua anak itu. Timmy tidur, tapi satu telinganya tetap terbuka. Didengarnya bunyi landak yang berlari-lari. ia mendengar ke nc -kelinci yang keluar di lapangan, untuk bermain-main dalam gelap, ia mendengar kodok-kodok beradu nyanyi dalam sebuah kolam yang jauh tempatnya dari situ. Pendengarannya yang tajam bahkan mendengar geleguk air yang mengucur dari sumber di luar parit. Tak ada yang bergerak dalam parit itu sendiri. Di langit nampak bulan sabit. Cahayanya pudar. Bintang-bintang yang memenuhi langit, kelihatannya bercahaya lebih terang daripada bulan yang masih muda. Tiba-tiba telinga Timmy menegak, disusul telinga yang satu lagi. Timmy masih tidur. Tapi kedua telinganya mendengarkan dengan sangat seksamai Suatu bunyi mendengung pelan terdengar di kejauhan, tapi makin lama makin mendekat. Timmy kini terbangun, ia duduk, mendengarkan dengan penuh perhatian. Matanya terbuka lebar. Bunyi itu sekarang sudah terdengar nyaring. Dick terbangun karenanya. Bunyi apakah itu? Pesawat terbang? Mestinya terbang sangat rendahi Jangan-jangan hendak mendarat di padang. Tapi tak mungkin - karena malam itu gelap. Dibangunkannya Julian. Keduanya bangkit, lalu keluar dari parit. "Memang pesawat terbang," kata Dick dengan suara pelan. "Mau apa pesawat itu di sini? Kelihatannya bukan hendak mendarat. Sudah dua atau tiga kali terbang berputar-putar." "Mungkin sedang mengalami kesulitan," kata Julian. "Nah, itu dia datang lagi." "Lihatlah," ujar Dick dengan tiba-tiba. "Cahaya apa yang di sana itu? Itu, semacam sinar. Tempatnya tak begitu jauh dari perkemahan kaum kelana." "Entahlah," kata Julian bingung. "Kelihatannya bukan nyala api. Kalau nyala api, tidak begitu rupanya. Aku tidak melihat lidah api yang bergerak-gerak." "Mungkin semacam cahaya pandu pesawat terbang," kata Dick. "Pesawat itu nampaknya terbang berputar-putar, mengelilingi nyala itu." Keduanya memperhatikan gerak-gerik pesawat itu. Memang, kelihatannya mengelilingi nyala yang entah apa. Kemudian secara tiba-tiba menanjak, terbang berkeliling sekali lagi lalu menuju ke timur. "Sekarang dia pergi," kata Dick sambil memicingkan mata. "Aku tidak bisa mengenali jenisnya. Tapi yang pasti, ukurannya sangat kecil." "Apa yang dilakukannya tadi di sana?" kata Julian bingung. "Kusangka nyala itu merupakan petunjuk baginya untuk mendarat. Walau aku tak tahu, apakah pesawat itu bisa mendarat. Cuma berputar-putar saja lalu pergi lagi." "Datangnya dari mana ya?" tanya Dick. "Kukira dari arah pesisir - atau mungkin dari seberang laut?" "Mana aku tahu?" tukas Julian. "Dan apa urusan kaum kelana dengan pesawat itu? Susah menemukan hubungan antara pesawat terbang dengan kaum kelana ," "Ah, kita kan tidak tahu apakah memang ada hubungan antara keduanya, kecuali bahwa kita melihat sinar di sana," kata Dick. "Nah, lihatlah - sekarang nyala itu padam." Sementara kedua anak laki-laki itu memperhatikan, nyala yang semula terang akhirnya padam sama sekali. Padang belantara kembali diselubungi kegelapan. "Aneh," kata Julian sambil menggaruk-garuk kepala. "Aku tidak bisa mengerti. Memang, mungkin saja para kelana itu sedang merencanakan sesuatu. Itu kalau melihat cara mereka menyelinap-nyelinap datang ke sini - nampaknya tanpa ada tujuan tertentu. Dan mereka juga tak menghendaki kita berkeliaran di dekat-dekat mereka. Itu sudah jelas." "Kurasa ada baiknya kita menyelidiki nyala apa itu tadi," kata Dick. "Bisa saja kita melakukannya besok. Atau bisa pula kita tanyakan pada si Ingus." "Mungkin saja," kata Julian. "Pokoknya kita coba saja. Yuk, kita kembali saja ke tempat kita. Di sini dingini" Sesampai di parit yang terasa hangat, anak-anak perempuan ternyata masih tidur lelap. Mereka tidak dibangunkan Timmy. Anjing Itu juga sama herannya seperti Julian dan Dick melihat dan mendengar pesawat terbang yang berputar-putar. Tapi ia sama sekali tidak menggonggong. Jika ia menggonggong, suaranya bisa terdengar di perkemahan kaum kelana, sehingga ketahuan bahwa di dekat situ ada orang. Dick dan Julian menyusup kembali ke bawah selimut. Mereka berbaring saling merapatkan diri, supaya hangat. Beberapa menit kemudian keduanya sudah pulas. Paginya Timmy bangun paling dulu. ia menggeliat, menikmati sinar matahari hangat. Seketika itu juga Anne terbangun sambil terpekik. "Aduh, Tim, Nyaris gepeng tubuhku kautindih. Kalau ingin menggeliat di atas orang, lakukan pada George saja ," Kemudian Dick dan Julian bangun. Mereka mencuci muka di mata air, lalu mengisi botol kaleng untuk air minum mereka semua. Sementara itu Anne menyiapkan sarapan. Sambil makan pagi, Dick dan Julian menceritakan pengalaman mereka malam itu. "Aneh" kata Anne. "Dan nyala itu, mestinya semacam sinar pandu untuk pesawat itu. Yuk, kita cari tempatnya. Mestinya merupakan nyala sesuatu ," "Betul," kata Dick. "Kuusutkan kita pergi pagi ini. Tapi Timmy perlu diajak - karena siapa tahu kita berjumpa nanti dengan kaum kelana ," Bab 14 Para Kelana Lagi JULIAN DAN DICK pergi lagi ke tempat mereka berdiri malam sebelumnya. Mereka berusaha mencari, di mana tepatnya posisi sinar yang mereka lihat itu. "Kurasa tempatnya di belakang perkemahan para kelana, agak ke kiri sedikit," kata Julian. "Bagaimana pendapatmu, Dick?" "Ya, kira-kira di situ," kata Dick. "Kita pergi sekarang?" ia lantas menyaringkan suaranya. "Kami pergi, George dan Anne! Kalian ikut? Barang-barang bisa kita tinggal saja di sini dalam gua, karena kita tidak akan pergi lama-lama." George membalas berseru dari dalam parit. "Julian - kaki Timmy sakit, kurasa tercocok duri. Jalannya pincang. Kami ingin di sini saja menemaninya, sambil mencoba mengeluarkan duri itu. Berangkatlah sendiri, tapi hati-hati - jangan sampai terlibat dalam keributan dengan para kelana" "Takkan terjadi," kata Julian. "Kami sama-sama punya hak untuk berada di sini saperti mereka dan itu mereka ketahui pula , Baiklah, kami tinggalkan kalian berdua di sini bersama Timmy. Kalian tidak memerlukan bantuan dengan kakinya itu?" "Tidak perlu," balas George. 'Terima kasih, tapi aku sendiri juga bisa." Dick dan Julian berangkat, meninggalkan Anne dan George yang sibuk mengurusi kaki Timmy. Rupanya anjing itu melompat ke dalam salah satu semak ketika mengejar kelinci. Saat itu kaki depannya sebelah kiri tertusuk duri yang langsung patah. Ujungnya yang runcing tertinggal dalam telapaknya. Pantas saja jalannya pincangi Tidak akan gampang pekerjaan George, berusaha mengeluarkan ujung duri Itu dengan pelan-pelan. Julian dan Dick berjalan merintis padang belantara. Hari itu panas, terlalu panas untuk bulan April. Tak nampak segumpal awan pun di langit yang biru cerah. Kedua anak laki-laki itu kepanasan. Perkemahan kaum kelana, ternyata tidak jauh letaknya. Tak lama kemudian kedua anak itu sudah sampai di dekat bukit yang menjulang di tengah padang yang datar. Caravan-caravan masih berada di kaki bukit yang melindungi. Nampak sekelompok laki-laki duduk bergerombol. Mereka bercakap-cakap dengan sikap serius. "Pasti mereka sedang bicara tentang pesawat terbang yang kemarin malam" kata Dick. "Tentunya mereka yang memasang nyala api itu, untuk menuntun pesawat. Tapi kenapa tidak mendarat, ya?" Kedua anak itu mengitari perkemahan, sambil berjalan di balik semak belukar lebat. Mereka tidak i-Ingin ketahuan para kelana. Anjing-anjing para kelana duduk di dekat kelompok yang sedang berunding. Rupanya binatang-binatang itu tidak melihat Dick dan Julian. Untung saja , Kedua anak itu menuju ke tempat di mana mereka merasa melihat nyala terang kemarin malam. Di belakang perkemahan, dan sedikit ke arah kiri. "Tak ada yang luar biasa di tempat ini," kata Julian, ia berhenti berjalan, lalu memandang berkeli ling "Aku tadi mengharapkan akan melihat tanah haIngus bekas terbakar, atau tanda-tanda seperti begitu." "Tunggu dulu - ada apa di lekukan sebelah sana itu?" kata Dick, ia menunjuk ke suatu arah, di mana tanah nampak agak menurun. "Kelihatannya seperti parit - mirip dengan tempat kita bermalam - tapi kecil, jauh lebih kecil. Kurasa di situlah tempat nyala yang kita lihat itu ," Mereka lantas menuju ke tempat itu. Ternyata memang parit. Tempat itu ditumbuhi semak di bagian atasnya, jauh lebih e selubung daripada tempat mereka. Kelihatannya parit itu sudah lebih lama ditinggalkan penggalinya. Dalamnya lumayan. Di tengah-tengahnya ada sesuatu yang kelihatan asing. Benda apakah itu? Julian dan Dick bergegas menuruni sisi parit, lalu menuju ke tengah-tengahnya. Mereka menatap benda besar yang ada di situ. Benda itu terarah ke langit. "Wah , Lampu - lampu yang sangat kuat cahayanya," kata Dick. "Seperti yang ada di lapangan ter bang, untuk menuntun pesawat-pesawat yang hendak mendarat. Bayangkan, di tempat terpencil begini ada lampu pendarat ," "Dari mana para kelana memperolehnya?" kata Dick bingung. "Dan untuk apa memberi tanda pada pesawat yang tidak mendarat? Walau kelihatannya seperti hendak mendarat, karena terbang begitu ren-r dah sambil berputar-putar." "Mungkin para kelana kemarin malam memberi isyarat agar jangan mendarat, karena tidak aman," kata Julian. "Atau mereka hendak menyampaikan sesuatu pada penerbang pesawat, tapi orang itu belum siap menerimanya." "Yah, soal ini seperti teka-teki," kata Dick. "Aku tak bisa menduga sedikit pun apa sebetulnya yang sedang berlangsung. Tapi bahwa ada sesuatu, itu sudah pastil Yuk, kita memeriksa di sini." Tapi mereka tidak menemukan apa-apa lagi, kecuali bekas orang berjalan ke arah lampu. Ketika mereka sedang mengamat-amati bekas kaki itu, terdengar suara teriakan. Keduanya cepat-cepat berpaling. Seorang kelana berdiri di tepi atas parit. "Apa yang kalian cari di situ?," seru orang itu dengan suara galak. Beberapa laki-laki lagi menggabungkan diri dengannya. Semua memandang ke arah Dick dan Julian yang merangkak naik. Sikap orang orang itu mengancam. Julian memutuskan untuk ber terus-terang saja. "Kami berkemah untuk satu dua malam di par dang," katanya. "Lalu kemarin malam kami men dengar bunyi pesawat terbang melayang rendah sambil berputar-putar. Kami juga melihat nyala yang kelihatannya seperti isyarat penuntun pesawat itu. Karenanya kami ke mari, untuk melihat nyala apa itu. Kalian juga mendengar bunyi pesawat Itu?" "Mungkin kami dengar - tapi mungkin juga tidak," kata kelana yang paling dekat dengan mereka. Orang itu ayah si Ingus. "Lalu kenapa? Pesawat terbang biasa melintas di sini ," "Kami menjumpai lampu itu, yang terang sekali sinarnya," kata Dick, sambil menunjuk ke benda itu. "Kalian tahu-menahu mengenainya?" "Kami tidak tahu," kata ayah si Ingus. "Lampu apa?" "Menurut pendapatku, tidak ditarik pembayaran untuk mengamat amatinya kata Julian "Datang saja ke bawah untuk melihatnya sendiri, jika kalian tidak tahu apa-apa mengenainya. Tapi aku tidak bisa percaya, kalian sama sekali tidak melihat cahayanya kemarin malam , Harus kuakui, parit ini baik sekali sebagai tempat menyembunyikannya." "Kami tak tahu apa-apa tentang lampu," kata seorang kelana lagi, yaitu laki-laki tua yang rambutnya sudah putih. "Ini tempat perkemahan kami yang biasa. Kami tidak mengganggu siapa-siapa - kecuali jika ada yang lebih dulu mengganggu kami. Yang mengganggu kami pasti menyesal setelah itu ," Dick dan Julian langsung teringat pada peristiwa lenyapnya keluarga Bartle. Keduanya merasa tidak enak. "Yah, kami akan pergi sekarang - jadi jangan khawatir," kata Julian. "Seperti kukatakan tadi, kami hanya satu dua malam saja berkemah di sini. Jika kalian tidak menghendakinya, kami takkan datang lagi ke dekat-dekat sini." Saat itu Julian melihat si Ingus datang menyelinap ke belakang para kelana. Anak itu disertai oleh Liz, anjingnya. Entah kenapa, Liz berjalan dengan santai - tegak pada kedua kaki belakang. Si Ingus menarik lengan kemeja ayahnya, minta perhatian. "Mereka tidak jahat," kata si Ingus. "Ayah ingat kan, Clip disembuhkan kakinya yang cedera di istal. Anak-anak ini baiki" Tiba-tiba ayahnya mengayunkan tangan. si Ingus ditempeleng, sehingga jatuh terguling-guling di tanah. Liz segera menghampiri anak itu, lalu menjilati-nya. "He, jangan sakiti anak itu ," seru Julian tersinggung. "Kau tak berhak memukulnya begitu ," si Ingus menjerit, sehingga beberapa wanita datang berlari-lari dari perkemahan, untuk melihat apa yang terjadi. Seorang di antara mereka mulai ribut mengata-ngatai ayah si Ingus, yang langsung membalas. Tak lama kemudian sudah berlangsung pertengkaran ramai antara pihak laki-laki melawan pihak wanita. Seorang wanita mengangkat si Ingus, lalu mengusap kepaianya dengan selembar kain basah. "Yuk, sudah waktunya kita pergi," kata Julian pada Dick. "Para kelana ini semuanya tidak ramah, kecuali si Ingus. Padahal dia tadi hendak menolong kita , Kasihan." Keduanya lantas bergegas pergi. Mereka merasa lega. karena bisa pergi dari kelompok laki-laki beserta anjing-anjing mereka. Keduanya benar-benar bingung. Kata orang-orang itu, mereka tak tahu apa-apa tentang lampu isyarat. Tapi itu tidak mungkin! Hanya seorang kelana saja yang mungkin menyalakannya kemarin malam. Dick dan Julian kembali ke parit tempat mereka berkemah. Mereka menceritakan kejadian yang baru saja mereka alami, pada George dan Anne. "Kita kembali saja ke istal," kata Anne. "Ada sesuatu yang aneh di aini. Nanti tahu-tahu kita sudah terlibat lagi dalam petualangan!" "Kita menginap satu malam lagi di sini," kata Julian. "Aku ingin tahu, apakah pesawat itu datang lagi, atau tidak , Para kelana tidak tahu di mana kita bermalam. Dan si Ingus, meski dia tahu tapi aku merasa yakin ia takkan membuka rahasia. Anak itu tabah, berani berusaha membela kami terhadap ayahnya!" "Baiklah. Kita tetap di sini," kata Goerge. "Aku tidak ingin menyuruh Timmy berjalan jauh hari ini. Kurasa walau sebagian besar sisa duri sudah berhasil kucabut, tapi ia tidak mau mencecahkan kaki ke tanah." "Dia kan jago berlari dengan tiga kaki," kata Dick, sambil memperhatikan Timmy lari hilir-mudik dalam parit seperti biasa sibulk mengendus-endus mencari kelinci. "Bukan main banyaknya lubang yang sudah digali si Timmy dalam parit ini ," kata Julian, ia memandang berkeliling, memperhatikan tempat-tempat di sisi parit yang digali Timmy dalam usahanya memasuki salah satu liang kelinci. "Dia pasti besar sekali gunanya bagi para pemuda Bartle, ketika mereka masih menggali pasir di sini , Kasihan si Timmy - kakimu yang cedera menghalangi kesibukanmu mengais pasir untuk mengejar kelinci ," Timmy lari menghampiri, dengan tiga kaki. Anjing itu menikmati kesibukan anak-anak mengurus dirinya, jika ada sesuatu terjadi dengan dia. Hari itu mereka bermalas-malasan saja. Hari terlalu panas untuk melakukan kegiatan apa pun juga. Mereka pergi ke sumber lalu merendamkan kaki ke dalam aliran air di situ. Sedap sekali rasanya. Sejuk, Setelah itu mereka mendatangi kepala karena yang terguling dalam keadaan setengah terpendam. Mereka melihat-lihat mesin itu. Dick mengais-ngais pasir yang merembes ke dalam kabin masinls. Kemudian semua ikut membantunya. Mereka berhasil membebaskan berbagai tuas yang ada di situ dari timbunan pasir, lalu mencoba menggerak-gerakkan. Tapi tentu saja tidak bisa. "Yuk, kita pergi ke balik semak ini," kata Dick. "Mungkin kita bisa melihat cerobong asapnya lagi. Aduh, sialan duri-duri ini , Sakit badanku tercocok. Si Timmy pintar, tinggal di sana - sama sekali tak mau ikut-ikut memeriksa penyembur asap ini ," Sebelum bisa menilik cerobong dengan seksama, terlebih dulu mereka harus menebas sebagain dari ranting-ranting semak. Setelah cerobong itu terbebas dari semak yang menutupi, anak-anak berseru ksgum. "Lihatlah! Bentuknya panjang, persis cerobong Puffing Billy, Kalian tahu kan - salah satu lokomotif yang pertama-tama diciptakan orang." "Lubangnya penuh dengan pasir," kata Olck. Dicobanya mengeruk pasir ke luar. Untung pasir di situ tidak terlalu padat. Tak lama kemudian ia sudah bi-sah menengok sampai jauh ke dalam. "Bayangkan, dulu masih ada asap mengepul dari lubang cerobong kuno ini," kate Dick. "Sayang barang Ini, tergeletak di sini selama begitu lama - dilupakan orang. Heran, tak ada orang yang mau datang menyelamatkannya!" "Yah, kau tahu sendiri apa kata pandai besi itua itu pada kita," kata George- "Adik perempuan para pemuda Bartle yang ditinggal sendiri waktu itu sudah mengatakan, ia tidak peduli dengan rel, kepala kereta, serta parit pasir ini lagi. Dan sudah jelas, tak ada seorang pun yang bisa mengangkat sendiri barang berat ini." "Aku tak heran, jika ternyata cuma kita satu-satunya yang mengetahui letak lokomotif ini," kata Anne. "Letaknya begitu tersembunyi di bawah pasir dan belukar, sehingga hanya secara kebetulan orang bisa menemukannya ," "Eh - kenapa aku tahu-tahu lapar?" kata Dick, ia berhenti mengikis pasir yang menutupi tubuh kepala kereta. "Bagaimana jika kita makan dulu?" "Bekal kita masih cukup untuk sehari dua lagi," kata Anne. "Tapi sesudah itu kita harus mencari makanan lain. Atau, kembali ke istal ," "Aku harus semalam lagi ada di sini kata Julian. "Aku kepingin melihat, apakah pesawat yang kemarin datang lagi atau tidak," "Setuju, Sekali ini kita semua berjaga-jaga," kata George. "Pasti mengasyikkan , Yuk, kita makan dulu sekarang. Setuju kan, Timmy?" Terang saja Timmy setuju, ia lari cepat-cepat ke dalam parit dengan tiga kaki. Padahal kakinya yang semula tertusuk duri, sebetulnya sudah tak terasa sakit lagi. Timmy memang pintar berpura-pura , Bab 15 Malam Kejutan Sehari itu tak ada kelana yang datang ke dekat tempat mereka. Bahkan si Ingus pun tidak muncul. Petang harinya masih tetap ,ndah. Hawa masih tetap hangat, hampir sepanas siang. "Luar biasa ," kata Dick sambil mendongak menatap langit. "Cuaca bulan April bisa begini bagus Kalau matahari terus bersinar sepanas sekarang, tak lama lagi bunga-bunga lonceng biru pasti akan bermunculan ," Anak-anak berbaring telentang di atas pasir di parit Mereka memperhatikan bintang-bintang kemerlip di atas langit. Langit kelihatan luas sekali, melengkung di atas mereka. Timmy sibuk mengais-ngais pasir. "Kakinya sudah jauh lebih baik sekarang," kata George. "Walau kuperhatikan, sekali-sekali kaki yang cedera itu diangkatnya agak tinggi." "Ya, tapi hanya jika ia ingin kau membujuknya dengan kata-kata, 'Aduh kasihan si Timmy, masih sakit ya,' " kata Dick. "Dia ini memang senang dibujuk-bujuk , Kayak anak kecil saja ," Anak-anak masih bercakap-cakap terus selama beberapa waktu. Kemudian Anne menguap. "Aku tahu, sekarang masih sore - tapi rasanya kepingin tidur," katanya. Dan sesaat kemudian anak-anak sudah berduyun-duyun mendatangi sumber air. Mereka mandi di situ. Bekal handuk cuma satu, tapi itu pun sudah cukup bagi mereka. Setelah mandi, mereka merebahkan diri di atas pembaringan mereka. Di atas pasir tentunya! Moga moga kita bisa bangun nanti jika pesawat itu datang lagi - jika memang datang," kata Julian pada Dick. "Astaga, pasir panas sekail , Pantas Timmy terjulur lidahnya, terengah-engah napasnya kepanasan ," Belum lama mereka, tertidur, Dick bangun lagi dengan tiba-tiba. ia kepanasan , Dick berbaring telentang dengan mata nyalang, memandang bintang-bintang yang berkilauan di langit. Kemudian dipejam-kannya lagi matanya. Tapi percuma - ia tidak bisa tidur lagi. ia lantas duduk. Geraknya hati-hati sekali, karena tidak ingin membangunkan Julian, ia hendak melihat apakah lampu isyarat dinyalakan lagi. Dick pergi ke sisi parit, lalu mendakinya. Sesampai di atas ia meman-dang ke arah perkemahan kaum kelana. Begitu menatap, ia langsung berseru kaget. Ya, lampu isyarat ternyata menyala lagi , Lampunya sendiri tidak nampak, tapi sinarnya sangat terang. Dilihat dari udara, pasti nampak jelas sinar itu. Mungkinkah pesawat kemarin akan datang lagi - mengingat lampu isyarat sudah dinyalakan? Dick memasang telinga, mendengarkan dengan seksama. Ya, di kejauhan terdengar bunyi berdengung pelan. Datangnya dari arah timur. ,tukah pesawat yang datang lagi? Akan mendaratkah pesawat itu? Dan jika mendarat, siapakah yang ada di dalamnya? Dick turun lagi ke dalam parit, lalu membangunkan saudara-saudaranya. Timmy langsung terbangun pula. Ekornya mengibas-ngibas dengan bersemangat. Timmy selalu siap untuk ikut berbuat sesuatu - Juga pada tengah malam. Anne dan George juga bangun. Hati mereka berdebar-debar. "Sudah menyala lagikah lampu itu? He, aku juga bisa mendengar deru mesin pesawatl Wah, ini mengasyikkan , Geroge Timmy kan tidak menggonggong nanti? Jika menggonggong, kita bisa ketahuan ," "Tidak, Aku sudah melarangnya," kata George, "ia takkan berbunyi sedikit pun. Dengarlah - pesawat itu semakin dekat bunyinya ," Memang, bunyi pesawat terbang sudah dekat sekali. Anak-anak lantaa mendongak, mencari car nya di atas. Kemudian Julian menyenggol Dick. "Itu dia - kelihatan samar, di arah letak perkemahan kelana" Dick berhasil menemukan letaknya. "Wah, kecil sekali," katanya. "Lebih kecil daripada-sangkaanku kemarin malam. Lihat - dia turun sekarang ," Tapi- pesawat itu tidak mendarat, cuma terbang rendah saja. Kemudian berputar-putar, persis seperti yang dilakukan kemarin malam. Setelah itu agak menanjak, lalu sekali lagi terbang merendah. Nyaris menyambar kepala anak-anak yang memperhatikan dengan asyik. Saat itu, tiba-tiba terjadi sesuatu yang luar biasa. Ada sesuatu jatuh tak jauh dari Julian. Benda yang jatuh itu terpantul-pantul dulu, kemudian tergeletak di pasir. Keempat anak itu kaget, sementara Timmy mendengking. Setelah itu masih ada lagi yang menyusul, jatuh beruntun-runtun Anne terpekik. "Jangan-jangan mereka membomi kita , Julian, apa yang mereka lakukan?" Buk! Buk! Julian meringkuk ketika terdengar bunyi susul-menyusul itu, karena raaanya dekat sekali. Disambarnya lengan Anne, ditariknya masuk ke dalam parit. Julian berseru, memanggil Dick dan George. "Ayo cepat turun ke sini , Masuk ke dalam salah satu gua , Nanti kita tertimpa ," Sementara mereka melintasi dasar parit, pesawat tadi sekail lagi melingkar rendah, lalu kembali menjatuhkan barang-barang yang bergedebukan di pasir. Sekali itu bahkan ada yang jatuh dalam parit. Timmy kaget sekali, ketika satu di antaranya jatuh tepat di depan hidungnya, lalu menggelundung. Timmy mendengking, lalu lari menyusul George. Tak lama kemudian anak-anak sudah berlindung dalam salah satu gua yang banyak terdapat di sisi parit. Pesawat terbang memutar sekali lagi, dan kembali terdengar barang-barang berjatuhan. Ada beberapa yang masuk ke dalam parit. Mereka mengucap syukur, karena sempat berlindung ke dalam gua. 'Tak terdengar bunyi ledakan," kata Dick lega. "Tapi apakah yang dijatuhkan itu? Dan untuk apa? Ini benar-benar petualangan yang sangat aneh." "Bahkan mungkin kita bermimpi," kata Julian sambil tertawa. "Tidak, mimpi takkan seaneh ini. Bayangkan, kita meringkuk dalam gua pasir di tengah parit Rawa Rahasia. Sementara Itu ada pesawat yang menjatuhkan benda-benda di sekeliling kita, pada tengah malam , Benar-benar gilai" "Rasanya pesawat itu pergi sekarang," kata Dick. 'Terdengar memutar, tapi tak ada yang dijatuhkan. Nah, sekarang menanjak - bunyinya menjauhi Astaga - sewaktu kita masih berdiri di tepi parit tadi, kusangka kepalaku pasti putus disambar pesawat ketika terbang rendah sekali ," "Sangkaanku juga begitu," kata Anne. ia merasa lega. karena tak ada lagi pesawat yang terbang rendah sambil menjatuhkan benda-benda. "Sudah bisakah kita keluar sekarang?" "Ya," kata Julian sambil merangkak ke luar. "Ayolah , Kalau pesawat itu datang lagi, kita pasti mendengarnya. Sekarang aku ingin melihat b3nda bend apa yang dijatuhkan tadi ," Mereka bergegas menghampiri benda-benda itu. Mereka tidak memerlukan senter. Sinar bintang yang kemerlip di langit cukup jelas menerangi parit. Julian yang paling dulu menemukan sesuatu. Benda itu ternyata paket. Bentuknya pipih dan padat. Kemasannya rapi, terbungkus dalam kain terpal. Julian memeriksa paket itu. "Di sini tak tertera nama. Sama sekali tak ada tanda pengenal," katanya. "Ini benar-benar asyik. Coba kita tebak, apa isinya ," "Mudah-mudahan daging asap, untuk sarapan ," kata Anne dengan segera. "Konyoli" tukas Julian. Diambilnya pisau, untuk memotong benang jahitan pembungkus paket itu. "Kurasa isinya barang selundupan. Kurasa itulah yang dilakukan pesawat terbang tadi. Berangkat dari Perancis, menjatuhkan barang-barang selundupan di salah satu tempat yang sudah disepakatkan, lalu kembali lagi , Sedang barang-barang yang dijatuhkan dipungut oleh para kelana, lalu dibawa pergi dengan disembunyikan baik-baik dalam caravan mereka. Kemudian diserahkan pada penadah yang sudah menunggu di salah satu tempat. Memang cerdik akal itu ," "Wah, itukah sebenarnya yang terjadi, Julian?" kata Anne kaget. "Kalau begitu apakah isi paket-paket ini? Rokok luar negeri?" "Bukan," jawab Julian. "Kalau isinya rokok, takkan seberat ini. Nah, berhasil juga aku memutuskan benang jahitannya ," Saudara-saudaranya mendekati, ingin ikut melihat isi paket itu. George mengambil senter, supaya mereka bisa melihat lebih jelas. Senter itu dinyalakan. Julian membuka kain terpal yang merupakan pembungkus sebelah luar. Kemudian menyusul kertas tebal. Kertas itu pun dibuka oleh Julian. Di tangannya kini terletak sebuah kotak kardus, diikat dengan tali. Begitu tali berhasil dibuka,, kotak itu " terjatuh ketanah. "Apa ini?" kata Julian bersemangat. "Seberkas lembaran kertas. Sorotkan sinar sentermu lebih dekat lagi, George ," Sambil membisu, anak-anak menjulurkan leher. Mereka memperhatikan berkas yang ada di tangan Julian. "Huahhl Astagal Kalian lihat ini?" kata Julian kagum. "Uang dolar Amerika - uang kertas , Lihatlah semuanya terdiri dari lembaran uang ratusan , Astaga - satu paket ini saja sudah banyak sekali jumlahnya ," Sementara saudara-saudaranya menatap kagum, Julian menggerakkan ibu jari tangannya seperti hendak menghitung jumlah lembaran uang yang ada di tangannya itu. Berapakah jumlah sebenarnya. "Dalam satu paket saja sudah begini banyak," katanya. "Padahal kita tahu, yang dijatuhkan tadi ber-lusin-lusin paket , Apa sebetulnya yang sedang terjadi di sini?" "Wah, mestinya di sekitar kita saat ini berserakan uang yang nilainya ribuan dolar," kata George. "He - jangan-jangan kita sedang mimpi sekarang!" "Wah, kalau memang mimpi, ini namanya mimpi mewah," kata Dick. "Mimpi yang nilainya ribuan. bukan mimpi biasa! Ju, apakah tidak sebaiknya kita mulai saja memunguti paket-paket itu?" "Ya, betul," kata Julian. "Sekarang aku mulai mengerti duduk perkara sebenarnya. Para penyelundup datang dengan pesawat terbang dari salah satu negara lain - katakanlah Perancis - setelah sebelumnya menyepakatkan akan menjatuhkan paket-paket uang di salah satu tempat terpencil di tengah padang belantara ini. Kaum kelana turut dalam kom piotan mereka. Tugas mereka memasang lampu isyarat, serta memungut paket-paket yang dijatuhkan." "O, begitu , Dan kemudian, dengan paket-paket Itu mereka meninggalkan tempat ini untuk mengantarkannya pada seseorang, yang membayar upah jerih payah mereka," kata Dick. "Benar-benar pintar akal itu!" "Ya, begitulah kira-kira," kata Julian. "Tapi yang tak bisa kumengerti, untuk apa uang kertas dolar diselundupkan ke sini? Kan bisa bebas dibawa masuk ke ,Inggris?" "Mungkin uang curian?" kata George. "Ah, aku toh tidak bisa mengerti! Macam-macam saja perbuatan orang. Pantas para kelana tidak menghendaki kita ada di dekat mereka ," "Kita cepat-cepat mengumpulkan semua paket itu, lalu kita bawa kembali ke istal," kata Julian, sambil mulai memungut paket yang ada di dekatnya. "Para kelana sebentar lagi pasti akan detang untuk memungutnya. Sebelum itu, kita sudah harus pergi dari sini ," Jumlah paket ada sekitar enam puluh. Berat juga bawaan itu. "Kita sembunyikan saja di salah satu tempat yang aman," kata Julian. 'Bagaimana jika dimasukkan dalam salah satu gua di sini? Kurasa kita takkan mampu mengangkut semuanya sekaligus ," "Bisa saja kita taruh dalam selimut. Lalu salimut kita ikat ujung-ujungnya, dan dengan begitu kita mengangkutnya," usul George. "Besar risikonya, jika kita tinggalkan dalam parit. Para kelana, pasti mula-mula akan mencari di sini." "Baiklah, kita ikuti gagasanmu kata Julian. "Kurasa sudah semua paket berhasil kita kumpulkan. Sekarang ambil selimut." Ternyata gagasan George memang baik. Paket-paket itu dimasukkan ke dalam dua lembar selimut, yang kemudian diikat ujung-ujungnya membentuk buntalan besar. "Untung selimut-selimut ini lebar," kata Dick, sambil mengikat selimut erat-erat. "Dengan begini, aku bisa memanggulnya. Kau bagaimana, Ju?" "Beresi" jawab Julian. "Anne dan George - kita berangkat sekarang. Kalian berjalan di belakang kami. Kita menuju ke lintasan rel kereta. Barang-barang yang lain, kita tinggal dulu. Lain kali bisa kita ambil. Sekarang kita harus sudah pergi, sebelum para kelana muncul ," Tiba-tiba Timmy menggonggong. "Pasti itu tanda para kelana datang," kata Dick. "Ayo, cepatlah sedikit. Sudah kudengar suara mereka sekarang. Astaga, cepatlah sedikit ," Bab 16 Terjebak Dalam Kabut YA, para kelana berdatangan, diikuti anjing-anjing mereka yang ribut menggonggong. Julian beserta ketiga saudaranya bergegas-gegas meninggalkan parit. Timmy menyusul, tanpa bersuara sedikit pun. "Orang-orang itu mungkin tidak tahu kita berkemah di parit," kata Dick dengan napas tersengal-sengal. "Mungkin mereka datang mencari paket-paket ini. Dan sementara mereka sibuk mencari, mungkin kita bisa sudah jauh dari sini. Cepatlah" Mereka menuju ke tempat rel kereta terputus, di dekat lokomotif yang tergeletak dalam keadaan setengah terbenam.' Anjing-anjing kelana mendengar langkah mereka, lalu melolong dan berkaing-kaing. Para kelana berhenti berjalan, untuk melihat apa sebabnya binatang-binatang itu ribut. Para kelana itu melihat bayang bayang gelap bergerak-gerak di kejauhan. ,tulah keempat anak yang menyelinap pergi dari parit. Seorang kelana berseru keras, "He - berhenti! Kalian siapa? Berhenti, kataku ," Tapi kelima bayangan yang bergerak, tidak mau menurut Sementara itu mereka sudah berlari tersandung-sandung di antara kedua alur rel sejajar. Untung ada senter, yang dipegang oleh George dan Anne. Dick dan Julian tidak bisa memegang, karena mereka sudah keberatan memanggul selimut-selimut yang berisi penuh. "Cepat - cepatlah ," desah Anne. Tapi mereka tidak bisa terlalu cepat berlari. "Jangan-jangan kita terkejar," kata Julian tiba-tiba. "Coba kaulihat, George." George berpaling, menengok ke belakang. 'Tidak, aku tidak melihat siapa-siapa," katanya kemudian. "Julian, pemandangan di sini asing rasanya. Apakah yang terjadi? Berhenti, Julian , Ada hal aneh" Julian berhenti, lalu memandang berkeliling. Tadinya ia selalu memperhatikan ke bawah, takut tersandung. Memang, Anne membantunya dengan sorotan senter. Tapi walau begitu, masih tetap tidak begitu mudah lari tanpa tersandung. Julian memandang berkeliling, sambil bertanya dalam hati - apa maksud George sebenarnya. Tapi sesaat kemudian, napasnya tersentak. "Astaga , Aneh Lihatlah - ada kabut sekarang , Bintang-bintang sudah mulai mengabur. Pantas tiba-tiba malam menjadi semakin gelap rasanya ," Kabut , desah Anne ketakutan. "Kabut seram yang kadang-kadang menyelubungi padang, Julian?" Julian dan Dick memandang kabut yang bergerak berputar-putar. "Datangnya dari arah laut," kata Julian. Tidak ksh kalian cium bau asin? Datangnya tiba-tiba saja seperti yang diceritakan pada kita. Dan lihatlah - makin lama semakin tebali" "Untung kita ada di jalur rel," kata George. "Lalu apa yang kita lakukan sekarang? Kita terus?" Julian berpikir-pikir. "Dalam kabut begini, para kelana takkan mengejar kita," katanya. "Aku ingin menyembunyikan saja uang ini dulu di salah satu tempat, lalu pergi melapor pada polisi. Jika kita terus menyusur rel, takkan mungkin tersesat. Tapi jangan sampai meninggalkan rel, karena nanti salah jalani" "Ya, itu saja kita lakukan," kata Dick, ia sudah bosan memanggul beban beratnya. 'Tapi enaknya disembunyikan di mana, Ju? Jangan dalam parit! Untuk itu kita harus berjalan menembus kabut. Pasti kita akan langsung tersasat." "Tidak , Aku tahu tempat yang baik," kate Julian, lalu memelankan suaranya. "Ingat kan, lokomotif yang terguling? Nah, bagaimana jika paket-paket ini kita jajalkan ke dalam lubang cerobongnya, dan setelah itu menimbun atasnya dengan pasir? Aku berani taruhan berapa saja, takkan ada orang yang bisa menemukannya ," ",Ide hebat ," kata Dick. "Para kelana pasti menyangka kita sudah membawa pergi uang itu , Karenanya mereka takkan mencari lama-lama, begitu melihat bahwa paket-paket itu tidak ada lagi. Pada saat mereka mulai menyusul, kita nanti sudah setengah jalan pulang. Itu pun jika mereka berani menembus kabut ini." Anne dan George mengagumi ,Ide Julian. 'Takkan terpikir olehku, menyembunyikan paket-paket ini dalam cerobong kepala kereta," kata Anne. "Kalian berdua, begitu pula Timmy, tidak perlu ikut kembali bersama kami ke sana," kata Julian. "Tunggu saja di sini, sampai kami kembali. Kami akan langsung menuju ke lokomotif, memasukkan uang ke dalam cerobongnya, lalu kembali lagi ke sini." "Baiklah," kata George, lalu berjongkok di antara rel. "Tapi selimutnya bawa kembali. Hawa dingin sekarang ," Julian dan Dick bergegaa menyusur rel ke arah balik, dengan membawa senter kepunyaan Anne. Sedang senter George tetap dipegang anak itu. Timmy merapatkan diri pada tuannya. Anjing itu heran, dari mana tiba-tiba ada kabut yang kini berputar-putar menyelubungi mereka. "Ya, betul. Rapatkan tubuhmu pada kami. Tim. Dengan begitu bisa hangat," kata George. "Dingin sekali sekarang. Kabut ini lembab." Sementara itu Julian berjalan terhuyung-huyung, ia bersikap waspada, berjaga-jaga jangan sampai disergap kaum kelana, ia sama sekali tidak melihat mereka. Tapi aebenarnya, jika orang-orang itu ada dekat sekali padanya, Julian toh masih tetap tidak bisa melihat mereka. Soalnya, kabut saat itu tebal sekali , Dan makin lama semakin menebal terus. Aku tahu sekarang apa yang dimaksudkan Pak Ben, ketika ia mengatakan kabut memiliki jari-jemari lembab, pikir Julian, ia merasa seperti ada jari-jari basah menyentuh muka, lengan dan kakinya. ,tulah kabut yang berputar-putar. Kemudian dengan hati-hati mereka melangkah ke samping ral. Belukar yang lebat tidak bisa dilihat, tapi terasa , Julian merasa ada duri-duri mencocok betis. Saat itu ia tahu, bahwa ia sudah sampai di tempat yang dicari. "Arahkan sinar senter ke sini, Dick," bisiknya. "Nah, begitu , Itu kabin lokomotif. Sekarang kita mengitari semak ini, dan kita akan sampai di posisi cerobong." "Ini dia," kata Dick setelah beberapa saat. "Lihatlah , Sekarang kita mulai bekerja, memasukkan paket-paket ini ke dalam. Aduh, banyak sekail jumlahnya. Mudah-mudahan bisa masuk semua ke dalam lubang ini ," Sepuluh menit mereka sibuk, memadatkan paket-paket ke dalam lubang cerobong yang lapang. Paket-paket itu dijatuhkan sampai ke dasar. Disusul oleh yang lain-lain, sampai akhirnya paket penghabisan dijebloskan ke dalam. "Semua masuk," kata Dick puas. "Sekarang kita timbun dengan pasir. Aduh, duri semak ini tajam sekali ," "Lubang cerobong nyaris terisi penuh oleh paket-paket," kata Julian. "Hampir tak ada tempat lagi untuk pasir yang akan menimbuninya. Tapi masih cukup banyak, sehingga uangnya tidak kelihatan. Nah, beresi Sekarang tarik ranting ini, supaya cerobong tertutup olehnya. Aduh, habis badanku tergores duri ," "Kedengaran tidak para kelana datang?" tanya Dick berbisik, ketika mereka hendak kembali ke rel. Mereka lantas memasang telinga. "Tak kedengaran apa-apa," kata Julian kemudian. "Kurasa mereka takut terhadap kabut. Mereka menunggu sampai sudah cerah kembali." "Mungkin mereka ada dalam parit," kata Dick. "Mereka menunggu di sana, karena di tempat itu aman. Nah, biar mereka di sana sampai puas, Uang tadi takkan bisa mereka peroleh lagi ," "Yuk," kata Julian, lalu mendului mengitari semak. "Dari sini kita menuju ke re Pegang tanganku, Dick. Jangan sampai kita terpisah. Kau pernah mengalami kabut setebal ini? Diterangi sinar senter pun, ujung kaki kita sudah tak nampak lagi." Mereka maju beberapa langkah, lalu meraba-raba dengan kaki. Mereka mencari rel. Tapi rel tidak ada di situ. "Sedikit lebih jauh lagi," kata Julian. "Bukan, ke arah sini." Tapi jalur rel masih tetap tidak berhasil mereka temukan. Di manakah rel itu? Pikiran Julian mulai dihinggapi perasaan bingung. Ke mana mereka sekarang harus melangkah, untuk menemukan rel itu? Bagaimana mereka bisa salah langkah tadi? Kini kedua anak laki-laki itu rang a rangkak, berusaha menemukan jalur rel yang terputus. "Nah, Ini terpegang olehku," kata Dick. "Ah, sial - bukan , Cuma sepotong kayu. Ju, jangan pergi jauh-jauh" Setelah mencari-cari selama sepuluh menit, akhirnya kedua anak itu terduduk. Senter diletakkan di antara mereka. 'Ternyata kita tadi salah langkah, walau jarak dari semak ke rel dekat sekali," kata Julian. "Sekarang tak ada lagi yang bisa kita lakukan, selain menunggu sampai kabut terangkat kembali." "Tapi bagaimana dengan Anne dan George?" kata Dick gelisah. "Kita coba saja lagi sebentar. Lihatlah - di sebelah sana kabut agak menipis. Kita maju saja lagi - mudah-mudahan kaki kita nanti tersandung rel. Jika kabut ini memang menipis kembali, sebentar lagi kita akan bisa melihat ke sekeliling kita." Mereka lantas maju dengan penuh pengharapan. Kabut di depan mereka memang agak menipis sedikit, sehingga mereka bisa melihat sedikit lebih jauh. Kadang-kadang kaki mereka menyentuh salah satu benda keras. Dengan aegera mereka membungkuk. Meraba-raba, mungkin yang terkena itu jalur rel. Tapi perkiraan itu selalu meleset. Mereka masih tetap tersesat , "Kita berteriak yuk," kata Julian pada akhirnya. 156 Mereka lantas berseru kuat-kuat. "George , Anne , Kalian di mana?" Setelah itu mereka memasang telinga. Tapi tidak terdengar Jawaban. "GEORGE," seru Dick. "TIMMY," Mereka merasa seperti mendengar gonggongan di kejauhan. "Itu Timmy ," kata Julian. "Di sebelah sana ," Mereka berjalan lagi tersandung-sandung, lalu kembali berseru-seru memanggil. Tapi tak ada lagi gonggongan anjing. Sama sekail tak terdengar bunyi apa-apa di tengah kabut, yang sudah menebal kembali. "Kalau begini, kita bisa berjalan terus sepanjang malam," kata Julian bingung. "Apa sebabnya kita tadi meninggalkan mereka? Jangan-jangan kabut ini besok belum hilangi Kadang-kadang bisa menetap, selama berhari-hari." "Hih, seram" kata Dick dengan nada riang. Padahal dalam hati ia memang agak takut. "Kurasa kita tidak perlu khawatir tentang kedua anak Itu, Ju. Timmy ada bersama mereka. Biar ada kabut, ia bisa dengan mudah membawa mereka merintis padang, kembali ke istal. Anjing tak peduli terhadap kabut." Julian agak merasa lega. Tak terpikir olehnya tadi bahwa Timmy menyertai Anne dan George. "Ya, betui - aku lupa ada Timmy," katanya. "Nah, karena besar kemungkinannya kedua anak itu tidak apa-apa, sekarang kita istirahat saja dulu. Aku capeki" "Di sini ada rumpun belukar yang tebal," kata Dick. "Kita coba menyusup ke tengah-tengah kalau, bisa, supaya tidak terlalu lembab tubuh kita. Untung saja ini bukan semak berduri. "Ingin rasanya tahu pasti bahwa kedua anak itu tidak masih terus menunggu kita kembali, tapi berusaha pulang dengan menyusur rel," kata Julian. "Di mana mereka sekarang?" Sebenarnya Anne dan George sudah tidak ada lagi di tempat semula, ketika Julian dan Dick meninggalkan mereka. Kedua anak perempuan itu menunggu lama sekali. Akhirnya mereka cemas. "Ada sesuatu yang terjadi dengan mereka," kata George. "Kurasa sebaiknya kita pulang sendiri untuk memanggil bantuan, Anne. Kita bisa menyusur rel terus, sampai di mana kita harus meninggalkannya untuk menuju ke istal. Timmy pasti tahu jalan." "Ya, baiklah," kata Anne sambil bangkit. "Yuk, George. Aduh, kabut ini makin lama makin tebal saja jadinya , Kita harus berhati-hati, jangan sampai keluar dari rel. Bahkan Timmy pun, mungkin agak repot mengandalkan daya penciumannya dalam kabut setebal ini ," Mereka lantas berjalan, menyusur rel. George ber-s an di depan, diikuti oleh Anne. Timmy berjalan paling belakang. Anjing itu tidak mengerti, untuk apa mereka berkeliaran pada malam berkabut seperti itu , Kedua anak itu berjalan pelan-pelan, terus menyusur rel. Sinar senter disorotkan ke bawah, dan mereka melangkah dengan hati-hati. Setelah beberapa saat, George tertegun. Kelihatannya ia agak bingung. "Rel terputus di sini" katanya. 'Tak ada sambungannya. Aneh, menurut Ingatanku, tak ada bagian yang begini rusak. Tahu-tahu terputus begitu saja. Aku tidak melihat rel di depan!" "Aduh George ," kata Anne sambil memandang ke tanah. "Kau tahu apa yang kita lakukan? Kita menyusur rel ke arah parit - dan bukan ke arah desai Kenapa kita jadi begini tolol? Lihatlah - di sini rel terputus. Jadi kepala kereta yang terguling mestinya ada di dekat sini, begitu pula parit bekas penggalian pasir." "Sialan," umpat George bingung. "Kita benar-benar gobloki Ternyata dalam kabut, orang memang bisa kehilangan arah." "Dick dan Julian tak ada lagi di sini," kata Anne ketakutan. "Yuk, George - kita kembali saja ke parit, lalu menunggu di sana sampai hari sudah pagi. Aku kedinginan, dan badanku capek sekali rasanya. Di parit, kita bisa menyusup ke dalam salah satu gua yang ada di sana. Dalam gua enak, tubuh kita bisa hangat ," "Baiklah," kata George, ia merasa lesu saat itu. "Yuk, kita ke sana. Tapi hati-hati, jangan sampai tersesat lagi." Bab 17 Tertawan Kedua anak perempuan Itu melangkah dengan hati-hati, ditemani Timmy. Mereka berharap akan menjumpai alur rel yang menuju langsung ke parit. Ternyata mereka mujur. Mereka melintasi bagian yang dulu dicabut relnya oleh para kelana yang menyerang keluarga Bartle. Akhirnya mereka sampai ke sambungan rel, yang menuju ke tepi parit galian. "Kita sampai," kata George lega. "Sekarang kita sudah selamat. Kita tinggal harus menyusur alur Ini saja - nanti akan sampai dengan sendirinya di parit. Mudah-mudahan di sana lebih hangat daripada di sini. Hhhh! Kabut ini dingin sekali. Dan lembab." George menggigil kedinginan. "Datangnya begitu tiba-tiba," kata Anne, sambil menyorotkan cahaya senter ke bawah. "Aku tadi kaget sekali, ketika memandang berkeliling dan tiba-tiba melihat kabut merayap ke arah kita. Aku ..." Anne tak melanjutkan kalimatnya, karena tiba-tiba Timmy menggeram. "Ada apa, Tim? bisik Georga. Anjingnya berdiri tak bergerak. Bulu tengkuknya tegak, sedang ekornya tak dikibaskan seperti kebiasaannya. Timmy menatap ke arah kabut. "Aduh, ada apa lagi sekarang?" bisik Anne. "Aku tidak mendengar apa-apa. Kau?" Mereka mendengarkan dengan seksama. Tidak sama sekali tak terdengar apa-apa. Mereka lantas masuk ke dalam parit. Menurut sangkaan mereka, Timmy pasti mendengar bunyi seekor kelinci atau landak, ia menggeram, karena kadang-kadang ia memang menggeram jika mendengar bunyi binatang buruannya. Saat itu Timmy mendengar bunyi sesuatu, lalu lari ke tepi parit. Dengan segera ia lenyap ditelan kabut. Tapi tiba-tiba terdengar dangkingannya, disusul bunyi gedebuk. Setelah itu tak terdengar lagi suara Timmy. "Timmy, Ada apa? Ke mari, Timmy" seru George sekuat tenaga. Tapi Timmy tidak muncul. Kedua anak perempuan itu mendengar bunyi, seperti ada barang berat diseret. Dengan segera George lari menyusul suara itu. "Timmyl Aduh Timmy, kau kenapa?" serunya cemas. "Di mana kau sekarang? Kau cedera?" George mengayun-ayunkan tinju, berusaha memukul kabut yang berputar-putar menyelubunginya. Anak itu marah, karena tidak bisa melihat. "Tim, Tim," Tiba-tiba kedua lengan George diringkus dari belakang. "Sekarang ikut" Terdengar suara seseorang di belakangnya. "Kalian kan sudah diperingatkan, jangan suka berkeliaran mengintip-intip di sini ," George meronta-ronta, ia lebih mengkhawatirkan keselamatan Timmy, daripada memikirkan keadaan dirinya sendiri. "Mana anjingku?" sarunya. "Kalian apakan dia?" "Kupukul kepalanya," kata orang yang meringkusnya. Suaranya mirip suara ayah si Ingus. "Dia tidak apa-apa, tapi untuk sementara waktu tidak bisa berkutik lagi. Jika kau menurut, nanti dia dikembalikan padamu." Tapi George, mana mau anak itu disuruh menurut, ia menendang-nendang, memberontak dan menggeliat-geliat. Tapi percuma, ia dicengkeram oleh sepasang tangan kuat. Saat itu didengarnya Anne menjerit. Seketika itu juga George tahu, Anne juga tertangkap. Akhirnya George capek memberontak. Orang yang meringkusnya, membawa dia keluar dari parit, bersama Anne. "Mana anjingku?" tukas George. "Kalian apakan dia?" "Dia tidak apa-apa," kata orang yang memegangnya. 'Tapi jika kau masih terus melawan, nanti ku pukul kepalanya sekali lagi. Sekarang D,AM," George langsung diam. Bersama Anne, ia dibawa melintasi padang. Rasanya jauh sekali mereka berjalan. Padahal cuma menempuh jarak yang memisahkan parit dari perkemahan para kelana. "Anjingku juga dibawa?" tanya George, ia tak mampu menyembunyikan kekhawatirannya tantang Timmy. "Ya, ada orang yang membawanya," kata pena wannya. "Dia akan dikembalikan dalam keadaan selamat, jika kau melakukan apa yang diperintahkan padamu ," George terpaksa harus puas dengan jawaban itu. Bukan main kejadian malam itu , Julian dan Dick lenyap, Timmy cedera, dia tertawan bersama Anne - dan kabut tebal menyeramkan masih selalu menyelubungi. Ketika mereka sudah hampir sampai di perkemahan kelana, kabut agak menipis. Rupanya bukit yang ada di belakang perkemahan menahan kabut itu. George dan Anne melihat nyala api unggun. Di sana-sini nampak cahaya lentera. Sejumlah laki-laki berkelompok. Nampaknya seperti sedang menunggu. Menurut perasaan Anne, ia seperti melihat si Ingus dan Liz agak di sebelah belakang. Tapi ia tidak pasti. "Coba aku bisa menghubungi si Ingus sekarang," pikirnya. "Dia pasti akan bisa menyelidiki dengan segera, apakah Timmy cedera atau tidak. Mendekatlah, Ingus - jika itu memang kau" Orang-orang yang meringkus George dan Anne membawa kedua anak itu ke dekat api unggun. Mereka disuruh duduk di situ. Salah seorang laki-laki yang menunggu dekat api, tiba-tiba berseru kaget. "Ini kan bukan kedua anak laki-iaki itu," serunya. "Ini seorang anak laki-laki dan seorang anak perampuan. Mereka tidak sejangkung anak-anak yang dua lagi!" "Kami dua anak perempuan," kata Anne. Menurut pendapatnya, George pasti takkan diperlakukan dengan terlalu kasar lagi jika diketahui bahwa ia sesungguhnya anak perempuan. "Aku anak parem puan, dan dia juga." George menatap Anne sambil merengut. Tapi Anne tak mengacuhkan. Sekarang bukannya saatnya berpura-pura. Orang-orang ini tidak kenal kasihan. Dan mereka sangat marah. Mereka beranggapan rencana mereka kocar-kacir, karena perbuatan dua anak laki-laki. Mungkin kini setelah mereka sadar bahwa yang tertangkap dua anak perempuan, keduanya akan dibebaskan dengan segera. Para kelana mulai menanyai mereka. "Kalau begitu mana kawan kailan yang laki-laki?" "Entah , Lenyap dalam kabut," jawab Anne. "Kami tadi bersama-sama berjalan pulang. Tapi di tengah jalan tercerai-berai. Lalu George - maksudku Georgina dan aku lantas memutuskan kembali lagi ke parit." "Kalian tadi mendengar bunyi pesawat terbang?" "Tentu saja ," "Kalian mendengar atau melihat pesawat itu menjatuhkan sesuatu? "Tidak, kami tidak melihatnya. Kami cuma mendengarnya," kata Anne. George menatap anak itu dengan mata melotot. Apa sebabnya Anna berterus-terang begitu? Apakah disangkanya Timmy akan dikembalikan, jika mereka tidak menyulitkan keadaan? Mengingat hal itu, George tidak jadi marah pada Anne. Pokoknya Timmy tidak apa-apa , "Kalian kemudian memungut barang-barang yang dijatuhkan dari pesawat?" Pertanyaan itu dilontarkan dengan begitu tiba-tiba, sehingga Anne tersedak. Apa yang harus dikatakannya sekarang? "O ya," katanya tanpa berpikir lagi. "Kami memungut beberapa bungkusan, yang kelihatan aneh. Kau tahu apa isinya?" "itu bukan urusanmu," kata orang itu. "Lalu kau-apakan bungkusan-bungkusan itu?" George menatap Anne. Dalam hati ia bertanya-tanya, apa yang akan dikatakan Anne sekarang? Dia kan tidak bermaksud membuka rahasia? "Aku tak berbuat apa-apa dengan bungkusan-bungkusan itu," kata Anne berpura-pura. "Kedua anak laki-laki teman kami mengatakan, mereka akan menyembunyikan barang-barang Itu. Kemudian mereka menghilang dalam kabut. Tapi kemudian tak muncul lagi. Karenanya aku dan George lantas kembali ke parit. Saat itulah kami tertangkap oleh kalian." Para kelana kemudian berunding dengan suara pelan. Setelah itu ayah si ingus berbicara lagi pada Anne dan George. "Mereka hendak menyembunyikannya di mana?" tanya orang itu. "Bagaimana aku bisa tahu?" kata Anne. "Aku tidak ikut dengan mereka. Aku tak melihat apa yang mereka lakukan dengan barang-barang itu." "Kaurasa barang-barang itu masih ada pada mereka?" kata ayah si ingus. "Kenapa tidak kalian cari saja mereka berdua, lalu bertanya langsung?" kata Anne. "Aku tidak melihat mereka lagi sejak keduanya pergi meninggalkan kami. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka, begitu juga dengan barang-barang itu ," "Mungkin mereka tersesat," kata laki-laki yang sudah beruban rambutnya. "Dengan paket-paket yang mereka bawa , Besok saja kita mencari mereka. Dalam kabut setebal ini, mereka takkan bisa pulang ke rumah. Kita akan bisa membawa mereka ke sini." "Mereka takkan mau ikut," kata George. "Begitu melihat kalian, pasti mereka akan lari. Dan kalian pasti takkan sanggup mengejar keduanya. Pokoknya, begitu kabut ini terangkat, mereka akan langsung pulang." "Bawa pergi kedua anak perempuan ini," kata kelana yang sudah tua. "Masukkan ke dalam gua kita. ,kat erat-erat ," "Mana anjingku?" seru George dengan tiba-tiba. "Ayo kembalikan anjingku!" "Kau tadi tidak bersikap membantu," kata kelana tua. "Kami akan menanyai kalian kembali besok. Jika saat itu kalian lebih mau menolong, anjingmu akan dikembalikan." Dua orang laki-laki membawa Anne dan George dari api unggun, menuju ke bukit. Di situ ada sebuah lubang besar yang menuju ke perut bukit Seorang dari kedua laki-laki itu membawa lentera, ia berjalan mendului. Sedang yang satu lagi di belakang anak-anak. Mereka melewati sebuah lorong. Pasir kemerisik terinjak kaki. Menurut perasaan Anne, dinding lorong itu juga berupa dinding pasir. Aneh Banyak sekali lorong bersimpang-siur dalam bukit itu. Anne heran, bagaimana caranya kedua laki-laki itu tahu lorong mana yang harus diambil. Akhirnya mereka sampai dalam sebuah gua. Letak gua itu mestinya persis di tengah perut bukit. Gua Itu bera as pasir. Sebuah tiang tertancap dalam di situ. Dan pada tiang, tertambat beberapa utas tali. Anak-anak memandang dengan perasaan kecut. Jangan-jangan mereka akan diikat dengan tali ke tiang , Ternyata sangkaan mereka tepat. Pinggang mereka diikat erat-erat, lalu disimpulkan di belakang. Simpul yang dipakai merupakan simpul kaum ke lane, rumit dan ketat Anak-anak pasti memerlukan waktu berjam-jam untuk menguraikannya. Itu pun jika mereka mampu meraihkan tangan ke belakang punggung. "Nah, sekarang beres," kata kedua laki-laki itu, sambil nyengir menatap Anna dan George. "Mungkin besok pagi kalian akan ingat iagi, di kemanakan bungkusan-bungkusan itu." "Ayo bawa anjingku ke sini," tukas George. Tapi kedua laki-laki itu cuma tertawa keras, lalu pergi ka luar. Dalam gua panas dsn pengap. George khawatir setengah mati mengingat Timmy. Tapi Anne sudah capek sakali. ia tidak mampu berpikir lagi. Anne tertidur dalam posisi duduk. Sikapnya tidak enak, karena pinggangnya terikat dengan tali ke tiang. Simpul tali menggigit punggung. Sedang George masih duduk sambil termenung. Di manakah Timmy sekarang? Cedera beratkah anjing kesayangannya itu? Saat itu benar-benar sengsara. ia tidak bisa tidur, ia terhenyak daiam keadaan nyalang dan bingung. Dicobanya sebentar menggerakkan tangan ke belakang, berusaha membuka simpul ikatan. Tapi percuma, simpul tak bisa diraih tangannya. Tiba-tiba ia merasa seperti mendengar sesuatu , Apakah itu suara seseorang yang merangkak daiam lorong, menuju ke gua? George ketakutan. Disesalinya nasib, kenapa Timmy tidak ada di sampingnya. Kemudian terdengar suara ingus disedot. "Astaga, tentu itu si Ingus ," pikir George. Saat itu ia nyaris merasa sayang terhadap anak kelana yang jorok itu. "Ngus ," seru George pelan, lalu menyalakan senternya. Dilihatnya kepala si Ingus muncul dari dalam lorong, disusul oleh tubuhnya. Anak itu merangkak dengan hati-hati. Akhirnya ia masuk ke dalam lorong. Ditatapnya George serta Anne yang tidur pulas. "Kadang-kadang aku juga diikat ke situ," katanya. "Bagaimana kabar Timmy, Ingus?" tanya George cemas. "Ayo katakan, cepat ," "Dia tidak apa-apa," jawab si ingus. "Cuma kepalanya saja yang luka. Aku sudah mencuci lukanya itu. Sekarang ia juga diikat, ia menggeram-geram terus, karena tidak mau diperlakukan begitu i" "Dengar baik-baik, Ingus," kata George terburu-buru. "Ambil Timmy, lalu bawa ke sini. Dan bawakan pula pisau, untuk memotong tali-tali ini. Kau mau? Kau bisa? "Aduh, aku tidak tahu," kata si Ingus. Nampaknya ia ketakutan. "Bisa habis aku dihajar ayahku nanti ," Ingus Adakah sesuatu yang kauingini - yang sudah selalu ingin kaumiliki?" kata George. "Akan kuberikan barang itu padamu, jika kau mau memenuhi permintaanku tadi. Janji deh ," "Aku ingin punya sepeda," kata si Ingus dengan tidak disangka-sangka. "Dan aku ingin tinggal dalam sebuah rumah biasa, serta naik sepeda ke sekolah ," "Akan kuusahakan segala permintaanmu itu, Ingus," kata George asal bunyi. 'Tapi kau harus membawa Timmy ke sini - dan juga pisau, Kau tadi ke mari tanpa ketahuan. Tentunya kau bisa datang lagi dengan Timmy. ingat sepeda" Si Ingus berpikir sebentar. Kemudian ia mengangguk, lalu masuk ke dalam lorong, ia menghilang lagi, persis seperti ketika muncul tadi. George hanya bisa menunggu. Apakah si Ingus akan datang lagi dengan membawa Timmy - atau akan tertangkapkah anak Itu? Bab 18 Siasat George George duduk dalam gelap. Didengarnya bunyi napas Anne yang tidur pulas, ia menunggu si Ingus muncul kembali, ia rindu pada Timmy. Parahkah luka di kepala anjing kesayangannya itu? Tiba-tiba terlintas suatu pikiran yang baik. ia akan menyuruh Timmy kembali ke istal, dengan membawa surat, Timmy sangat cerdik, ia tahu apa yang harus dilakukan, jika ada surat diikatkan ke lehernya. Dengan begitu akan datang bantuan dengan cepat. Timmy pasti tahu jalan keluar dari perut bukit, jika ia sudah ada di dalam. Nah, terdengar si Ingus datang lagi. Apakah Timmy ikut dengannya? George mendengar bunyi si Ingus menyedot ingus. Tapi Timmy, sama sekali tidak kedengaran suaranya. George lesu kembali. Dengan hati-hati si Ingus masuk ke dalam gua. "Aku tak berani mengambil Timmy," katanya pada George. "Dia diikat terlalu dekat pada ayahku. Kalau kuambil juga, pasti ayahku terbangun. Tapi aku sempat mengambil pisau. Ini, lihatlah ," "Terima kasih, Ingus," kata George. Diambilnya pisau yang disodorkan, lalu dimasukkan ke dalam kantong. "Dengari Ada sesuatu hai penting yang akan kulakukan. Kau harus menolong." "Aku takut," kata si Ingus. "Benar-benar takut" "Ingat sepeda," kata George. "Bagaimana kalau berwarna merah, dengan setang disepuh perak?" si Ingus berpikir-pikir. "Baiklah," katanya kemudian. "Apa yang hendak kaulakukan?" "Aku akan menulis surat" kata George, sambil merogoh rogoh kantong mencari buku notes serta pinsil. "Aku minta padamu agar kau mengikatkan sutra itu pada kalung Timmy,di bawah dagunya. Lalu usahakan agar ia bisa lepas. Maukah kau melakukannya? Nanti Timmy akan lari pulang ke istal dengan membawa surat itu, lalu aku dan Anne akan diselamatkan, dan kau akan menerima hadiah sepeda yang paling bagus di dunia ," "Dan sebuah rumah untuk tempat tinggal," sambung si Ingus dengan segera. "Supaya aku bisa naik sepeda ke sekolah ," "Baiklah," kata George. Dalam hati ia berdoa, semoga si Ingus benar-benar bisa memperoleh kesemuanya itu. Sekarang tunggu sebentar." George mulai menulis surat. Tapi ketika baru beberapa patah kata tertulis olehnya, dari arah lorong terdengar langkah orang datang. Orang itu batuk-batuk. "Itu ayahku," kata si Ingus ketakutan. "He, jika kau berhasil memotong tali-tali pengikat lalu melarikan diri, akan mampukah kau menemukan jalan keluar dari sini? Jalannya berbelit-belit." "Aku tidak tahu. Kurasa tidak bisa ," bisik George panik. 'Nanti akan kutinggalkan patrin-patrin untukmu ," kata si Ingus. "Kaucari tanda-tandaku itu. Sekarang aku akan bersembunyi dalam gua yang ada di sebelah. Kutunggu di situ, sampai ayahku selesai bicara denganmu. Satelah itu aku kembali ke Timmy." Baru saja si Ingus menyelinap ke gua yang letaknya bersebelahan, ketika sinar Jentera sudah menerangi gua tempat Anne dan George tertawan. Ternyata memang ayah si Ingus yang datang. "Kau melihat si Ingus?" tanya orang Itu. "Ketika aku bangun tadi, tahu-tahu ia sudah tidak ada. Jika anak Itu sampai ketahuan olahku ada di sini akan ku-pukui dia nanti sampai berteriak-teriak." "S, Ingus? Tidak, ia tidak ke mari tadi," kata George. Suaranya dibuat kaget. "Periksalah sendiri, kalau tidak percaya" Saat itu ayah si Ingus melihat buku notes dan pin sil yang sda di tangan George. Apa yang sedang kautulis Itu?" tanya laki laki itu curiga. Diambilnya buku notes dari tangan George. "Ah, kau menulis surat untuk minta bantuan, ya?" katanya kemudian. "Dan menurutmu, bagaimana bantuan itu harus datang? Aku kepingin tahu Siapa yang akan membawakan suratmu ini pulang? si Ingus?" "Bukan," jawab George, ia memang tidak bohong sekali ini. Laki-laki itu memperhatikan suratnya sekali lagi. Keningnya berkerut. "Nah, sekarang kau menulis sepucuk surat lagi," katanya. "Surat pada kedua anak laki-laki itu. Aku akan mendiktekan isinya. "Tidak mau," kata George membangkang. "O ya, kau akan menulisnya," kata ayah si Ingus. "Aku tidak berniat mengapa-apakan kedua anak itu. Aku cuma ,Ingin memperoleh kembali paket-paket yang mereka sembunyikan. Kau ingin anjingmu dikembalikan daiam keadaan selamat?" "Ya," kata George sambil menelan ludah. Nah Jika kau tidak mau menulis surat itu, kau takkan pernah bertemu lagi dengan anjingmu," kata ayah si Ingus. "Sekarang ambil pinsilmu, lalu mulailah menulis dalam buku notesmu." George mengambil pinsilnya. "Ini yang harus kautuiis," kata laki-laki itu iagi. Keningnya berkerut, seperti sedang memeras otak. "Tunggu dulu kata George. "Bagaimana kau akan menyampaikan surat ini pada mereka? Kau kan tidak tahu di mana mereka berada , Dan selama kabut belum lenyap, kau tak mungkin bisa menemukan keduanya." Laki laki itu menggaruk-garuk kapalanya. ia berpikir lagi. "Satu-satunya jalan menyampaikan surat ini pada mereka, adalah dengan cara mengikatkannya ke kalung leher anjingku - lalu menyuruhnya mencari mereka," kata George. Kalau Timmy kaubawa ke sini, nanti aku bisa menyuruhnya. Anjingku itu selalu menuruti perintahku." "Maksudmu, ia akan membawa surat itu pada siapa pun seperti yang kausuruh?" tanya orang itu dengan mata berkilat-kilat. "Nah, kalau begitu mulai saja menulis. Katakan begini: 'Kami tertawan. ,kuti Timmy- Dia akan membawa kalian ke tempat kami. Dengan begitu kalian akan bisa membebaskan kami.' Setelah itu tanda tangani dengan namamu. Siapa namamu?" "Gaorgina," kata George. "Sekarang ambillah anjingku itu, sementara aku menulis surat" Laki-laki itu keluar, diikuti pandangan Gaorge. Hah pikir anak itu, dikiranya ia berhasil menyuruh aku menjebak Julian dan Dick. Menyuruh mereka ke mari, supaya kemudian bisa diancam dan dipaksa mengatakan di mana mereka menyembunyikan paket-paket berisi uang , 'Tapi dialah yang akan kutipu," pikir George. "Akan kusuruh Timmy membawa surat ini kepada Henry. Henry pasti akan timbul kecurigaannya menerima surat ini, lalu meminta Kapten Johnson agar mengikuti Timmy kembali ke sini. Pasti para kelana akan kaget setengah mati. Kurasa Kapten akan cukup bijaksana, dan mengajak polisi datang bersama dia. Hah, aku pun bisa main siasat" Sepuluh menit kemudian, ayah si Ingus muncul lagi. ia membawa Timmy. Anjing itu kelihatannya lemas. Di kepalanya ada luka besar, yang perlu dijahit. Dengan langkah gontai ia menghampiri George. Anak itu memeluk leher anjing kesayangannya, sambil berseru sedih, "Kepalamu sakit. Tim? Kalau kita sudah kembali nanti, kau akan kubawa ke dokter hewan, ya ," "Kau akan bisa kembali, begitu kedua anak laki-laki itu sudah ada di sini dan mengatakan pada kami di mana mereka menyembunyikan paket-paket itu," kata ayah si Ingus. Sementara itu Timmy tidak henti-hentinya menjilati George. Ekornya dikibas-kibaskan dengan gembira, ia tidak mengerti, apa sebetulnya yang sedang terjadi. Kenapa George duduk di situ? Tapi biarlah, pokoknya ia sudah bisa menemani tuannya itu lagi. Timmy merebahkan diri ke pasir, lalu meletakkan kepalanya ke pangkuan George. 'Tulis surat itu," kata ayah si Ingus, "lalu ikatkan ke kalung lehernya, ikat di sebelah atas, supaya mudah terlihat ," "Aku sudah menulisnya," kata George. Kelana itu mengulurkan tangannya yang kotor. Begitu surat diserahkan oleh George, ia langsung membacanya. 'Kami tertawan. ,kuti Timmy. Dia akan membawa kalian ke tempat kami. Dengan begitu kalian akan bisa membebaskan kami. Georgina. "Hm, Georgina. Betul itu namamu?" tanya ayah si Ingus. George mengangguk. Tidak sering ia mau mengaku bahwa namanya memang begitu. Tapi sekali ini ia melakukannya dengan senang. Surat itu kemudian diikatkannya kuat-kuat ke kalung leher Timmy, di sebelah atas. Surat itu nampak jelas. Timmy dipeluknya, sementara ia mengajaknya bicara dengan sungguh-sungguh. "Pergi ke Henry, Tim, Pergi ke HENRY, Mengerti? Bawa surat ini ke HENRY." Sementara Timmy mendengarkan dengan penuh perhatian, George menepuk-nepuk surat yang ada di tengkuk anjing itu. Kemudian Timmy didorongnya. "Sekarang pergi , Cari HENRY," 'Tidak perlukah kausebut nama anak laki laki yang satu lagi?" kata ayah si Ingus. "Tidak, karena aku tidak ingin menyebabkan Timmy bingung," kata George buru-buru. "Henry, Tim, Henry, HENRY," "Guk," gonggong Timmy sekali. George langsung tahu, anjingnya itu sudah mengerti. Lalu didorongnya Timmy sekali lagi. "Sekarang pergi," katanya menyuruh. "Cepat!" Timmy menoleh padanya, dengan pandangan menyesali. Seakan-akan hendek mengatakan, 'Kenapa cuma sebentar aku boleh bersamamu!' Tapi kemu-dian ia masuk ke dalam lorong. Surat yang terikat ke lehernya nampak jelas. "Kedua anak laki-laki itu akan segera kubawa ke sini, begitu mereka muncul bersama anjingmu itu," kata ayah si Ingus, ia lantas menyusul ke luar. George ingin tahu, apakah si Ingus masih ada dalam gua di sebelah, ia memanggil-manggil anak itu. Tapi si Ingus tidak menjawab. Jadi rupanya ia sudah menyelinap pergi. Saat Itu Anne terbangun Sesaat ia bingung, tidak tahu di mana ia berada. George menyalakan senternya lagi. lalu menjelaskan apa saja yang terjadi selama Anne tidur. "Kenapa aku tidak kaubangunkan kata Anne. "Aduh, tali-tali ini menyakitkan." "Aku punya pisau sekarang," kata George. "Si Ingus yang memberikannya padaku. Bagaimana Jika kuputuskan tali-tali pengikatmu?" "Ya," kata Anne senang. "Tapi sakareng sebaiknya kita jangan dulu mencoba melarikan diri. Sekarang tentunya masih malam Jika kabut belum hilang, nanti kita tersesat di luar. Jika ada orang datang, kita bisa pura-pura masih terikat." Pisau yang diberikan si Ingus, ternyata sangat tumpul. Tapi George berhasil juga memutuskan tali yang mengiket dirinya. Satelah itu dipotongnya tali yang mengikat Anne. Ah, nyaman rasanya bisa berbaring dengan leluasa , Tidak perlu duduk terus menerus, terganggu simpul tali yang menekan punggung , "Jangan lupa, jika nanti terdengar orang datang, tali harus kita bebatkan lagi dengan longgar ke tubuh kita," kata George kemudian. "Kita tetap di sini, sampai tahu pasti hari sudah siang. Mungkin nanti kita juga bisa menyelidiki apakah di luar masih ada kabut atau tidak. Jika sudah lenyap, kita akan lari." Setelah itu mereka merebahkan diri ke dasar gua yang berpasir. Enak rasanya, bisa meluruskan tubuh. Sesaat kemudian mereka sudah tidur, karena tubuh rasanya capek sekali. Untung saat itu tidak ada orang datang. Tapi di manakah Julian dan Dick? Mereka masih meringkuk dalam belukar. Mereka hanya bisa tidur-tidur ayam. Memejamkan mata, tapi tidak bisa pulas. Mereka kedinginan. Tidak enak rasanya, Mereka berharap, mudah-mudahan saja Anne dan Gaorge sudah kembali dengan selamat di istal. Mestinya kedua anak perempuan itu menyusur ral lalu pulang, pikir Julian satiap kali ia terjaga. Mudah-mudahan mereka selamat, begitu pula Timmy. Untung Timmy ada bersama mereka, pikir Julian. Tapi Timmy saat itu tidak bersama George dan Anne. Anjing itu lari sendirian melintasi padang berkabut. Kepeianya terasa sakit Timmy agak bingung. Apa sebabnya George menyuruh dia pergi ke Henry. Timmy tidak begitu suka pada Henry. Menurut perasaannya, sikap George juga begitu pada anak itu. Tapi walau demikian, George menyuruhnya mencari Henry. Aneh Tapi begitulah yang diperintahkan George padanya. Timmy sayang pada George. Apa kata anak itu, selalu diturutinya. Timmy berlari di tengah semak dan rumput liar. ia tidak perlu mengikuti lintasan rel. Tanpa itu pun, ia bisa menemukan jalan pulang. Hari masih gelap. Tapi takkan lama lagi fajar menyingsing. Cuma kabut masih sangat tebal. Matahari yang terbit, pasti akan tersembunyi di balik kabut tebal itu. Akhirnya Timmy sampai di halaman istal Kapten Johnson, ia berhenti sebentar, mengingat-ingat. Di mana letak kamar tidur Henry? Ah, batui - di tingkat atas, di sebelah kamar Anne dan George. Lewat jendela yang sengaja dibiarkan terbuka untuk jalan masuk kucing yang ada di situ, Timmy melompat ke dalam dapur. Lalu naik ke tingkat atas, menuju kamar Henry. Pintu didorong olehnya sampai terbuka. Timmy masuk ke dalam kamar, lalu menaikkan kedua kaki depannya ke tempat tidur. "Guk," gonggong Timmy di dekat telinga Henry "Guk, guk , guk ," Bab 19 Timmy Beraksi Saat itu Henry sedang tidur nyenyak, ia tidur sambil mendengkur. Tapi begitu terasa kaki Timmy menyentuh lengan, dan terdengar gonggongannya, Henry kaget lalu langsung terbangun. "Huh, Ada apa?" katanya sambil duduk lurus-lurus di tempat tidur. Tangannya menggapai-gapai, mencari senter. Henry kaget dan ketakutan. Dengan jari gemetar dinyatakannya senternya. Kemudian dilihatnya Timmy, yang menatapnya dengan pandangan meminta. 179 "Lho, Timmy," seru Henry tercengang. "Timmy, Apa yang kaubikin di sini? Anak-anak sudah kembali? Tak mungkin, masakan kembali tengah malam begini , Lalu kenapa kau ke mari. Tim?" "Guk," gonggong Timmy. ia berusaha membuat Henry mengerti, bahwa ia membawa pesan. Henry mengulurkan tangannya untuk menepuk kepala Timmy. Saat itu barulah dilihatnya surat yang diikatkan ke kalung leher anjing itu. "Apa ini, yang ada di lehermu?" kata Henry, sambil meraihkan tangan. "Eh, kertas rupanya. Terikat ke kalung. Tentunya berita isinya ," Henry membuka kertas yang tergulung, lalu membaca tulisan yang ada di situ. 'Kami tertawan. ,kuti Timmy. Dia akan membawa kalian ke tempat kami. Dengan begitu kalian akan bisa membebaskan kami. Georgina. Henry melongo. Timmy ditatapnya. Timmy membalas tatapan pandangan Itu, sambil mengibas-ngibaskan ekor. Lengan Henry dikais-kaisnya dengan tidak sabar. Sekali lagi Henry membaca surat yang dipegangnya. Kemudian ia mencubit dirinya sendiri, untuk meyakinkan bahwa ia bukan sedang bermimpi. "Aduh, Tidak, aku tidak mimpi," kata Henry. "Timmy, betulkah isi surat ini? Betulkah mereka tertawan? Dan 'kami' itu siapa? George dan Anne, atau mereka berempat? Aduh Tim, sayang kau tidak bisa ngomong" Rupanya Timmy juga berpendapat begitu. Lengan Henry digaruk-garuk terus olehnya. Tiba-tiba anak itu melihat luka yang ada di kepala Timmy. Henry kaget setengah mati. "Kau luka. Tim, Kasihan. Siapa yang me akukan •nya terhadapmu? Lukamu ini perlu dirawat." Kepala Timmy masih terasa sakit sekali. Tapi saat itu ia tidak mengacuhkannya. Timmy mendengking pelan, lalu lari bolak-balik ke pintu. "Ya, aku mengerti , Kau ingin agar aku ikut Ide nganmu," kata Henry. "Tapi aku perlu berpikir-pikir "dulu. Jika Kapten Johnson ada di sini, pasti sudah kupanggil dia. Tapi Kapten malam ini tidak ada di rumah. Tim, Aku yakin Bu Johnson akan ketakutan, jika dia kupanggil sekarang. Aku benar-benar bingung, tak tahu apa yang harus kukerjakan ," - Timmy menggonggong, kedengarannya seperti mencemooh. "Ya, kau enak saja menggonggong begitu," kata Henry "tapi aku tidak setabah dirimu. Tim. Aku cuma berlagak berani aaja , Padahal sebetulnya takut. Aku takut ikut denganmu. Aku takut mencari kawan-kawan, karena jangan-jangan nanti ikut tertawan. Lagipula saat ini kabut sedang tebal, Tim," Henry turun dari tempat tidur. Timmy memandangnya dengan penuh harap. Mungkinkah anak konyol ini sekarang sudah membulatkan tekat? "Timmy, malam ini di sini tidak ada orang dewasa kecuali Bu Johnson," kata Henry lagi. "Sedang dia, tak mungkin boleh kubangunkan. Kemarin ia bekerja sibuk sekali. Aku akan berpakaian dulu. Setelah itu kupanggil William. Ya, aku tahu anak Itu baru sebelas tahun umurnya , Tapi dia laki-laki, dan cukup berakal, ia tentu tahu apa yang harus dilakukan , Sedang aku - aku cuma pura-pura saja menjadi anak laki-laki." Henry bergegas mengenakan pakaiannya yang sehari-hari, lalu pergi ke kamar tidur William. William tidur sendiri, dalam kamar yang berseberangan dengan kamar Henry. Henry masuk ke kamar anak itu, lalu menyalakan senternya. William langsung bangun. "Siapa itu?" katanya sambil menegakkan diri di tempat tidur. "Mau apa ke mari?" "Ini aku - Henry," kata Henry. "William, ada kejadian luar biasa tadi , Timmy tiba-tiba muncul dalam kamarku, dengan membawa surat yang terikat pada kalungnya. Ini, bacalah sendiri ," William menerima surat itu, lalu membacanya, ia pun tercengang menyimak isinya. "Lihatlah , George membubuhkan tanda tangan dengan nama Georgina," katanya. "Itu takkan mungkin dilakukan olehnya, jika keadaan tidak benar-benar gawat, ia kan biasanya selalu menyebut dirinya George. Jadi kita harus segera berangkat, ikut dengan Timmyl" "Tapi aku tidak bisa berjalan jauh merintis padang belantara yang sedang diselubungi kabut," kata Henry ketakutan. "Kita tidak perlu berjalan kaki ke sana. Kita menunggang kuda," kata William. Anak itu ternyata memang cukup berakal. Sambil berpakaian, ia meneruskan, "Timmy akan menjadi penunjuk jalan. Sekarang siapkan kuda-kuda untuk kita. Cepatlah sedikit, Henry , Kalau melihat tingkah-lakumu sekarang, kau ini lebih pantas disebut Henrietta ," Henry jengkel mendengar ucapan William. Dengan segera ia keluar, menuju ke pekarangan. Sayang, kenapa Justru malam ini Kapten Johnson bepergian. Coba kalau dia ada, pasti akan bisa dengan segera mengambil keputusan tepat. Ketabahan Henry pulih, ketika ia sampai di kandang kuda. Kuda-kuda yang diambilnya nampak kaget. Tapi mereka mau saja diajak pergi malam hari. Bahkan di tengah kabut pekat sekalipun , Tak lama kemudian William muncul, bersama Timmy. Anjing itu senang melihat William ikut. Timmy suka pada anak laki-laki itu. Tapi Henry, tidak begitu disenangi olehnya. Timmy berlari mendului, disusul kedua anak yang menunggang kuda. Baik Henry maupun William, keduanya membawa senter yang sinarnya sangat terang. Cahayanya disorotkan terus ke tanah, supaya bisa selalu tahu ke mana arah yang ditempuh Timmy. Satu dua kali anjing itu lenyap dari penglihatan mereka. Tapi anjing itu langsung berbalik, begitu terdengar kuda-kuda berhenti. Mereka merintis padang belantara. Mereka tidak mengikuti alur rel, karena Timmy tidak memerlukan penuntun arah. ia sudah hafal jalan ke bukit! Tapi sekali ia tertegun, lalu mengendus-endus. Apakah yang tercium olehnya? Henry dan William sama sekali tidak bisa menduga, bahwa saat itu Tim-my agak bingung mencium bau sesuatu dalam kabut. Bau Julian dan Dick-kah yang tercium tadi? Bau itu hanya sekilas saja lewat. Timmy nyaris saja mengikuti arah bau itu, untuk meyakinkan bahwa penciumannya benar. Tapi kemudian ia teringat pada George dan Anne. Timmy lantas melanjutkan berlari memotong kabut. Sebetulnya Julian dan Dick memang tidak jauh dari situ, ketika Timmy mencium bau mereka. Kedua anak laki-laki itu masih meringkuk dalam semak. berusaha menghangatkan tubuh. Mereka tetap sukar tidur. Coba jika mereka tahu Timmy ada di dekat situ, bersama Henry dan William. Tapi hal itu tak mungkin mereka ketahui , Timmy lari terus, mendului Henry dan William yang menunggang kuda. Tak lama kemudian mereka sampai di parit bekas penggalian pasir. Tapi parit itu tidak nampak, karena terhalang kabut. Dengan dituntun oleh Timmy, mereka mengitari parit, laki menuju ke perkemahan kelana. Anak-anak itu segera waspada, ketika melihat Timmy memelankan larinya. "Dia sudah hampir sampai ke tempat, ke mana kita hendak dibawa olehnya," bisik William. "Sebaiknya kita turun, dan kuda-kuda kita tambatkan di salah satu tempat. Bunyi derap kaki mereka bisa menyebabkan orang tahu bahwa kita ada di sini." "Ya , Betul, William" kata Henry. William memang bijaksana, pikir Henry. Pelan-pelan mereka turun dari kuda, yang kemudian diikatkan ke sebatang pohon yang ada di dekat situ. Saat itu mereka ada di dekat bukit. Sedang perkemahan kelana terdapat di depan bukit itu. Di situ kabut tidak begitu tebal. Tiba-tiba nampak bayangan gelap sebuah caravan, di dekat api unggun yang dibiarkan menyala. "Kita harus hati-hati sekali," bisik William. "Ternyata kita dibawa ke perkemahan kelana di Rawa Rahasia. Tadi sudah kusangka itu akan dilakukannya. Rupanya kawan-kawan kita ditawan di dekat-dekat sini , Kita harus berhati-hati sekali ," Timmy memperhatikan keduanya turun dari kuda masing-masing. Kepala Timmy tertunduk. Ekornya terkulai ke bawah, sementara napasnya tersengal-sengal. Kepalanya terasa sakit sekali. Timmy merasa pusingi Tapi ia harus mendatangi George. Harus , Diduluinya anak-anak, menuju lubang masuk ke dalam bukit. William dan Henry semakin tercengang. Tapi mereka ikut terus dengan Timmy. Menyusur lorong yang simpang siur dan berliku-liku. Kedua anak itu heran, bagaimana Timmy bisa tahu pasti jalan mana yang harus diambil. Tapi Timmy tidak pernah sekali pun nampak bimbang. Kalau ia sudah sekali datang ke salah satu tempat, takkan pernah lagi ia melupakan jalan ke situ , Jalannya sudah lambat sekali sekarang. Kakinya terasa gontai. Kepingin rasanya berbaring, meletakkan kepalanya yang sakit ke kaki depan. Tapi tidak, ia harus menemukan George. George harus ditemukan dulu olehnya! Sementara itu George dan Anne masih terbaring dalam gua. Keduanya tidur. Tapi tidak bisa pulas. Sebentar-sebentar terbangun. Badan mereka terasa kaku. Mereka gelisah, karena hawa dalam gua panas. Tapi mereka sedang tidur, ketika Timmy masuk dengan langkah lambat, lalu merebahkan diri di sisi George. George terbangun, ketika William dan Henry masuk ke dalam gua. Dikiranya yang datang ayah si Ingus, ia lantas cepat-cepat melilitkan tali ke pinggang, supaya kelihatan seakan-akan ia masih dalam keadaan terikat Tapi kemudian terdengar napas Timmy tersengal-sengal. Dengan segera George menyalakan senter. Seketika itu juga ia melihat Timmy, Henry dan William! Henry melongo, ketika melihat George dan Anne ada di tanah dengan pinggang terlilit tali. "Wah, Tim - kau berhasil membawa pertolongan ," kata George, sambil merangkul leher anjingnya. "Henry, senang sekali aku karena kau datang. Tapi kenapa Kapten Johnson tidak kauajak juga?" "Tidak bisa, karena ia sedang pergi," kata Henry. "Tapi William ada di sini. Kami tadi menunggang kuda. Timmy menunjukkan jalan bagi kami. Apa sebetulnya yang terjadi, George?" Saat itu Anne terbangun, ia melongo, ketika melihat kedua anak yang baru datang. Setelah itu terjadi perundingan secara tergesa-gesa. William kemudian menyatakan pendapatnya dengan tegas. "Jika kalian ingin melarikan diri, harus sekarang juga - sementara orang-orang di perkemahan kelana masih tidur. Timmy bisa menunjukkan jalan keluar dari bukit yang penuh dengan lorong berslm-pang-siur Ini. Kalau kita sendiri, takkan mampu menemukan jalan keluar. Ayo ," "Ayo, Tim," kata George, sambil menggoncang-goncang tubuh anjingnya pelan-pelan. Tapi Timmy saat itu merasa aneh. ia tidak bisa melihat jelas. Kepalanya terasa berat sekali. Dan kakinya, seakan-akan lumpuh. Ternyata baru sekarang timbul pengaruh yang sebenarnya sebagal akibat pukulan yang mengenai kepalanya. Dan perjalanannya tergesa-gesa pulang balik memanggil Henry, menyebabkan cederanya semakin parahi "Timmy sakiti" kata George panik. "Dia tidak bisa bangun, Aduh Tim, kenapa kau?" "Pasti luka di kepalanya itu yang menyebabkan," kata William. "Luka itu parah, dan sekarang ia kehabisan tenaga setelah berlari-lari menjemput kami tadi. Dia takkan mampu menunjukkan jalan ke luar. George. Kita harus berusaha, sebisa-bisa kita sendiri" "Aduh, kasihan si Timmy ," kata Anne. ia merasa ngari, melihat anjing itu tergeletak di tanah. "Kuatkah kau menggendongnya, George?" "Kurasa kuat," kata George, lalu mengangkat tubuh Timmy. "Badannya berat sekali - tapi kurasa aku masih mampu. Mungkin jika kita sudah sampai di luar, udara segar akan menyebabkan Timmy bisa sadar lagi." "Tapi kita tidak tahu jalan ke luar, George," desah Anne ketakutan. "Jika Timmy tidak bisa menuntun kita, nanti kita tersesat , Kita akan berputar-putar terus dalam perut bukit ini, tanpa bisa keluar" "Yah, kita terpaksa mencobanya," kata Wlliiam. "Yuk, aku saja yang berjalan di depan. Pokoknya, kita harus berangkat sekarang juga ," William masuk ke dalam salah satu lorong, diikuti kawan-kawannya. George berjalan sambil menggendong Timmy. Tapi kemudian William tertegun, ketika sampai pada suatu persimpangan. "Aduh, ke mana sekarang?" kata William bingung. "Ke kanan, atau ke kiri?" Anak-anak tidak ada yang tahu. George menyorotkan cahaya senternya ke sana-sini, sambil berusaha mengingat-ingat. Saat Itu sinar senter menyoroti sesuatu yang ada di tanah dekat mereka berada. Mereka melihat dua potong ranting. Satu panjang, dan yang satu lagi pendek - membentuk silang. George berseru, "Lihatlah - ini kan patrin , Rupanya dibuat oleh si Ingus, untuk menunjukkan jalan ke luar. Kita harus masuk lorong yang ditunjuk ranting yang panjang. Wah, mudah-mudahan saja si Ingus meninggalkan patrin di setiap sudut dan persimpangan ," Anak-anak lantas masuk lorong sebelah kanan. Cahaya senter mereka disorotkan jauh ke depan, menembus kegelapan tempat itu. Di setiap posisi di mana mereka mungkin salah jalan, ternyata ada patrin. ,syarat si Ingus, untuk menunjukkan jalan yang harus diambil. "Ada silang lagi - kita harus lewat sini," kata Anne. "Ini ada patrin di persimpangan ini , Kita lewat situ," kata George kemudian. Begitu terus, sampai mereka akhirnya tiba dengan selamat di mulut lorong yang terdapat di sisi bukit. Kabut yang semula ditakuti, kini mereka perhatikan dengan perasaan lega. Setidak-tidaknya itu berarti bahwa mereka sudah kembali berada di luar. "Sekarang kita ke tempat kuda-kuda ditambatkan," kata William. "Kita terpaksa menunggangi mereka berdua-dua." Mereka lantas berjalan menuju tempat kedua ekor kuda menunggu. Tapi tepat saat itu, anjing-anjing kelana di perkemahan mulai menggonggong dengan ributi "Kita ketahuan ," kata William cemas. "Cepatlah sedikit, Kita akan tercegat nanti, jika tidak lari saat ini juga ," Kemudian terdengar suara seseorang yang berteriak keras. "Berhenti ," seru orang itu. "Aku bisa melihat kalian di sana, membawa senteri Ayo berhenti, kataku," Bab 20 Pagi yang Tegang Sementara itu fajar tiba. Kabut sudah tidak lagi gelap, tapi semu putih. Dan dari saat ke saat menipis dengan cepat. Keempat anak itu bergegas mendatangi kedua ekor kuda yang mengentak entakkan kaki dengan tidak sabar di dekat pohon. George tidak bisa berjalan cepat-cepat, karena meng-gandong Timmy. Anjing itu ternyata memang berat. Tiba-tiba Timmy bergerak-gerak dalam gendongan. Udara sejuk dan segar menyebabkan ia sadar kembali, ia ingin diturunkan. Dengan perasaan lega George meletakkannya ke tanah. Timmy langsung menggonggong, menantang para kelana yang sementara itu bertemperasan keluar dari caravan-caravan mereka, diikuti oleh kawanan anjing. Anak-anak bergegas naik ke punggung kuda. Kedua ekor kuda itu heran, mengapa tahu-tahu beban mereka bertambah. William menyentakkan tali kekang kudanya, yang langsung menderap membawa beban yang ditambah dengan George. Sedang Henry membawa Anne. Timmy ternyata sudah merasa lebih baik sekarang. Kakinya tidak goyah lagi. Anjing itu berlari mengiringi kedua ekor kuda. Para kelana mengejar, sambil mengacungkan tinju dan berteriak-teriak marah. Ayah si Ingus benar-benar tercengang saat itu. Lho, itu kan kedua anak perempuan yang diikat olehnya dalam gua - serta anjing yang disuruhnya menipu kedua anak laki-laki yang ada di padang. Kalau begitu - siapakah kedua anak yang menunggang kuda? Dan bagaimana mereka bisa menemukan jalan ke bukit? Lalu, bagaimana kedua anak yang tertawan itu bisa menemukan jalan keluar dari perut bukit? Ayah si Ingus benar-benar bingung. Para kelana lari mengejar. Tapi kawanan anjing mereka merasa sudah cukup puas dengan ribut menggonggong saja. Tak ada yang berani mengejar Timmy. Semua takut pada anjing besar Itu. Kuda-kuda menderap secepat keberanian mereka menembus kabut, sementara Timmy lari mendahului. Anjing itu kelihatannya sudah jauh lebih segar keadaannya. Tapi George khawatir, jangan-jangan cuma semangatnya saja yang mendorong Timmy sekarang. George menoleh ke belakang, memandang ke arah para kelana yang mengejar. Syukurlah - kini mereka takkan mungkin lagi terkejar. Di balik kabut, matahari bersinar cerah. Sebentar lagi selubung aneh yang datang dengan tiba-tiba dari laut itu pasti akan tercerai-berai. George melirik arlojinya. Astaga, sudah hampir pukul enam , Hari sudah pagi , Terlintas pertanyaan dalam pikirannya, mengenai Dick dan Julian. Di manakah keduanya sekarang? Dengan perasaan berterima kasih, George teringat pada si Ingus, serta pada patrin-patrin yang ditinggalkannya dalam lorong-lorong bukit tadi. Tanpa bantuan tanda-tanda petunjuk itu, mereka takkan mungkin bisa keluar dari sana. Kemudian ia terpikir pada Henry dan William. Dengan tiba-tiba saja, George memeluk pinggang William erat-erat. ,tulah caranya menyatakan terima kasih pada anak Itu, karena telah datang tengah malam dan menyelamatkan dirinya bersama Anne , "Menurut pendapatmu, di manakah Julian dan Dick sekarang?" kata George pada William. "Mungkinkah masih tersesat di tengah Rawa Rahasia? Bagaimana jika kita berseru-seru mencari mereka?" "Tidak," kata William sambil menoleh. "Kita sekarang langsung pulang ke rumah Kapten Johnson. Dick dan Julian mampu mengurus diri mereka sendiri." Itu memang dicoba oleh Dick dan Julian sepanjang malam yang dingin dan berkabut itu. Tapi hasilnya mengecewakan. Ketika untuk kesekian kalinya mereka menerangi arloji dengan cahaya senter, dan ternyata sudah pukul lima kurang seperempat, mereka mengambil keputusan untuk pergi dari situ. Coba saat itu mereka tahu, bahwa Henry dan William sedang menunggang kuda lewat di dekat tempat mereka, menuju perkemahan kaum kelana bersama Timmy , Julian dan Dick keluar dari tengah belukar. Tubuh mereka terasa kaku dan lembab. Keduanya menggeliat lalu memandang alam aekeliling yang masih diselubungi kebut. "Yuk, kita pergi saja," kata Julian. "Aku sudah tidak tahan lagi duduk diam-diam di tengah kabut ini. Aku membawa kompas. Jika kita berjalan lurus terus ke arah barat, pasti pada suatu saat kita akan sampai di tepi Rawa Rahasia, tidak jauh dari Milling Green." Mereka lantas pergi meninggalkan tempat Itu. Langkah mereka tersaruk-saruk. Senter sudah tidak terang lagi cahayanya, karena baterainya sudah lemah. "Sebentar lagi pasti mati," keluh Dick, sambil menggoncang-goncang senternya. "Sialan , Padahal kita harus selalu memperhatikan kompas." Saat itu Julian nyaris terjerembab, karena tersandung sesuatu yang keras. Disambarnya senter dari tangan Dick. "Cepat, kemarikan sentermu ," katanya. Lalu diarahkannya sinar senter ke benda yang menyebabkan dia tersandung. "Wah, lihatlah - ada rel di sini , Kita sudah sampai lagi di atas rel. Dasar mujuri" 'Betul' sambut Dick lega. "Senter ini sudah hampir mati , Sekarang kita tidak boleh kehilangan rel lagi. Begitu tak terasa lagi dengan kaki, kita harus langsung berhenti ," "Bayangkan, selama ini kita begitu dekat ke sini; tapi sama sekali tidak tahu," keluh Julian. "Kalau tahu, sudah lama kita kembali ke Istal. Mudah-mudahan saja Anne dan George berhasil kembali dengan selamat, dan tidak ribut-ribut di sana tentang kita. Mereka mestinya tahu, kita akan kembali begitu hari sudah pagi - jika kita bisa menyusur rel" Sekitar pukul enam pagi, mereka sampai di gerbang istal. Mereka sudah kehabisan tenaga. Jalan mereka terhuyung-huyung. Rupanya belum ada yang bangun. Pintu kebun mereka temukan dalam keadaan terbuka, karena memang sengaja dibiarkan begitu oleh William dan Henry. Julian dan Dick langsung menuju ke kamar Anne dan George. Mereka mengira akan menjumpai kedua anak itu dalam tempat tidur mereka. Tapi tentu saja masih kosong. Keduanya lantas pergi ke kamar Henry. Mereka hendak menanyakan, apakah anak itu mendengar berita tentang Anne dan George. Tapi aneh, tempat tidur Henry juga kosong - walau nampak bekas ditidur, Kini mereka menyeberang, ke kamar William. "He, William juga tidak ada" kata Dick bingung. "Ke mana mereka semua?" "Kita bangunkan Kapten Johnson," kata Julian, ia tidak tahu. Kapten Johnson malam itu tidak tidur di rumah. Jadi yang terbangun Bu Johnson. Wanita itu kaget sekali melihat mereka tiba-tiba berdiri di ambang pintu kamarnya, ia menyangka mereka saat itu sedang berkemah, jauh di tengah padang. Bu Johnson semakin kaget ketika mendengar kisah mereka, serta menyadari bahwa George dan Anne hilang. "Kalau begitu ke mana mereka ," katanya, sambil mengenakan mantel kamar. "Ini benar-benar gawat, Julian. Mereka mungkin tersesat di tengah padang, atau ditawan para kelana , Aku harus menelepon suamiku , Dan polisi , Aduh, aduh - kenapa kalian ku ijinkan pergi berkemah?" Bu Johnson langsung mengangkat gagang telepon. Julian dan Dick berdiri di sisinya dengan cemas. Ketika Bu Johnson sedang sibuk berbicara, di luar terdengar derap langkah kuda. "Astaga, Siapa itu yang datang?" kata Bu Johnson. "Itu kan bunyi langkah kuda , Siapa pula yang naik kuda sepagi ini?" Mereka lantas pergi ke jendela, lalu memandang ke bawah. Saat itu juga Dick berteriak, sehingga nyaris saja Bu Johnson terpental ke luar jendela karena kaget "Anne, George! Lihatlah, mereka datang - bersama Timmy , Dan itu Henry dengan William! Apa sebetulnya yang terjadi?" Anne mendongak, karena mendengar suara Dick berteriak-teriak. Walau ia capek sekali, tapi Anne masih bisa melambai dengan gembira sambil tersenyum lebar. Sedang George berseru, "Julian , Dick , Rupanya kalian berhasil pulangi Aduh, kami sudah berharap-harap kalian bisa pulangi Setelah kalian meninggalkan kami, kami lantas menyusur rel. Tapi salah arah, sehingga kembali ke parit pasir" "Lalu para kelana menawan kami ," seru Anne. "Tapi - tapi - bagaimana Henry dan William bisa ada bersama kalian?" kata Bu Johnson, ia menyangka pasti saat itu masih tidur, dan sedang bermimpi. "Dan si Timmy kenapa?" ia bertanya begitu, karena tiba-tiba Timmy roboh. Ketegangan sudah lewat, mereka sudah sampai - sekarang ia bisa tidur dengan tenang. Kepalanya sakit sekali , George langsung meloncat turun dari punggung kuda. "Timmyl Timmy yang manisi Timmy yang berani," katanya. "Tolong aku, William , Aku hendak menggotongnya ke atasi Ke kamarku, di mana aku bisa memeriksa lukanya." Sementara itu anak-anak yang lain terbangun. Keadaan menjadi hiruk-pikuk, sampai Bu Johnson kebingungan sendiri. Kabut menghilang sama sekail, dan matahari bersinar cerah. "Horei Kabut sudah tidak ada lagi ," seru George gembira. "Matahari sudah terbit. Gembiralah, Tim - kita selamat sekarang ," Timmy digotong oleh William dan George. Lewat jenjang rumah, naik ke tingkat atas. Kemudian George dan Bu Johnson memeriksa lukanya, lalu mencucinya bersih-bersih. "Luka ini perlu dijahit," kata Bu Johnson, "tapi kelihatannya sudah agak sembuh. Jahat sekali orang-orang itu, memukul anjing yang tak bersalah ," Tak lama kemudian terdengar lagi bunyi kuda berlari di pekarangan. Kapten Johnson muncul dengan wajah cemas. Hampir bersamaan dengannya, datang pula sebuah mobil. Kendaraan itu meluncur laju, lalu berhenti di depan gerbang istal. Ternyata yang datang itu dua petugas polisi. Mereka dikirim untuk melakukan pemeriksaan, berkenaan dengan dua anak perempuan yang dilaporkan hilangi Rupanya Bu Johnson lupa menelepon polisi lagi, untuk mengatakan bahwa anak-anak itu sudah kembali. "Aduh, maaf aku sudah menyusahkan kalian," kata Bu Johnson pada petugas polisi yang berpangkat sersan. "Mereka baru saja tiba , Tapi aku masih belum bisa mengerti, apa sebetulnya yang terjadi. Pokoknya mereka selamat, jadi Anda tidak perlu repot-repot lagi mencari." "Tunggu dulu ," seru Julian, yang ada di situ. "Kurasa kita memerlukan bantuan polisi) Di Rawa Rahasia sedang berlangsung peristiwa yang sangat aneh" "O ya? Peristiwa apa?" tanya sersan polisi, sambil mengambil buku notesnya. "Kami sedang berkemah di sana," kata Julian. "Tahu-tahu muncul sebuah pesawat terbang. Tar-bangnya rendah sekali, dituntun nyala sebuah lampu. Lampu itu dipasang para kelana dalam sebuah parit tempat penggalian pasir." "Lampu, dipasang para kelana?" kata sersan heran. "Tapi, untuk apa mereka harus menuntun pesawat terbang? Apakah pesawat itu kemudian mendarat?" "Tidak," jawab Julian. "Lalu keesokan malamnya pesawat itu datang lagi. Persis seperti malam sebelumnya, terbang rendah sambil berputar-putar. Tapi kini pesawat itu menjatuhkan paket-paket, Paki" "0 ya?" kata sersan lagi. ia kelihatan semakin tertarik. "Mungkin dengan maksud supaya dipungut para kelana?" "Betul Pak," kata Julian. "Tapi bidikan yang menjatuhkan paket-paket Itu tidak tepat, karena semuanya berjatuhan di sekitar kami. Bahkan ada beberapa yang hampir mengenai kami , Kami lantas cepat-cepat berlindung, karena tidak tahu apa ,si paket-paket itu , Jangan-jangan bahan peledakl" "Lalu kau memungut salah satu paket Itu?" tanya sersan. Julian mengangguk. "Bukan cuma memungut - tapi juga membuka satu." "Apa isinya?" "Uang kertas! Uang dolarl" kata Julian. "Dalam satu paket saja sudah banyak sekali lembaran uang itu, semuanya bernilai seratus dolar. Jadi beribu-ribu dolar yang dijatuhkan malam-malam di sekitar kami ," Sersan polisi memandang rekannya. "Nah, sekarang kami mengerti , Ini merupakan penjelasan atas berbagai hal yang selama ini membingungkan kami , Bukankah begitu, Wilkins?" Wilkins, polisi yang satu lagi mengangguk dengan wajah serius. "Betul, Jadi begitu rupanya cara yang dipakai gerombolan penjahat itu untuk menyelundupkan uang kertas dolar ke sini, dari tempat pembuatannya di Perancis Utara. Gampang saja, dengan pesawat terbang" Tapi kenapa paket-paket itu dilempar ke bawah, untuk dipungut para kelana?" tanya Julian. "Apakah supaya diteruskan pada orang lain? Kenapa tidak dibawa masuk secara terang-terangan? Kan orang boleh saja dengan bebas membawa dolar ke mari?" 'Tidak boleh, kalau uang itu palsu," kata sersan. "Percayalah, semua uang itu palsu. Para penjahat itu bermarkas besar di kota London. Begitu salah seorang kelana mengantarkan paket-paket itu pada mereka, penjahat-penjahat itu lantas mulai beraksi menyebarkan uang palsu. Membayar sewa hotel, membeli bermacam-macam barang dengan pembayaran berupa uang kertas yang tidak ada nilainya sama sekali." "Huahh!" seru Julian kaget. "Sama sekail tak kusangka, uang sebanyak itu palsu semual" "O ya, semuanya uang palsui Kami sudah lama mengetahui adanya kelompok penjahat itu. Tapi selama ini kami hanya berhasil menyelidiki bahwa mereka memiliki percetakan uang palsu di wilayah Perancis Utara. Begitu pula kawanan mereka yang ada di dekat London, dengan salah satu cara menerima kiriman uang palsu, lalu menyebarluaskan selaku uang yang sah," kata sersan menjelaskan. "Tapi kami tidak tahu dengan cara bagaimana uang palsu itu dibawa ke sini, serta siapa yang mengantarkan selanjutnya pada kawan-kawan mereka yang ada di dekat kota London ," "Tapi sekarang kita tahu," kata polisi yang bernama Wilkins. "Wah, sekarang kita berhasil. Sersan , Hebat anak-anak Ini, berhasil menyelidiki hal yang sudah berbulan-bulan memusingkan kita ," "Tapi mana paket-paket itu?" tanya sersan. "Kalian sembunyikan, atau dirampas kelana?" "Tidak, Kami sembunyikan," kata Julian. "Tapi kurasa para kelana pasti akan berkeliaran mencari tempat itu hari ini. Jadi sebaiknya kita cepat-cepat saja pergi ke Rawa Rahasia, Paki" "Di mana kalian menyembunyikannya?" tanya sersan. "Mudah-mudahan di salah satu tempat yang amani" "O, sangat amani" kata Julian. "Kupanggil adikku dulu, Pak.Dia ikut dengan kita. He, Dick, Ke mari sebentar-akan kaudengar berita menarik!" Bab 21 Akhir Petualangan Bu Johnson kagat ketika mendengar polisi hendak mengajak Julian dan Dick pergi lagi ke Rawa Rahasia. "Tapi - mereka kan capeki" kata Bu Johnson. "Mereka perlu makan dulu. Apakah tidak bisa menunggu sebentar?" "Sayang tidak. Bu," kata sersan. "Tapi Anda tidak perlu khawatir. Kedua anak laki-laki ini ulet "Sebetulnya, kurasa para kelana itu takkan mungkin bisa menamukan paket-paket itu," kata Julian. "Jadi tidak ada salahnya kalau kami makan dulu. Perutku sudah lapar sekali ," "Baiklah," kata petugas polisi itu, sambil menyimpan buku notesnya. "Makan saja dulu , Setelah itu kita berangkat." Tapi mendangar berita tentang rencana perjalanan sekali lagi ke padang, tentu saja George, Anne dan juga Henry ,Ingin ikut pula , "Apa , Kami ditinggal?" seru George tersinggung. "Seenaknya saja , Anne juga kepingin ikuti" "Dan Henry juga," kata Anne sambil memandang George, "walau ia tidak ikut menemukan paket-paket berisi uang kertas Itu." "Tentu saja Henry harus ikut," sambung George dengan segera. Wajah Henry berseri-seri mendengarnya. Ternyata George benar-benar terkesan pada keberanian Henry, datang bersama William untuk menyelamatkan dirinya serta Anne. George senang sekali karena Henry tidak membangga-bang gakan perbuatannya itu. Tapi Henry sendiri tahu, William-lah yang paling pantas dipuji-puji. Karena itulah ia tidak mau ribut-ribut tentang persoalan Itu. Sehabis sarapan sampai kenyang, mereka berangkat. Besar juga rombongan yang ikut dengan polisi. Kapten Johnson juga ikut. Hampir saja ia tidak bisa mempercayai kisah luar biasa yang dituturkan anak-anak, mengenai pengalaman mereka bersama Timmy. Kepala Timmy sudah ditambal pembalut. Timmy bangga sekali. Tunggu sampai Liz melihatnya , William juga diperbolehkan ikut. Anak itu berusaha menerka, di mana Julian menyembunyikan uang kertas palsu yang banyak itu. Tapi ia takkan mungkin bisa manerkanya. Sedang Julian tetap tidak mau menceritakan tempatnya, ia ingin membuat orang-orang terkejut nanti. Mereka berjalan kaki, menyusur lintasan rel yang tak terpakai lagi. Akhirnya tiba di parit bekas tempat menggali pasir. Julian berdiri di tepi atas, lalu menunjuk ke arah perkemahan para kelana. "Mereka pergi - lihatlah ," katanya. "Aku barani taruhan, mereka pasti takut bahwa kita memberitakan tingkah-laku mereka, setelah Anne dan George berhasil melarikan diri." Kata Julian benar. D, kejauhan nampak ,ring-iringan caravan bergerak pergi dengan lambat-lambat. "Wilkins ," kata sersan pada pembantunya, "nanti kalau kau kembali, sebarkan instruksi untuk mengamat-amati setiap kelana yang meninggalkan rombongan caravan. Salah seorang di antara mereka pasti telah mengatur tempat pertemuan, di mana paket-paket yang dijatuhkan dari pesawat terbang seharusnya diserahkan pada kawanan penjahatl Jika kita mengamat-amati setiap caravan serta para kelana yang ada di situ, dalam waktu dekat kita pasti akan berhasil membekuk kawanan yang menyebarluaskan uang palsu itu ," "Kurasa orang itu pasti ayah si Ingus," kata Dick. "Yang jelas, dia kepala kawanan Itu." Mereka memperhatikan iring-iringan caravan, yang berangkat satu per satu. Anne memikir-mikir tentang si Ingus. George juga. Apakah yang dijanjikannya kemarin malam, asal si ingus mau menolongnya? Sebuah sepeda, dan kemungkinan untuk tinggal dalam sebuah rumah, supaya anak itu bisa naik sepeda ke sekolah , Yah, kecil kemungkinannya ia akan berjumpa lagi dengan anak kecil bertampang dekil itu. Tapi kalau ternyata bertemu lagi, maka George dengan sendirinya wajib menepati janji , "Nah, di mana tempat persembunyianmu yang hebat itu?" tanya sersan polisi, ketika Julian berpaling sehabis memperhatikan rombongan caravan. "Ikut aku" kata Julian sambil nyengir. Didululnya mereka berjalan kembali, menuju tempat rel terputus, ia menghampiri semak yang masih ada di situ. Kepala kereta Juga masih terguling di tempatnya, hampir-hampir tidak kelihatan karena tertutup pasir dan semak. "Apa itu?" tanya sersan kaget. "Inilah lokomotif yang dulu dipakai menarik gerbong-gerbong yang mengangkut pasir dari parit penggalian," kata Dick. "Rupanya dulu pernah terjadi perselisihan antara para pemilik tambang pasir Ini dengan kaum kelanal Kaum kelana mendongkrak jalur rel, sehingga lokomotif tergelincir lalu terguling di sini. Dan sejak itu, kepala kereta api Ini tetep berada di tempat Ini ," Julian menghampiri cerobong asap, lalu menyingkapkan ranting berduri yang menutupinya. Sementara itu sersan memperhatikan terus dengan perasaan heran. Dick mengorek-ngorek pasir dan bagian atas lubang cerobong. Lalu dikeluarkannya sebuah paket dari tempat itu. Dalam hati anak itu sudah khawatir, jangan-jangan paket-paket itu sudah tidak ada lagi di tempat. "Ini dia," katanya, lalu melontarkan paket pada sersan polisi. "Di sini masih banyak lagi. Nanti ada satu yang sudah kami buka - nah, ini dia barangnya ," Sersan dan Wilkins tercengang-cengang, melihat barang-barang itu dikeluarkan dari tempat yang begitu luar biasa. Pantas jika para kelana tidak berhasil menemukannya. Siapalah yang akan memeriksa ke dalam lubang asap sebuah lokomotif tua , Itu pun jika mereka berhasil menemukan lokomotif itu. yang terbenam sampai separuh di dalam pasir. Sersan polisi memperhatikan lembaran uang seratus dolar yang terdapat dalam paket yang sudah terbuka, ia bersiul kagum. "Huii. ini dia barangnya , Kami sudah pernah melihatnya sebelum ini. Memang pemalsuan yang hebat sekali , Jika kawanan penjahat berhasil menyebarkan hasil pemalsuan ini, sebagai akibatnya akan banyak orang yang menderita kerugian. Uang ini semuanya tidak ada nilainya sama sekali. Berapa katamu jumlah paket yang ada di sini?" "Wah, berpuluh-puluh ," jawab Dick, sambil mengeluarkan lebih banyak lagi dari dalam lubang cerobong. "Huhh, aku tidak bisa mencapai paket-paket yang paling bawah" "Biar saja," kata sersan. "Masukkan pasir lagi untuk menutupi , Nanti akan kusuruh bawahanku ka sini, untuk mengorek keluar dengan kayu. Para kelana sudah pergi - sedang hanya mereka saja yang mungkin datang mencari. Wah, ini benar-benar hasil yang hebat. Kalian sangat menolong kami," kata sersan pada anak-anak. "Untunglah," kata Julian. "He, sebaiknya kita sekarang mengumpulkan barang-barang yang kita tinggalkan di sini kemarin , Soalnya kami buru-buru berangkat kemarin, Pak - sehingga barang-barang kami masih tertinggal dalam parit pasir" Bersama George, Julian masuk ke dalam parit untuk mengambil barang-barang yang ketinggalan di situ. Timmy ikut dengan mereka. Tapi tiba-tiba anjing itu menggeram. George berhenti berjalan, sambil memegang kalung leher anjingnya. "Ada apa, Tim? Ju, di situ pasti ada orangl Mungkinkah salah seorang dari kawanan kelana?" Saat itu Timmy berhenti menggeram-geram- Bahkan sekarang ekornya dikibas-kibaskan dengan gembira, ia melepaskan diri dari pegangan George, lalu lari menuju salah satu gua kecil yang banyak terdapat di sisi parit. Tampangnya aneh, dengan kepala yang ditambal pembalut luka. Tahu-tahu dari gua itu muncul - Liz , Begitu melihat Timmy datang, anjing kecil itu lantas jungkir-ba-lik dengan cepat. Timmy melongo. Hebat sekali tamannya itu , Bagaimana caranya Liz bisa jungkir-balik sebegitu cepat? "ingus," seru George. "Ayo keluar. Aku tahu kau ada di situ ," Dari dalam gua muncul tampang seorang anak yang pucat ketakutan. Sesaat kemudian si Ingus sudah berdiri di dasar parit, ia nampak ketakutan. "Aku lari dari mereka," katanya, sambil menggerakkan kepala ke arah tempat perkemahan yang sudah ditinggalkan. Dihampirinya George, sambil menyedot-nyedot Ingus. "Katamu, aku akan diberi sepeda," kata si Ingus. "Memang," Jawab George, "dan kau benar-benar akan diberi sepeda, Ingus Jika kau tidak meninggalkan tanda-tanda dalam lorong bukit, kami takkan mungkin bisa melarikan diri ," "Dan kau juga bilang, aku nanti bisa tinggal dalam rumah sungguhan. dan naik sepeda ke sekolah," desak si Ingus. "Aku sekarang tidak bisa lagi pulang ke ayahku. Pasti setengah mati aku dipukulnya nanti, kalau berani pulangi Ayahku melihat patrin-patrm yang kubuat dalam lorong. Karenanya aku dikejar-kejar olehnya, hendak dipukul. Tapi ia tidak berhasil menangkapku. Aku sembunyi. "Kami akan membantumu sebaik-baiknya," kata Julian berjanji, ia merasa kasihan pada anak kecil yang malang itu. Dan si Ingus menyedot ,ngusnya. "Mana sapu tanganmu?" tanya George. si Ingus menarik barang yang ditanyakan dari kantongnya. Sapu tangan itu nampak masih bersih seperti semula. Bahkan lipatannya juga masih tetap rapi. si Ingus memandang George dengan wajah berseri-seri. "Huh, kau ini memang keterlaluan," kata George. "Sekarang dengar baik-baiki Kalau kau ingin bersekolah, kau harus menghilangkan kebiasaanmu manyedot ingus. Pakai sapu tangan untuk membersihkan hidung. Mengerti?" si Ingus mengangguk. Tapi sapu tangan dikembalikannya dengan hati-hati ke dalam kantong. Saat itu sersan polisi masuk ke dalam parit Begitu melihat petugas Itu muncul, si Ingus langsung minggat. "Anak aneh," kata Julian. "Yah, kurasa ayahnya tentu akan dipenjarakan karena terlibat dalam perkara ini. Dengan begitu si Ingus akan bisa terpenuhi idam-idamannya, ingin meninggalkan kehidupan berkelana dan hidup dalam rumah biasa. Mungkin kita nanti bisa mengusahakan tempat tinggal yang baik untuknya." "Dan aku akan menepati janji. Akan kuambil uang tabunganku sebagian untuk membelikan sepeda untuknya," kata George. "Sudah selayaknya ia menerima imbalan itu , Aduh, coba lihat si Liz - ia kagum sekali melihat Timmy yang ditambal kapalanya. Jangan sok aksi. Tim - itu kan cuma pembalut luka" "Ingus , Kembalilah ," panggil Julian. "Kau tidak perlu takut pada pak polisi ini. Dia kawan kita. Dia akan membantu kita memilihkan sepeda untukmu ," Sersan tercengang mendangar ucapan itu. Tapi pokoknya, mendengar kata Julian itu si Ingus iang-sung kembali , "Sekarang kita kembali," kata sersan. "Barang yang kita inginkan sudah kita peroleh, dan Wilkins sudah berangkat lebih dulu untuk mengetur pengamat amatan terhadap kawanan kelana. Begitu kita mengetahui pada siapa mereka harus melaporkan tentang uang palsu, kami akan merasa senang sekali" "Mudah-mudahan Wilkins tadi kembali dengan menyusur rel," kata Julian. "Di padang belantara ini mudah sekali tersesat "Ya, Wilkins memang berbuat begitu, setelah mendengar kalian tersesat kata sersan. "Enak sekali rasanya di tampat ini. Begitu sunyi dan tenang" "Ya, takkan disangka di tempat begini bisa terjadi peristiwa-peristiwa misterius," kata Dick. "Peristiwa lama maupun barui Yah, aku merasa senang bahwa kami kebetulan terlibat dari peristiwa misterius yang terbaru. Benar-benar petualangan yang mengasyikkan ," Setelah Itu bersama-sama mereka kembali ke kompleks istal Kapten Johnson. Setiba di sana, ternyata sudah hampir waktunya makan slang. Mereka sudah lapar sekail. Selera mereka sebanding dengan banyaknya hidangan yang disediakan oleh Bu Johnson. Anak-anak perempuan naik ke tingkat atas, untuk membersihkan badan. George masuk ke kamar Henry. "Henry," kata George, "terima kasih banyak. Ternyata kau sama hebatnya dengan anak laki-laki ," 'Terima kasih, George," kata Henry dengan heran. "Kalau kau, kau lebih hebat daripada anak laki-laki" Saat itu Dick kebetulan lewat di gang. ia mendengar pembicaraan kedua anak perempuan Itu. ia tertawa, lalu menyembulkan kepalanya ke dalam kamar. "Bolehkah aku ikut kebagian?" katanya. "Bilang dong, aku ini sama hebatnya seperti anak perempuan!" Saat berikut ada sikat rambut melayang ke arahnya, diikuti sepatu sebelah. Dick lari sambil tertawa-tawa. Anne memandang keluar dari Jendela kamar tidurnya, ia menatap ke arah padang belantara Kini Rawa Rahasia nampak tenang dan tenteram, diterangi sinar matahari bulan April. Sama sekail tidak nampak tanda-tanda bahwa di situ tersimpan rahasia. "Biar begitu, nama itu cocok bagimu," kata Anne. "Kau penuh dengan rahasia dan petualangan , Dan rahasiamu yang tarakhir, kaujadikan petualangan bagi kami. Terima kasih. Rawa Rahasia!" Tamat Edit by: zheraf http://www.zheraf.net